Oleh: Jafar G Bua*
Sejarah, selalu dikenal dan dikenang dengan nama.
Bukan hanya peristiwa yang mengendap dalam ingatan, tapi kata-kata yang disematkan padanya. Nama, seperti prasasti, tak hanya menyebut, tapi juga memanggil jiwa yang pernah ada.
Di Pasuruan, Jawa Timur, sejak 5 Mei 1962 berdiri satuan bantuan tempur di bawah Kostrad: Batalyon Zeni Tempur 10/Jaladri Palaka. Jaladri, dari Jawa kuno berakar Sanskerta, berarti samudra. Palaka berarti perisai, pelindung. Sebuah mantera gagah, kokoh, seolah memanggil ombak dan keberanian.
Kini, 63 tahun kemudian, kata Palaka kembali muncul. Tapi bukan di tepi Selat Madura. Melainkan di Tanah Kaili. Kodam XXIII/Palaka Wira. “Wira”, prajurit pelindung, akan diresmikan 10 Agustus 2025, menaungi Tanah Kaili, Sulawesi Tengah dan Tanah Mandar, Sulawesi Barat.
Saya teringat percakapan dengan seorang kawan lama baru-baru ini. Ia bilang, palaka itu ibarat mantera. Doa penyemangat. Saya mengangguk. Tapi dalam hati, saya bertanya: mengapa doa itu harus datang dari bahasa Jawa kuno, bukan dari bahasa Kaili, Mandar, atau Bare’e di Poso? Mengapa pelindung yang menjaga tanah ini tak disebut dengan identitas yang lahir dari rahimnya sendiri?
Pada hari yang sama nanti, lima Kodam baru lain akan lahir.
Kodam XIX/Tuanku Tambusai membawah Riau dan Kepulauan Riau, merujuk pada nama ulama, salah seorang pemimpin Perang Paderi.
Kodam XX/Tuanku Imam Bonjol, membawahi Sumatera Barat dan Jambi, meski Jambi punya Sultan Thaha, tapi sebab Kodam
bermarkas di Kota Padang, maka nama pahlawan nasional Tuanku Imam Bonjol yang diambil sebagai identitasnya.
Kodam XXI/Radin Inten, Lampung, meski juga membawahi Bengkulu yang punya Fatmawati Soekarno dan Ratu Samban, tapi cenderung memakai nama pahlawan nasional dari Lampung.
Kodam XXII/Tambun Bungai, Kalimantan Tengah. Nama pahlawan asal Kalteng dipilih meski membawahi Kalimantan Selatan yang punya tokoh bernama Pangeran Antasari.
Kodam XXIV/Mandala Trikora, Papua Selatan, merujuk pada nama Operasi Militer Mandala yang dipimpin Mayjen TNI Soeharo, kelak Presiden ke-2 RI, untuk merebut Irian Barat saat itu,dan sesanti Trikora-nya Bung Karno, yang saat itu Presiden RI, untuk menancapkan bendera Merah Putih dan mengusir Belanda dari Tanah Papua.
Hanya satu yang tak merujuk pada pahlawan atau akar daerah: Palaka Wira.
Harus diingat, Indonesia bukan hanya Jawa. Ia adalah jalinan pulau, bahasa, dan adat istiadat yang menjalin seperti tenun. Sulawesi Tengah bukanlah tanah tanpa nama. Ia punya Tombolotutu, Karanjalembah, pejuang-pejuang yang mengorbankan hidupnya untuk Indonesia. Sulawesi Barat punya Andi Depu dan lain-lainnya.
Penamaan, meski terdengar sepele, adalah cara negara mengakui sebuah daerah. Nama yang khas,lahir dari rahim budaya setempat, bisa jadi jembatan. Ia menghubungkan rakyat dengan tentara yang mengaku “manunggal” dengannya.
Apa sulitnya berkonsultasi dengan tokoh adat, budayawan, atau akademisi sebelum memutuskan? Zoom tak memungut ongkos kapal laut atau kapal udara. Diskusi tak harus memakan anggaran akomodasi dan konsumsi mewah.
Tapi mungkin memang begitulah para pejabat kita. Baik sipil maupun militer. Sering mengulang bunyi yang sudah dikenal. Malas mencari irama baru dari tempatnya berpijak. Begitulah seterusnya.
Barangkali, Palaka Wira akan tetap gagah di papan markasnya. Barangkali prajuritnya akan tetap berbaris dengan percaya diri. Tapi di hati sebagian rakyat, mungkin akan ada ruang kosong: sebuah jarak yang mungkin setipis titian rambut dibelah tujuh, karena nama itu tak lahir dari tanah yang mereka pijak. Langit yang mereka junjung.
Demikianlah. Wallahu alam bishawab. Hanya Allah yang lebih mengetahui kebenaran yang sesungguhnya.
*Jafar G Bua adalah penerima beasiswa Asia Journalism Fellowship dari Temasek Foundation – Institute of Policy Studies, National University of Singapore, 2019, kini Tenaga Ahli Anggota Fraksi Partai Gerindra DPR RI