Cendana. Kota Tanpa Raja, Tapi Penuh Tahta. Sejak para pendekar tua tahu bahwa Tiga Darah Mahesa telah bangkit dan berpihak pada keseimbangan, bayang-bayang gelap yang dulu tersembunyi mulai bergerak.

Kota Cendana, kota metropolitan penuh butik dan gedung korporasi, mulai mengalami gangguan ganjil: Api muncul di lorong-lorong tanpa sumber.

Orang-orang bermimpi melihat mata merah di langit. Pendekar-pendekar kecil menghilang satu per satu.

Dan kemudian… muncul nama-nama lama yang seharusnya sudah mati: “Tujuh Pemecah Cahaya.”

Siapa Mereka? Dalam sejarah rahasia dunia pendekar, “Tujuh Pemecah Cahaya” adalah murid-murid pertama Mahesa yang membelot saat Mahesa membentuk Langit Hitam. Mereka merasa Mahesa terlalu lunak. Mereka percaya dunia hanya bisa diatur dengan ketakutan, bukan keseimbangan. Mereka dikalahkan dan diasingkan ke Tujuh Titik Pengasingan, tempat roh manusia nyaris tak bisa bertahan. Namun kini, satu per satu kembali… dengan tubuh baru, tapi dendam lama.

Kemunculan Pertama: Karna Palamar, Penguasa Api Sungsang. Pasar Sentra Cendana pagi itu masih penuh riuh. Pedagang sayur, ikan, dan kosmetik berjalan biasa—sampai langit tiba-tiba memerah.

Seorang lelaki tinggi, bertelanjang dada, tubuh penuh guratan api menyala, berdiri di atas atap ruko.

“Aku Karna Palamar… murid pertama Mahesa yang dibuang karena terlalu jujur soal kekuatan!”

Ia mengangkat tangannya.

Pasar terbakar tanpa menyentuh fisik. Api menyebar melalui rasa takut dan amarah warga. Satria, yang sedang melatih teknik napas di rooftop markas Widyawati Corp, langsung bergerak. Lompatan satu atap ke atap lain. Ia tiba… dan menatap Karna tanpa berkata sepatah pun.

Pertarungan Pertama: Api vs. Keseimbangan. Karna melemparkan pukulan Api Sungsang, serangan yang menyalakan luka batin lawan dan membuatnya terbakar dari dalam. Satria menangkis dengan Manuver Cakra Laras, menyerap panas, dan menyalurkan energi amarah kembali ke tanah. Warga menyaksikan dari kejauhan. Api tak mempan. Tapi Satria… terluka oleh bayangan kemarahan orang-orang yang ia lindungi.

“Kau tak bisa melindungi mereka selamanya!” teriak Karna.

“Kekuatanmu bukan milik mereka. Tapi milik siapa yang paling nekat!”

Satria, dengan darah di pelipisnya, membalas: “Itu sebabnya aku berdiri di tengah. Bukan di atas.”

Dan ia menutup duel dengan jurus baru—“Lingkar Jiwa Ketiga”, jurus yang hanya bisa digunakan oleh mereka yang pernah memaafkan pengkhianat darahnya sendiri. Karna terlempar. Tapi tidak mati. Ia tertawa.

“Kau kuat. Tapi satu lawan tujuh… kau akan terbakar juga.”

Dan ia menghilang.

Markas Taktis Langit Netral. Rapat Darurat. Satria berkumpul dengan Shinta, Kiara, dan Raden Cempaka.

Kiara menggenggam jimat roh dan berkata pelan:

“Aku melihat mereka semua. Tujuh Pemecah Cahaya tak hanya kembali… mereka juga mencari sesuatu.”

“Apa?” tanya Shinta.

“Mata Jiwa Mahesa. Benda terakhir yang menyimpan sisi gelap Mahesa—jauh lebih kelam dari Langit Hitam.”

Sementara Itu. Di Sebuah Lembah Beku di Utara Sagara berdiri di hadapan makam Mahesa. Ia tak bicara. Tapi seseorang muncul dari kabut: Seorang perempuan berambut merah, mata es, dan sorot maut.

“Kau anaknya?” katanya.

“Sagara Widjaya,” jawabnya. “Dan kau?”

“Namaku Lantara. Aku murid ketujuh Mahesa. Dan aku… datang bukan untuk menghancurkan Satria. Tapi untuk mengajakmu berdiri bersama kami.”

Sagara menatap tajam.

“Kalau dia penjaga dunia, maka aku… mungkin sudah waktunya menjadi penguncinya.”

Cendana mulai retak. Bukan oleh senjata, tapi oleh kenangan kekuasaan Mahesa yang bangkit kembali dalam bentuk berbeda. Satria, Kiara, dan Shinta tahu… bahwa ini bukan sekadar perang para pendekar. Ini adalah perang masa lalu dan masa depan. Dan waktu… tak lagi memihak mereka.

Bersambung ke Episode 24: Tujuh Titik Neraka…