Ini kisah Mangrove Jomblo di Pantai Talise. Sampai dengan Kamis, 27 September 2018, sepokok mangrove jomblo masih hidup gagah tapi meneduhkan mata di tengah laut Pantai Talise, Palu Timur, Sulawesi Tengah. Disebut jomblo, karena ia tumbuh sendiri. Tegak dan merimbun.
Adalah Drs. Abdullah, MT, pengamat kebencanaan Sulteng dari Universitas Tadulako yang menuturkannya kembali kisah mangrove jomblo itu. Seperti kebiasaannya, akun Facebooknya Abed Petta Laja jadi media menuliskan kisah-kisahnya itu. Rata-rata ia menulis amatannya soal kebencanaan di Sulawesi Tengah. Meliputi sejarah, foto dan aspek kebencanaan lainnya.
Abdullah mengikuti warga Kota Palu yang terlanjur menyebut pokok itu sebagai mangrove jomblo. Sesuai amatannya, puluhan tunas mangrove tumbuh di sekitarnya. Tapi tingginya hanya sekitar 30 centimeter atau tunas seumur hidup.
Ibarat pahlawan, mangrove jomblo tersebut telah berjuang sendirian menghadapi ‘musuh' Tsunami pada 28 September 2018. Namun, apatah daya, energi tsunami sangat besar. Sang ‘mangrove jomblo' pun tersungkur. Patah dan mati. Tunas-tunas pendek di sekitarnya tak berdaya membantunya.
Tubas-tunas tersebut sepertinya tak sanggup lagi tumbuh. Mungkin karena habitatnya telah (lama) berubah, dari habitat berlumpur menjadi bersirtu – pasir dan batu.
Ada beberapa fungsi hutan mangrove, yakni tempat memijah biota laut, menahan aliran sedimen dari darat, mencegah erosi serta meredam energi ombak harian dan tsunami.
Foto-foto Tegakan Mangrove Jomblo
Foto-foto yang diambil Abdullah ini menunjukkan tegakan mangrove itu, sebelum dan sesudah Tsunami menghantam Teluk Palu.
Abdullah memang pengamat yang awas dan jeli. Hampir semua bencana yang terjadi di Sulteng tak luput dari amatannya. Ia juga menelaahnya. Dia pun seorang pencatat yang tekun dan telaten.
Sebenarnya, tak cuma dia yang menjadi pencatat hidup mangrove itu. Sahabat saya, Yardin Hasan, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palu, dulu, kerap berlama-lama memandang tegakan pokok penahan ombak itu. Mungkin ia punya cerita sendiri. Tapi ia belum pernah menuliskannya.
Sebelum Tsunami meluluhlantakan Pantai Teluk Palu, orang ramai bercengkrama di dekatnya. Ada yang sekadar bercengkrama antarsesama. Ada pula yang memadu kasih, sembari melepas mentari yang pulang ke peraduannya. Kini, pokok mangrove itu tinggal cerita. Agar abadi, kisahnya dituliskan di sini. ***