Hari ke-14. Gua Batu Mawar. Langit pagi menembus sela-sela gua dalam garis tipis cahaya. Di pelataran batu yang basah oleh embun, Satria berdiri mengenakan pakaian latihan dari kain abu-abu kasar. Kedua tangannya mengepal, napasnya teratur. Tidak lagi lemah, tapi juga belum kuat.
Kala Kembara berdiri di hadapannya, menggenggam tongkat rotan hitam yang di bagian ujungnya terukir huruf-huruf kuno Jawa.
“Hari ini, kau akan belajar langkah pertama,” kata Eyang perlahan. “Langkah yang kelihatannya kecil… tapi ia membedakan pendekar sejati dari petarung biasa.”
Satria mengangguk. “Apa itu, Kek?”
“Menjejak bumi, mengunci langit.”
Ilmu Dasar: Jejak Empat Arah. Satria diajari bagaimana membaca energi bumi. Setiap langkah yang ia injak harus merasakan batu, akar, dan udara di sekitarnya. Ini bukan semata jurus, tapi cara menjalin ikatan dengan alam semesta.
Langkah 1 – Jejak Utara: Melambangkan keteguhan hati.
Langkah 2 – Jejak Selatan: Melambangkan kelenturan pikiran.
Langkah 3 – Jejak Timur: Melambangkan kecepatan naluri.
Langkah 4 – Jejak Barat: Melambangkan kekuatan jiwa.
Eyang menancapkan tongkatnya ke tengah tanah.
“Lingkaran empat arah ini akan menjadi medan latihmu. Ulangi tiap jejak seribu kali, hingga bumi mengakuimu.”
Latihan itu berlangsung berjam-jam. Di bawah terik dan hujan, Satria tak diizinkan berhenti. Tubuhnya lelah, namun anehnya: hati dan pikirannya mulai tenang. Seperti ada tarikan halus dari bawah tanah yang mengisi kembali tenaganya.
Hari ke-30. Ujian Tanpa Bayangan. Setelah dua minggu berlatih, datanglah ujian pertama. Kala Kembara menyuruh Satria turun ke Lembah Kabut Mati, lembah kecil di sisi barat jurang, penuh batu besar dan kabut putih yang membutakan.
“Di lembah itu, ada sosok yang akan mengujimu. Ia tak punya wajah, tak punya bayangan. Ia hidup dari rasa takutmu sendiri.”
Satria melangkah masuk tanpa banyak tanya.
Di dalam kabut, suara-suara menggaung:
“Kau akan gagal…”
“Sarah lebih kuat darimu…”
“Kau hanya anak yang dibuang…”
Tiba-tiba, sesosok makhluk tinggi muncul. Kulitnya putih seperti susu basi, matanya kosong. Ia bergerak cepat, menyerang tanpa suara.
Satria nyaris terpental. Tapi dia mulai menerapkan Jejak Empat Arah. Tubuhnya meliuk, menjejak, memutar, menangkis. Dan untuk pertama kali, ia melontarkan serangan balik dengan pukulan dasar Nafas Bumi Tiga Tangkai—jurus dasar Pendekar Bumi Mula.
Makhluk itu terhuyung. Lalu pecah menjadi ribuan daun kering.
Kabut memudar. Langit cerah. Di kejauhan, Eyang Kala Kembara tersenyum puas.
Malam hari. Di tepi api unggun
“Makhluk itu?” tanya Satria.
“Bayanganmu sendiri. Kau telah melampaui satu ambang. Hari ini, kau adalah Pendekar Bumi Mula,” ujar Eyang. “Tapi perjalanan masih jauh. Untuk menghadapi Sarah dan segala yang tersembunyi di balik dunia kota… kau harus naik tujuh tingkat lagi.”
Satria menatap nyala api.
“Kalau aku bisa melangkah hari ini, maka aku yakin… akan bisa terbang esok.”
Kala Kembara tertawa. “Itu bukan kesombongan. Itu adalah cahaya yang mulai menyala dari dalam dirimu.”
Dan malam itu, untuk pertama kali sejak dibuang, Satria tidur tanpa mimpi buruk. Karena dalam dirinya… telah lahir harapan. Dan di kaki yang letih itu, bumi telah memberi restu.
Bersambung ke Episode 5: Ujian Rimba dan Rahasia Luka Mahesa…