Pernahkah Anda bersyukur pada pagi hari, bukan karena matahari terbit, melainkan karena celana dalam Anda bersih dan tidak bolong? Kalau belum, mari kita pelajari betapa panjang, rumit, dan tak jarang absurd-nya perjalanan sepotong kain kecil ini yang setiap hari kita ajak menyelubungi zona sensitif. Sepotong pakaian yang kerap disebut CD saja, bukan sekadar pakaian. Ia adalah simbol budaya, penanda moral, penjaga peradaban, bahkan—kata ahli sejarah busana—perisai terakhir manusia dari barbarisme.
Mari kita selami sejarahnya, selapis demi selapis, seperti melepas pakaian dengan niat: menelusuri akar peradaban.
Zaman Purba: Loincloth dan Logika Leluhur

Sekitar 7.000 tahun sebelum Calvin Klein bercelana dalam putih di Times Square, manusia purba sudah paham pentingnya menutup kemaluan. Mereka menyulam dedaunan, kulit binatang, dan seutas tali rotan jadi sesuatu yang disebut loincloth—cikal bakal celana dalam.
Di Mesir Kuno, para firaun pakai schenti, semacam sarung mini berbahan linen. Kalau dilihat sekarang, mirip celana yoga versi gurun Sahara.
Arkeolog menemukan banyak mumi Mesir yang masih memakai “cawat kerajaan”. Rupanya, bahkan dalam kematian, mereka percaya: aurat tetap harus dijaga. Salut!
Romawi: Subligaculum dan Gladiator Berani Mati

Bangsa Romawi membawa urusan barang ini ke level epik. Mereka mengenakan subligaculum, semacam cawat dari kain atau kulit, yang biasa dipakai gladiator sebelum masuk arena pertarungan. Jadi, saat mereka berteriak, “Ave Caesar! Morituri te salutant!”(“Salam, Caesar! Mereka yang akan mati memberi hormat padamu.”) — mereka melakukannya dalam balutan celana dalam.
Perempuan Romawi juga punya strophium (bra kuno), dan dalam beberapa lukisan dinding Pompeii, digambarkan para wanita sedang bersantai, lengkap dengan wine, musik, dan… lingerie. Kita tahu: fashion never dies, even in lava (mode tidak pernah mati, bahkan dalam lava).
Abad Pertengahan: Ketika Semua Telanjang Tapi Suci

Celana dalam sempat ‘mati suri’ di Eropa. Pria mengenakan braies, celana longgar seperti celana kolor zaman penjajahan. Tapi perempuan? Mereka tidak mengenakan apa-apa. Nihil. Konon katanya, gaun panjang dianggap cukup menutupi semuanya.
Tapi jangan salah, bukan berarti mereka cabul. Ini soal “praktikalitas” dan—seperti biasa—ajaran agama tentang kesopanan. Celana dalam dianggap terlalu dekat dengan tubuh, dan karena itu… terlalu sensual.
Sungguh logika yang aneh tapi nyata: semakin dalam pakaian itu menempel, semakin berbahaya ia dianggap.
Era Victoria: Moralitas Berenda

Pada abad ke-19, bangsa Inggris menjadi begitu terobsesi dengan kesopanan hingga mereka menciptakan drawers, celana dalam perempuan dengan dua lubang di tengah. Betul, open crotch drawers – celana dalam dengan selangkangan yang terbuka. Praktis? Mungkin. Erotis? Bisa jadi. Ironis? Sangat.
Sepotong kain itu, kini menjadi simbol kelas sosial. Renda-renda muncul, warna putih mendominasi. Namun fungsi utamanya tetap: menjaga moralitas dari bawah ke atas.
Pria mulai mengenakan long johns, celana panjang hangat yang menutupi hingga pergelangan kaki. Kalau hari ini Anda melihat pria berkeliaran dengan long johns di Alfamart, jangan heran. Mereka cuma sedang bernostalgia viktorian.
Abad 20: Celana Dalam Masuk Billboard

Tahun 1935, brand Jockey dari AS menciptakan celana dalam dengan Y-front. Inovasi ini membuat pria bisa… buang air dengan mudah tanpa perlu membuka semua. Luar biasa!
Tahun 1977, Victoria’s Secret lahir. Mereka menjual bukan cuma celana dalam, tapi fantasi. Mulai dari renda transparan sampai tali-tali sempit yang lebih mirip jebakan tikus ketimbang pakaian, semuanya laku keras. Pasar menyambut: Lingerie adalah seni!
Lalu muncullah boxer, briefs, thongs, g-strings, dan tentu saja CD tanpa jahitan untuk mereka yang ingin memakai pakaian tipis tanpa terlihat… vulgar. Industri ini pun menjadi bisnis miliaran dolar.
Hari Ini: Celana Dalam untuk Semua

Dewasa ini, barang yang satu ini bukan cuma soal bentuk tubuh dan jenis kelamin. Ada brand seperti TomboyX dan Savage X Fenty yang menciptakan celana dalam uniseks, bahkan ada celana dalam yang disebut-sebut ramah LGBTQ+, dan inklusif untuk semua bentuk tubuh.
Teknologi ikut bermain. Ada celana dalam dengan sensor, antibakteri, bahkan bisa menyala dalam gelap—untuk alasan yang kita tak ingin tahu. Sementara celana dalam biodegradable – sekali pakai pun telah dibuat, karena bumi pun butuh kesopanan.
Fakta Tambahan
- CD tertua ditemukan di Austria, berusia sekitar 5.000 tahun.
- Napoleon dikabarkan tidak memakai CD.
- Setiap tanggal 5 Agustus diperingati sebagai National Underwear Day – Hari Pakaian Dalam di negerinya Donald Trump.
Jangan remehkan benda kecil yang selalu kita pakai ini. Barang ini dalam adalah saksi sejarah umat manusia: dari ketelanjangan purba hingga kapitalisme modern. Ia menyimpan kisah tentang apa yang kita sembunyikan, dan kadang, apa yang diam-diam ingin kita tunjukkan.
Jadi lain kali saat Anda melipat pakaian, tengok CD Anda, lalu bisikkan: “Terima kasih, kau telah melindungi kehormatan bangsaku.” ***