Kenal Abu-Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami? Bisa jadi tidak?! Kita lebih mengenalnya sebagai Abu Nawas atau (756-814 Masehi). Sejatinya, ia adalah seorang Pujangga. Dia dilahirkan di kota Ahvaz di negeri Persia, dengan darah Arab dan Persia mengalir di tubuhnya.

Ia hidup di abad ke-8 Masehi di masa Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Khalifah Al-Amin memerintah Baghdad, Irak.

Abu Nawas dianggap sebagai salah seorang penyair terbesar sastra Arab klasik. Namun, ia lebih dikenal karena kisah-kisahnya yang menggelitik dan tak masuk akal.

Itulah kenapa kita menjuluki orang-orang yang kocak dan tak masuk akal sebagai Abu Nawas. Citra inilah yang lebih dikenali tinimbang dirinya sebagai sastrawan atau orang bijak.

Dalam kitab Seribu Satu Malam yang sohor, ia dikisahkan berpura pura gila karena tak ingin menjadi Qadi setelah mendengar wasiat ayahnya dengan cara menaiki batang pisang seperti kuda kudaan.

Ia juga sering ditantang oleh (766-809 Masehi) maupun oleh teman temannya dengan hal yang aneh, berisiko dan bahkan tidak mungkin terjadi seperti memindahkan istana raja ke bukit, menangkap angin, memantati raja dan lain lain.

Satu waktu, ia ditantang Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk menangkap angin. Sebab kecerdasannya, ia dengan mudah memenuhi permintaan itu. Ia kentut lalu menaruh kentutnya di dalam botol. Sampai ketika ia bertemu Khalifah dan ditanyakan apakah dia berhasil menangkap angin atau tidak? Ia menunjukkan botol itu.

Khalifah bertanya; “Di mana anginnya, Abu Nuwas,”?

“Di dalam botol ini, Khalifah.”

“Saya tak melihatnya, Abu Nuwas.”

“Silahkan Khalifah membukanya.”

Saat botol itu dibuka, meruyaklah bau busuk kentut Abu Nuwas. Semula Khalifah akan marah pada kelakuan Abu Nuwas, namun sastrawan itu memberikan dalih yang mengena. Alhasil, ia aman dari murka Khalifah. Abu Nuwas sudah berhasil menangkap angin seperti yang dimintanya. Abu Nuwas memang penuh muslihat.

Kita sekarang pun berhadapan dengan banyak Abu Nawas, kerap lebih pada citra negatif daripada positif. Kita melekatkan sebutan pada Abu Nawas pada mereka yang tak punya adab, kerap menipu dan menelikung kawan seiring.

Itu lebih sering terjadi di tempat yang sarat kepentingan bernama ‘dunia politik.' Kita punya banyak Abu Nawas. Hari ini berkawan, besok berseteru. Hari ini berseteru, besok saling berangkulan.

Adagium popularnya adalah; “Tidak ada kawan atau lawan yang sejati, yang ada adalah kepentingan abadi.”

Beruntung, mereka yang masih memelihara adab dalam politik, semisal Longki Djanggola, Rusdi Mastura, dan mendiang Professor Aminuddin Ponulele sudah mewariskan apa yang kini kita sebut sebagai “.”

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Fatsun” dimaknai sebagai etika atau sopan santun. Jadi sederhananya, “fatsun politik” adalah adab, etika atau sopan santun berpolitik.

Dalam tindakan praktis, itu digambarkan sebagai menghormati yang tua, menyayangi yang muda dan menghargai yang sepantaran.

Pada 2011, Longki Djanggola harus berhadapan dengan seniornya, akademisi dan politisi panutan Prof. Aminuddin Ponulele pada Pemilihan Gubernur 2011. Saat itu, Longki yang berpasangan dengan Sudarto menang. Hal yang pertama dilakukan oleh Longki saat sudah dipastikan kemenangannya adalah mengunjungi kediaman Prof. Aminuddin. Di sana mereka berpelukan dan kemudian bercengkrama. Mencairkan suasana.

Pada Pemilu 2021, Longki yang menjadi juru kampanye utama untuk Calon Gubernur Hidayat Lamakarate, harus berhadapan dan berselisih pandang dengan Rusdi Mastura, Calon Gubernur yang berpasangan dengan Ma'mun Amir. Ada banyak ketegangan. Ada banyak drama. Saling melontarkan kritik. Setelah itu: Mereka kembali berangkulan.

Inilah yang mesti diteladani. Utamanya bagi para politisi muda yang mungkin lebih banyak makan “gula politik”, tinimbang “asam garam politik.” Mungkin lantaran terlalu banyak makan “gula politik” para politisi muda cenderung tergesa-gesa dan tak punya fatsun politik. Mereka mungkin terkena apa yang kita namai sebagai “sugar rush” kondisi hiperaktif setelah makan kebanyakan gula.

Para politisi muda ini, mungkin saja berilmu lebih, tapi tak belajar adab lebih dahulu. Padahal mereka tahu belaka, ada ungkapan lama; Al adabu fauqal ‘ilmi” – adab lebih tinggi dari ilmu.

Itulah mungkin membuat mereka serba terburu. Padahal tak ada yang mengejar mereka. Hasrat sudah mencambuk mereka. Sampai-sampai mereka melanggar “fatsun”.

Tak paham lagi mereka bagaimana “menghormati yang tua, menyayangi yang muda dan menghargai yang sepantaran.” Asal tujuannya tercapai, jalan apapun ditempuh. Mereka menjadi pongah dan congkak, bak kacang lupa kulitnya.

Wallahu A'lam Bishawab – Hanya Allah yang lebih mengetahui kebenaran yang sesungguhnya. ***