Dunia Setelah Mahesa. Gunung Niskala telah retak. Langit kota Cendana dipenuhi awan seperti luka terbuka. Dan di tengah sunyi yang menggema…Dunia silat gemetar. Tujuh Pemecah Cahaya yang selama ini bergerak dari bayang-bayang kini menyatukan kekuatan terakhir.
Mereka tahu, jika Jiwa Kesatu — gabungan tujuh pecahan Mahesa yang kini menyatu dalam tubuh Satria — tidak dihancurkan sebelum fajar ketiga, maka kekuatan baru itu akan menggantikan seluruh tatanan kekuasaan yang telah mereka ciptakan selama puluhan tahun.
Markas Gelap. Sagara Menatap Langit. Sagara Widjaya, berdiri di puncak Menara Retak, menatap bulan yang terbelah samar.
“Ayah… akhirnya dia memilih jalan yang tidak kita pahami,” bisiknya.
Di sekelilingnya, Lantara, Karna Palamar, Ruhmaya, bahkan Syanira berdiri dalam diam. Mereka bukan lagi musuh. Tapi juga bukan teman.
“Maka biarlah dunia diputuskan oleh satu pertarungan terakhir. Biar satu darah Mahesa menguji yang lainnya.”
Kota Cendana. Panggung Pertarungan Akhir. Satria Wibawa, kini menjadi Pendekar Tanpa Bayangan — seseorang yang menyatu dengan gelap dan terang Mahesa, tapi tak membiarkan keduanya memimpin.
Ia berjalan sendirian ke tengah lapangan pusat kota Cendana, di mana tujuh lawan menantinya. Namun, sebelum mereka menyerang — langkah kaki terdengar dari belakang.
“Kau pikir aku akan membiarkanmu bertarung sendirian?”
Shinta Chantika berdiri di sampingnya, mengenakan pakaian latihan silat berwarna hitam keperakan, dengan simbol Widyawati Corp di dadanya — simbol yang kini tak hanya berarti bisnis, tapi keadilan dan keberanian.
Dan dari arah lain, Kiara muncul. Ia tak membawa senjata, hanya kitab Hening…tapi kata-katanya telah membuat lawan gemetar sebelumnya.
Bagas pun muncul, dengan baju lapuk dan senyum nekat.
“Kalau kita mati… setidaknya kita mati bareng.”
Pertarungan Akhir — Simfoni Tujuh Luka. Pertarungan dimulai seperti badai melintasi padang. Karna Palamar bertarung dengan gaya api-logam yang brutal.
Ruhmaya mengubah udara menjadi air.
Syanira menggunakan boneka-boneka berjiwa.
Lantara menyebar racun melalui bisikan.
Resi Tulasih memukul dengan gema sunyi.
Bayu Laksa memanipulasi suhu dan arah angin.
Dan Sagara… berdiri terakhir, memanggil Mahesa Kegelapan dari bayangannya sendiri.
Tapi Satria… tak lagi bertarung dengan teknik Mahesa.
Ia bertarung dengan caranya sendiri.
Tangannya bukan hanya menghantam, tapi menyembuhkan.
Kakinya bukan hanya menyerang, tapi menahan.
Dan saat ia bertatap mata dengan satu per satu mereka…mereka tidak melihat Mahesa. Mereka melihat diri mereka yang terlupakan. Satu per satu, lawan-lawan itu meletakkan senjata.
Konfrontasi Terakhir: Sagara vs Satria. Sagara tak gentar.
“Kau ingin menyembuhkan dunia, tapi dunia hanya tahu cara menghancurkan!”
Satria mengangguk.
“Maka biar aku jadi yang pertama disalahkan. Asal bukan kalian lagi yang terluka.”
Mereka bertarung. Tidak dengan pukulan. Tapi dengan jiwa.
Dua saudara — sama-sama anak Mahesa.
Satu ingin mewarisi.
Satu ingin mengakhiri warisan.
Dan di akhir benturan —
Sagara roboh.
Tapi bukan karena kalah.
Karena ia sadar… ia lelah.
Cahaya Tanpa Bayangan. Tujuh pecahan kini tak lagi menjadi sumber kekuatan. Satria mengurungnya kembali ke dalam batu kesatu, lalu menyegelnya di dasar Kota Cendana, dengan mantra pengikat yang hanya bisa dibuka oleh mereka yang rela kehilangan apa pun yang mereka cintai demi orang lain.
Kiara menjadi juru damai antarperguruan.
Bagas mendirikan perguruan silat rakyat.
Shinta membangun Widyawati Foundation, rumah bagi pendekar-pendekar muda yang tidak ingin terjebak dalam dendam.
Dan Satria?
Ia menghilang.
Tapi legenda mengatakan…di setiap bencana yang nyaris memecah dunia, akan muncul bayangan pendekar berpakaian kelabu, yang tak memiliki bayangan…
Tapi mampu menyembuhkan luka terdalam dengan satu sentuhan.
Sementara Itu. Di Warung Kecil Pinggir Sungai.
Seorang anak bertanya kepada ibunya:
“Bu, apa benar ada pendekar yang bisa menenangkan angin dan memaafkan petir?”
Sang ibu tersenyum.
“Namanya Satria Wibawa.
Dia bukan pendekar terkuat. Tapi dialah yang tidak pernah berhenti memilih menjadi manusia.”
TAMAT: Terima kasih telah mengikuti “Satria Wibawa – Pendekar dari Jurang Takdir.” Semoga terhibur.
Nantikan kisah-kisah khas lainnya hanya di jafarbuaisme.com.