Oleh: Mohammad Jafar Bua*
Presiden Prabowo Subianto baru saja melantik Ahmad Dofiri sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Kamtibmas dan Reformasi Polri. Upacara itu berlangsung khidmat, seperti biasanya: pengambilan sumpah jabatan, tanda tangan pakta integritas, lalu foto bersama. Tetapi di balik seremoni itu, ada pesan yang lebih dalam: Polri harus dibenahi.
Pelantikan ini adalah deklarasi terbuka, bahwa institusi kepolisian kita sedang berada di persimpangan jalan. Sebuah institusi yang sehari-hari kita jumpai di pos, di jalan raya, di gedung peradilan, di layar televisi; institusi yang berperan penting dalam menjaga keamanan, namun sekaligus sering menerbitkan kekecewaan publik. Dari praktik kekerasan berlebihan dalam penanganan massa, penanganan kasus yang timpang, hingga kerap dugaan korupsi atau gratifikasi dalam berbagai hal, semua itu membuat kepercayaan rakyat terkikis sedikit demi sedikit.
Dan tanpa kepercayaan, apa arti polisi? Ia mungkin masih punya senjata, wewenang, dan seragam. Tetapi seragam tanpa wibawa hanyalah selembar kain. Wewenang tanpa legitimasi hanyalah ancaman. Polisi yang tak dipercaya hanya akan ditakuti, bukan dihormati.

Mengapa reformasi Polri adalah keniscayaan? Karena dunia bergerak. Rakyat makin kritis, teknologi membuat segalanya transparan. Tak ada lagi ruang gelap untuk sembunyi. Polisi tak bisa lagi mengandalkan cara lama, intimidasi, kekuasaan yang nyaris absolut, untuk mempertahankan wibawa. Sejarah akan menggilas siapa pun yang menolak perubahan.
Kita bisa bercermin ke Scotland Yard, kepolisian metropolitan London. Mereka bertahan karena memahami bahwa legitimasi datang dari rakyat. Prinsip policing by consent lahir di sana: kekuasaan polisi hanya sah selama masyarakat memberinya kepercayaan. Karena itu mereka membuka diri pada pengawasan publik, membatasi kewenangan dengan aturan transparan, dan menaruh integritas di atas segalanya.
Atau kita tengok Korea Selatan. Dulu polisi di sana identik dengan represi. Tetapi setelah demokratisasi, mereka membenahi diri. Struktur dirombak, pengawasan diperkuat, pelatihan disesuaikan dengan standar hak asasi manusia. Proses itu tidak mudah, dan tidak serta merta, tapi membuahkan hasil: polisi yang dulu ditakuti kini pelan-pelan kembali dipercaya.

Indonesia sendiri sebenarnya pernah mencoba jalan serupa lewat Polmas (Polisi Masyarakat), gagasan community policing yang diperkenalkan pada masa Kapolri Jenderal Dai Bachtiar (2001–2005). Lalu diteruskan oleh Jenderal Sutanto (2005-2008). Itu lahir dari kesadaran bahwa polisi tidak bisa bekerja sendirian, bahwa keamanan adalah hasil kerjasama warga dan aparat. Polmas sempat dijalankan dengan membentuk forum kemitraan polisi-masyarakat di banyak daerah, bahkan masuk ke kurikulum pendidikan polisi.
Namun, seiring waktu, gaung Polmas memudar. Ia kalah oleh budaya lama yang lebih menekankan komando daripada dialog, lebih cepat mengandalkan represif daripada preventif. Apa yang dulu diharapkan menjadi jalan menuju polisi yang humanis, perlahan hilang dalam rutinitas formalitas.
Upaya menghidupkan kembali Polmas muncul pada masa Kapolri Jenderal Badrodin Haiti (2015-2016). Pada 26 Mei 2015, ia mencabut peraturan lama tentang Polmas, lalu menerbitkan Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemolisian Masyarakat. Regulasi ini mengadopsi model Polmas dari berbagai negara: Koban dan Chuzaiso di Jepang, Neighbourhood Watch di Inggris, hingga konsep Polmas di Selandia Baru dan Australia.
Peraturan tersebut menegaskan bahwa Pemolisian Masyarakat (Community Policing) adalah kegiatan untuk mengajak masyarakat melalui kemitraan dengan anggota Polri, sehingga mampu mendeteksi dan mengidentifikasi permasalahan Kamtibmas di lingkungan serta menemukan pemecahan masalahnya bersama-sama. Inilah sebetulnya wajah polisi yang diimpikan: dekat dengan masyarakat, bukan hanya hadir setelah kejahatan terjadi, melainkan hadir sebelumnya, sebagai sahabat dan penolong.

Indonesia tak bisa lagi menunda. Reformasi Polri bukan sekadar kebutuhan, ia adalah tuntutan sejarah. Dan tuntutan itu bukan datang dari ruang seminar atau gedung parlemen, melainkan dari kehidupan sehari-hari: dari ibu-ibu yang laporannya diabaikan, dari mahasiswa yang dipukul saat berdemo, dari pengendara yang ditilang dengan bisikan “damai di tempat”.
Karena itu, reformasi Polri bukan hanya keniscayaan. Ia harus, dan harus segera.
Segera, bukan berarti terburu-buru. Tapi berarti jelas, dengan peta jalan yang konkret. Reformasi bukan sekadar mengangkat penasihat baru, bukan sekadar mengucapkan kata “bersih, melayani, profesional” di depan kamera. Reformasi nyata berarti ada perubahan yang bisa dirasakan di jalanan, di kantor polisi, di pengadilan. Polisi yang menyapa dengan hormat, bukan menggertak. Polisi yang menolak suap, meski jumlahnya kecil. Polisi yang menempatkan hukum di atas kekuasaan.

Ahmad Dofiri mungkin hanya satu orang. Tetapi kehadirannya bisa menjadi simbol, bahwa negara sadar Polri tidak bisa dibiarkan berjalan apa adanya. Namun simbol saja tidak cukup. Perubahan menuntut keberanian: dari pucuk pimpinan, dari para perwira menengah, sampai polisi remaja di lapangan.
Kalau keberanian itu lahir, pelantikan ini bisa menjadi awal sebuah jalan panjang: jalan reformasi yang membuat polisi Indonesia benar-benar menjadi pelindung, pengayom, dan pelayan rakyat. Tetapi jika keberanian itu tak ada, ia hanya akan menjadi satu baris berita: sebuah jabatan baru, sebuah upacara, lalu dilupakan.
Sejarah memberi pilihan: polisi berubah karena kesadaran, atau dipaksa berubah oleh krisis. Kita semua tahu pilihan mana yang lebih bijak. Karena itu, reformasi Polri bukan hanya keniscayaan. Itu harus, dan harus segera.
*Mohammad Jafar Bua adalah alumni Asia Journalism Fellowship, Temasek Foundation – Institute of Policy Studies, National University of Singapore, 2019, kini Tenaga Ahli Anggota Fraksi Partai Gerindra DPR RI