Pada paruh 1950, Partai Komunis Indonesia – yang ketika itu adalah partai politik legal – paling gencar meminta agar Sila 1 dari Pancasila dihilangkan. Mereka mendapat angin segar karena memang Bung Karno, Presiden RI pertama tengah mengampanyekan ideologi Nasakom – Nasional – Agama – Komunis.

Ada beberapa karikatur yang viral pada masa itu. Ini menggambarkan perseteruan antara partai-partai Islam dengan PKI kala itu.

Pada 2020, ada pula partai yang ingin mengganti Sila 1 Pancasila menjadi Ketuhanan yang Berkebudayaan.

Kata orang Perancis; l’histoire se répète – Sejarah itu berulang. Tentu dengan aktor berbeda atau bisa berkait kelindan.

Filsuf dan pembangun aliran pemikiran yang dinamai Marxisme, Karl Marx (1818-1883) bilang; “Histoire se répète toujours deux foisla première fois comme tragédie, la deuxième fois comme farce” – sejarah selalu mengulang dirinya sendiri: pertama sebagai tragedi, kedua sebagai lelucon.

Bila saja Marx masih hidup, maka ia sekarang akan melihat bagian lucu dari sejarah yang berulang itu.

Bermula dari Rapat Badan Legislasi untuk Pengambilan Keputusan atas Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Haluan Ideologi Pancasila, pada 22 April 2020. Rancangan ini adalah usulan DPR RI dan menjadi prioritas dalam Progam Legislasi Nasional 2020. Rieke Diah Pitaloka, politisi PDI Perjuangan yang menjadi Ketua Panita Kerja RUU ini.

Kabar pun mengalir sampai jauh. Lalu Majelis Ulama Indonesia memprotes RUU ini. Tak tanggung-tanggung, Dewan Pimpinan MUI Pusat dan Provinsi mengeluarkan Maklumat atas itu. 

MUI mengatakan unsur-unsur pada rangcangan undang-undang itu mengaburkan dan menyimpangkan makna Pancasila. Ini misalnya dilihat dari upaya memecah Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila.

“Memeras Pancasila menjadi Trisila lalu Ekasila yakni ‘gotong-royong’ adalah nyata-nyata upaya pengaburan makna Pancasila sendiri,” kata MUI.

“Secara terselubung ingin melumpuhkan keberadaan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menyingkirkan peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” lanjut maklumat tersebut.

Dalam Pasal 7 RUU HIP dituliskan:
(1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.

(2) Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.

(3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.

MUI juga mempertanyakan dan memprotes tidak dicantumkannya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam draf RUU.

Belakangan, sejumlah fraksi cuci tangan. Tinggal Fraksi PDI Perjuangan yang bergeming. Mereka bahkan mengusulkan RUU HIP diganti menjadi RUU Panduan Ideologi Pancasila. Itu setelah protes makin marak.

Sejarah memang berulang. Seperti kata Marx yang pertama adalah tragedi dan yang kedua adalah komedi. ***