Disklaim: Alur kisah ini fiktif belaka, meski mengacu pada beberapa kasus keterlibatan aparat kepolisian dalam peredaran narkoba. Bila ada kesamaan nama dan kisah, itu hanyalah kebetulan belaka.

Di sepanjang Pantai Timur Sumatera yang tenang dan memikat, ternyata mengalir arus hitam yang tak kasat mata. Penyelundupan narkotika dari Malaysia, telah menyusup ke jantung kampung-kampung nelayan, disembunyikan di balik jerat perdagangan laut dan jaring kepercayaan. Mereka bilang itu adalah “Garam Malaysia“.

Di tengah itu ada kisah Komisaris Polisi Lintang Raras. Mantan penyidik narkotika dari Jakarta ini dipindahkan ke kampung di Pantai Timur Sumatera dua tahun lalu, setelah menolak uang suap dari jaringan internasional. Inilah kisahnya.

Bagian 1: “Pasir, Kapal, dan Mata yang Mengintai”

Senja masih basah di Pesisir Timur Sumatera. Laut Sumatera yang biasanya tenang berubah menjadi ombak hitam, liar dan dingin, seolah menyembunyikan sesuatu di bawah gelombangnya. Angin membawa aroma asin bercampur amis, menabrak wajah Komisaris Polisi Lintang Raras yang berdiri di atas dermaga kayu tua, memandangi horizon yang perlahan menelan cahaya.

Lintang bukan polisi biasa. Ia dijuluki “Si Jam Dinding” oleh rekan-rekannya, karena kebiasaannya memutar waktu dalam pikirannya, menelusuri jejak ke belakang, menyusun puzzle dari serpihan kecil. Mantan penyidik narkotika di Jakarta itu dipindahkan ke Pantai Timur dua tahun lalu, setelah menolak uang suap dari jaringan internasional.

BACA INI JUGA:  Mayjen TNI Dian Andriani: Kowad Pertama yang Menyandang Bintang Dua

Kini, ia berdiri lagi di tengah pusaran kasus besar.

“Satu kapal nelayan dari Malaysia sandar di Pantai Labu semalam. Tanpa izin. Bukan jalur resmi,” lapor Briptu Arsyad sambil menyerahkan map cokelat yang basah ujungnya. “Tiga peti es ditemukan. Isinya… bukan ikan.”

Lintang membuka map itu perlahan. Foto-foto buram dari kamera saku menunjukkan bungkusan plastik bening, disembunyikan dalam balok es. Kristal putih. Methamphetamin. “Sabu kualitas tinggi,” gumam Lintang. “Ini bukan kerjaan nelayan kecil.”

Ia menatap ke arah Briptu Arsyad. Pemuda itu jujur, baru setahun lulus dari SPN. Wajahnya bersih dari intrik. Tapi Lintang tahu, di kantor kecilnya sendiri pun tak semua bisa dipercaya.

“Siapa yang menyita?” tanya Lintang.

“Petugas patroli malam, Pak. Tapi… ada yang janggal.”

Lintang menaikkan alis.

“Setelah barang diamankan, tidak dilaporkan langsung. Butuh waktu delapan jam sampai data masuk ke sistem.”

“Siapa komandannya?”

“IPTU Winarno.”

Lintang menunduk, perlahan menyesap kopi hitam dari termos kecil di saku jaketnya. Iptu Winarno adalah polisi tua, sebentar lagi pensiun. Terkenal licin dan sering bepergian ke Malaysia dengan alasan ‘koordinasi lintas batas’. Namanya pernah disebut dalam investigasi tahun lalu oleh internal, tapi tak pernah terbukti apa-apa.

“Suruh Winarno datang. Sekarang.”

Sementara itu, jauh di sisi lain pesisir, di balik deretan pohon kelapa dan rumah panggung yang merapat ke tanah, seorang pria berkemeja putih dengan peci hitam duduk di dalam gudang tua. Di depannya, dua karung garam berdiri. Tapi di dalamnya bukan butiran asin.

BACA INI JUGA:  Video: Begini Dahsyatnya Ledakan Gunung Ruang di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara

Ia dipanggil Tun Latif, tokoh kampung sekaligus juragan ikan asin yang disegani di Pantai Timur. Tapi diam-diam, ia adalah penghubung utama antara pedagang Tawau dan para penadah di Sumatera. Tak pernah tertangkap, karena semua disamarkan dengan rapi. Garam dari Malaysia, katanya. Kualitas tinggi. Padahal, barang haram itulah yang dikemas bersama karung-karung garam itu.

Di depannya, lelaki berkulit gelap dengan tato tulisan Cina di leher menyodorkan sebuah koper.

“Untuk Bapak dan… teman-teman di pos sana,” katanya dalam logat Melayu kental.

Latif mengangguk. “Jaga jalurmu tetap tenang. Jangan buat gaduh. Polisi kita sudah kenyang.”

Malam mulai jatuh, dan IPTU Winarno akhirnya duduk di ruang kecil kantor Lintang.

“Bapak telat melaporkan penyitaan kapal tadi malam,” kata Lintang, datar. “Delapan jam. Kenapa?”

Winarno tertawa kecil. “Listrik mati. Sinyal putus. Laporan digital tertunda, Komandan. Biasa di kampung.”

Lintang menatap mata Winarno. Tak berkedip. “Satu bungkusan hilang dari TKP. Yang lain dicatat, satu tidak.”

Winarno menghela napas. “Saya tak tahu soal itu.”

“Jangan bohong. Saya tak suka diolok-olok.”

Winarno mencoba berdiri, tapi Lintang lebih dulu menahan dengan pandangannya. “Kita ulang lagi pemeriksaan. Kali ini bersama Propam dan Polda.”

Keesokan paginya, Lintang mendatangi rumah tua di tepi pantai. Di sana tinggal perempuan tua yang dulu menjadi informan pentingnya saat kasus sabu jaringan Myanmar – Malaysia – Sumatera di tahun pertamanya di Pantai Barat. Namanya Inang Lino. Ia tak punya siapa-siapa selain seekor burung nuri tua dan segenggam cerita.

BACA INI JUGA:  Indonesia Turun Full Team di Asian League Paragliding Accuracy 2024, 2 di Antaranya Perempuan

“Lintang… kamu datang lagi ya,” sapanya, batuk kering menyambut.

“Aku butuh cerita, Inang. Tentang kapal yang sandar semalam.”

Inang tertawa. “Mereka kira aku buta. Tapi mata tua ini masih bisa melihat kabut. Tiga lelaki turun dari kapal. Tapi satu kembali sebelum fajar.”

Lintang mengerutkan kening. “Kembali?”

“Ya. Mungkin ada yang tertinggal.”

Lintang tahu. Terkadang, satu detail kecil dari seorang tua bisa berarti lebih dari sejuta data dalam sistem. Ia menuliskan laporan sambil menghela napas.

Satu orang kembali. Mencari sesuatu. Atau menyembunyikan yang belum sempat diselundupkan.

Di sisi lain, Briptu Arsyad yang ditugasi menyelidiki gudang-gudang nelayan menemukan sesuatu. Di balik gudang milik Tun Latif, ia melihat peti es kosong—tapi ada jejak bekas es yang belum sepenuhnya mencair. Di lantai, butiran kecil putih bersinar terkena cahaya lampu senter.

Ia mengantongi sedikit sebagai sampel. Tapi saat hendak berbalik, dua lelaki asing berdiri di ambang pintu. Satu memegang parang.

“Polisi tak usah banyak tanya di sini,” kata salah satu dengan suara dingin.