Pusat Pengolahan Data Widyawati Corp. Malam itu, pukul 22.14 WIB. 

Asap masih mengepul dari lantai dua gedung pusat data. Sisa ledakan membakar sebagian perangkat keras yang berisi server transaksi dan data keuangan lintas negara. Lampu-lampu strobo merah menyala, menandakan situasi siaga tinggi.

Petugas pemadam dan tim IT keamanan sibuk menyelamatkan sisa data. Tapi di sisi belakang gedung, di luar jangkauan kamera… tiga sosok berpakaian hitam menyelinap ke ruang bawah tanah. Mereka bergerak seperti bayangan, berkomunikasi dengan isyarat tangan, tanpa suara.

Namun satu langkah mereka terlalu berat. Sebuah batu kecil terinjak.

Takk!

Suara itu cukup bagi seseorang yang telah diasah oleh alam dan pertarungan batin selama tujuh tahun.

Satria Wibawa langsung tahu.

Bentrok di Ruang Data Bawah Tanah

Satria melompat dari tangga besi dengan kecepatan tinggi. Ia tidak membawa senjata. Tapi tubuhnya adalah senjata itu sendiri. 

Ketika sosok pertama mencoba menarik pisau, Satria menangkis dengan Jurus Akar Meliuk dan langsung memukul ulu hati lawan dengan Tebasan Angin Luruh.

Sosok kedua menyerang dari kanan—cepat dan gesit, menggunakan jurus dari aliran Langit Hitam. Tapi Satria kini telah menguasai tingkatan Pendekar Langit Muda. Ia menghindar, memutar tubuh, dan menghantam punggung lawan dengan Telapak Petir Tunda.

Dua orang roboh. Tapi yang ketiga… bukan sembarangan.

Sosok itu melepas topengnya.

Zeorang wanita. Berwajah mirip seseorang yang dulu ia kenal.

“Namaku Ayu Laranti,” katanya dengan senyum dingin. “Ibuku pernah menjadi perawat ibumu. Aku tahu siapa kau, Satria. Dan aku tahu… siapa yang sebenarnya mengkhianati keluargamu.”

Satria menegang. “Kau bagian dari Langit Hitam?”

Ayu tersenyum. “Kami bukan organisasi. Kami warisan. Kau juga bagian dari kami… darahmu menyimpan rahasia yang bahkan ibumu tak sempat ungkapkan.”

Kilatan Masa Lalu. Fragmen Ibu.

Tiba-tiba, cincin giok merah di jari Satria bersinar samar. Dalam sekejap, pikirannya tersedot ke kilas balik samar…

…seorang wanita bergaun putih—Kartika Larasati, ibunya—berlari di lorong rumah besar, menggendong bayi Satria. Di belakangnya, terdengar teriakan dan suara pedang beradu.

“Kita harus keluar, Mahesa sudah berubah! Dia—”

Tapi kilasan itu terputus.

Kembali ke Ruang Data.

Satria terhuyung. Ayu Laranti maju, siap menyerang. Tapi Satria mengangkat tangan—dan menggunakan jurus rahasia batin: “Pelebur Nafas Jiwa”.

Tangannya tak memukul, hanya menyentuh pundak Ayu.

“Kau tidak datang ke sini untuk membunuh,” bisik Satria. “Kau datang karena ingin tahu apakah aku seperti Ayahku.”

Ayu terdiam. Tubuhnya gemetar.

“Aku ingin kau jadi bagian dari kami,” jawabnya pelan. “Tapi sekarang aku tahu… kau bukan Mahesa.”

Ia menatapnya terakhir kali, lalu kabur lewat ventilasi cadangan, meninggalkan Satria di antara asap, reruntuhan, dan pertanyaan.

Pagi Hari. Apartemen Shinta.

Satria duduk termenung, memperhatikan cincin giok merah di jarinya. Shinta duduk di sampingnya, mengenakan sweater abu dan rambut digerai.

“Apa kamu akan terus mencari jawaban… bahkan jika yang kamu temukan adalah bahwa Ayahmu… memang pendiri kegelapan?” tanya Shinta.

Satria tak langsung menjawab. Ia menatap mata Shinta.

“Jika kebenaran itu seperti racun, maka aku ingin meneguknya sendiri—bukan diwariskan dalam kebohongan.”

Di kejauhan…

Sarah Widyawati berdiri di balkon kantor pusatnya. Di tangannya, sebuah foto keluarga lama: Mahesa, dirinya, dan bayi Satria.

Di belakangnya, Bayu Kanda masuk tanpa suara.

“Dia mulai mengingat,” ucap Bayu.

Sarah tidak menjawab.

Bayu menambahkan, “Jika dia naik ke tingkat Pendekar Langit Madya… kau tahu kita tak bisa menghentikannya dengan cara biasa.”

Sarah menggenggam foto itu. Tatapannya tajam.

 “Kita tak butuh menghentikannya. Kita hanya perlu membuatnya memilih…”

Dan dunia kini tahu: Satria Wibawa bukan hanya anak dari konglomerat, bukan hanya pendekar dari jurang. Tapi darahnya menyimpan dua kutub—yang akan menentukan apakah ia akan menjadi cahaya terakhir… atau bayangan paling gelap dari Langit Hitam.

Bersambung ke Episode 13: Dua Darah, Satu Bayangan