Lokasi Spiritual: Ruang Batas Dunia. Dalam Dimensi Cermin Roh. Pada malam ke-13 setelah langit memancarkan tiga cahaya, sesuatu yang tak pernah terjadi dalam sejarah pendekar terjadi: Tiga darah Mahesa—Satria, Sagara, dan Kiara—tertarik masuk ke dalam Ruang Batas Dunia.
Tempat ini tak memiliki tanah, langit, atau arah. Ia adalah dimensi murni dari intensi ruh terakhir Mahesa, yang tertinggal di antara hidup dan mati, menunggu saat keturunannya siap.
Pertemuan Tiga Darah. Satria muncul lebih dulu, tubuhnya diselimuti cahaya abu-abu lembut. Ia berdiri tenang, penuh tanya. Lalu Sagara—dengan langkah tajam dan mata yang menyala marah, seolah ruang ini adalah ancaman.
Dan terakhir… Kiara, tanpa langkah, tanpa suara. Ia muncul perlahan, membawa aroma embun dan bayangan bunga yang tak pernah tumbuh di bumi.
Suara Mahesa terdengar dari segala arah. Dalam. Dalam sekali.
“Anak-anakku… kini saatnya kalian memilih satu jalan.”
“Tiga darah. Satu kekuatan. Tapi dunia hanya bisa berjalan dengan satu penjaga. Sisanya… harus menjadi pelindung atau pengingat.”
Ujian Pertama: Cermin Jiwa. Tiga cermin muncul, satu di depan tiap anak Mahesa. Cermin ini tak menampilkan wajah mereka—tetapi diri mereka yang sesungguhnya.
Satria melihat dirinya sebagai anak kecil dalam gua—tersesat, takut, tapi tetap menatap cahaya samar dengan harapan.
Sagara melihat bayangan dirinya sebagai pemimpin dunia penuh api, semua tunduk padanya… tapi matanya kosong. Kosong karena tak ada cinta.
Kiara… melihat dirinya sendiri… berjalan sendiri di padang bunga, sambil membawa tabung berisi suara-suara jiwa dunia, tangis dan tawa bercampur jadi satu.
“Kekuatan sejati,” ujar Mahesa, “adalah saat kalian bisa menatap bayangan kalian… dan tetap memilih untuk tidak menjadi tuan dari dunia.”
Ujian Kedua: Pemanggilan Warisan. Tiga pusaka muncul dari cahaya:
- Pedang Gelap “Prabawa”, warisan kekuasaan Mahesa yang bisa menundukkan ribuan pendekar dengan satu getaran.
- Kitab Hening “Mantra Sungsang”, peninggalan spiritual Mahesa yang hanya bisa dibaca oleh jiwa paling murni.
- Cincin Takdir “Cakra Laras”, alat penyeimbang dua kutub, lambang penjaga, bukan penguasa.
“Satu dari kalian berhak memilih satu,” ujar Mahesa. “Dan dari situ, jalan kalian ditentukan.”
Pilihan Ketiga Darah. Sagara, dengan cepat, mengambil Pedang Prabawa. Tangannya bergetar saat menggenggamnya. Tapi matanya puas.
“Dengan ini… aku bisa memastikan dunia tidak lagi terombang-ambing.”
Kiara… perlahan menoleh ke Kitab Hening. Ia mendekat, menyentuh sampulnya, dan… kitab itu menyatu dengan dadanya. Tetes air mata jatuh dari matanya yang buta.
“Aku tak ingin mengatur. Aku hanya ingin dunia didengar.”
Satria berdiri di hadapan Cincin Cakra Laras. Ia menatapnya lama. Tapi saat hendak mengambil…
Cincin itu bergerak sendiri. Terbang… menyatu ke dalam telapak tangan Satria.
Dan suara Mahesa menggetarkan seluruh ruang dimensi: “Kau… adalah Penjaga.”
Pernyataan Takdir. Sagara menoleh marah.
“Mengapa dia? Dia bukan pemimpin!”
Mahesa menjawab tenang: “Karena dia… yang paling banyak kehilangan. Tapi tidak menuntut apa-apa.”
Kiara menunduk.
“Aku tahu sejak awal… aku hanya jembatan. Tapi aku bahagia.”
Satria menatap saudara-saudaranya. Ia ingin bicara… tapi suara itu bukan miliknya.
Itu suara dunia: “Dari kini dan seterusnya… Satria Wibawa adalah Penjaga Batas Dunia. Sagara Widjaya, adalah Pelindung Keseimbangan Kuasa.
Kiara Maheswari, adalah Pemelihara Jiwa dan Batin Umat.
Mereka terlempar kembali ke dunia nyata. Masing-masing terbangun di tempat yang berbeda. Tapi semua tahu… dunia telah berubah. Kini ada tiga kekuatan baru. Tapi tak satu pun ingin menjadi raja. Mereka ingin menjaga agar tak ada raja yang membakar semuanya.
Bersambung ke Episode 23: Kota yang akan Terbakar…