Gempa bumi berkekuatan Magnitudo 7,9 mengguncang Pesisir Pantai Barat Donggala pada 1 Januari 1996, pukul 16.05 WITA. Episentrum gempa berada di Selat Makassar, sekitar 25 kilometer dari Tonggolobibi, Sojol, Donggala, Sulawesi Tengah.

Badan meteorologi mencatat, gempa kuat itu memicu tsunami setinggi 2 hingga 4 meter yang menerjang pesisir utara Sulawesi. Data resmi menyebut sedikitnya sembilan orang meninggal dunia, 63 orang luka-luka, dan sekitar 350 bangunan rusak parah akibat gempa dan gelombang pasang tersebut.

Tsunami dilaporkan menggenangi lebih dari 100 kilometer garis pantai dalam waktu 5–10 menit setelah gempa. Di Tonggolobibi, lebih dari 400 rumah hancur, sementara di wilayah Bangkir, Tolitoli, 183 rumah hancur dan 228 unit lainnya rusak. Lima perahu, termasuk dua kapal motor berbobot 500 ton, turut terseret hingga ratusan meter ke daratan.

US Geological Survey dan International Seismological Centre melaporkan, gempa bumi tersebut terjadi di zona kompleks pertemuan tiga lempeng besar, yakni Lempeng Sunda, Lempeng Australia, dan Lempeng Laut Filipina. Guncangan muncul akibat aktivitas sesar dorong dengan sudut kemiringan sangat dangkal, serta berinteraksi dengan Sesar Palu–Koro. Proses patahan berlangsung sekitar 30 detik dengan pergeseran rata-rata 1,8 meter.

BACA INI JUGA:  Ini Detik-detik Duo Jenderal Terjun Langsung Buru Teroris Poso

Sejumlah gempa susulan berkekuatan besar juga tercatat setelah peristiwa tersebut. Dua gempa berkekuatan 6,6 dan 7,0 magnitudo mengguncang pada Juli 1996, disusul gempa lain pada 1998. Aktivitas kegempaan ini dinilai turut meningkatkan tekanan di sepanjang Sesar Palu–Koro, yang kemudian memicu gempa besar pada 2018 di Palu dan Donggala.

Peristiwa gempa bumi Sulawesi 1996 menjadi salah satu bencana besar di kawasan timur Indonesia pada dekade 1990-an, meski tidak sebesar gempa 2018. Namun, catatan sejarah bencana tersebut tetap menjadi pengingat bahwa wilayah Sulawesi berada di jalur rawan gempa dan tsunami.

BACA INI JUGA:  Wiranto Mengaku Dianiaya Oknum Polisi di Palu

Ada satu hal penting pada peristiwa Tsunami Tonggolobibi 1996, yakni sebab masyarakat memelihara memori tsunami sebelumnya yang terjadi pada 1968, maka korban jiwa dapat diminimalisir. Memori itulah yang kemudian menjadi pengetahuan yang dituturkan turun temurun, bahwa bila air laut surut, itu tanda-tanda datangnya tsunami, sehingga masyarakat harus menjauh dari pantai dan naik ke atas bukit.

Tsunami 1968

Wilayah Pantai Barat, Donggala memang wilayah yang akrab dengan gempa bumi tsunami. Pada, 14 Agustus 1968, gempa bumi dan tsunami melanda wilayah ini. Gempa tersebut berkekuatan Magnitudo 7,4 Magnitudo Momen, memicu tsunami besar, dan menewaskan sekitar 200 orang. Banyaknya korban ini diakibatkan masyarakat yang tumpah ruah mengambil ikan setelah melihat air laut surut. Dari informasi yang dihimpun jafarbuaisme.com, korban terbanyak di Pantai Mapaga, Balaesang, Donggala.

BACA INI JUGA:  Hearing on Honourary General Rank Bestowed by Jokowi Postponed Due to Prabowo Subianto’s Absence

Tiba tsunami datang dengan tinggi gelombang 8 m (26 kaki) hingga 10 m (33 kaki). Gelombang terluas mencapai 300 m (980 kaki) ke daratan, dan juga menghancurkan 700 rumah selain korban jiwa tadi.

Gempa bumi tersebut terjadi di sepanjang patahan Palu-Koro di Tanjung Manimbaya. Gempa bumi ini menyebabkan penurunan tanah yang menurunkan elevasi hingga 2 m (6 kaki 7 inci) hingga 3 m (9,8 kaki) di sepanjang pantai. Gempa bumi terjadi di dekat Laut Sulawesi; itu menenggelamkan pulau Tuguan di dekat Tanjung Manimbaya. ***