“Lihat. Si Bung sudah datang. Bersafari lengan pendek tampaknya dia. Tongkat komando ada pula digenggamnya. Si Bung memang penuh kharisma,” sahut Mangge Yodjo, yang berdiri di samping saya.
“Iya,” jawabku pendek.
Mangge Yodjo adalah mantan aktivis pemuda di Tanah Kaili. Ia aktif di Jong Celebes, organisasi pemuda di Pulau Sulawesi. Sudah melanglangbuana agaknya dia. Kakinya sudah menjejak Batavia hingga Serambi Mekkah, Atjeh Darussalam juga Borneo.
Ia datang pula ke Gelanggang Olahraga ini. Saya menemaninya. Rupanya ia ingin mengulang kenangan masa mudanya. Almanak menunjuk Rabu, 2 Oktober 1957. Usianya 77 tahun. Ia lebih tua dari Bung Karno kala itu. Ia kelahiran 1880. Sedang Si Bung kelahiran 1901.
Ia dengan bangga berkisah di suatu tempo bersalaman dan berpelukan dengan Si Bung. Ia masih ingat almanak menunjukkan tahun 1930. Kali ini, ia pun ingin bersalaman.
“Waktu itu Indonesia belum merdeka,” kata dia.
Ia bercerita, saat menjalani persidangan di Landraad, Bandung, Soekarno membacakan pledoi yang kemudian dikenal sebagai Indonesia Menggugat. Kala itu bersama tiga rekannya; Gatot Mangkupraja, Maskun, dan Supriadinata yang tergabung dalam Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) dituduh hendak menggulingkan kekuasaan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Mangge Yodjo bilang, ketika itu Bung Karno mengawali pidato pembelaan Indonesia Menggugat dengan menyampaikan bahwa proses peradilan yang sedang dilakukan terhadapnya adalah sebuah proses politik penguasa kolonial untuk membungkam gerakan nasional yang mulai tumbuh sejak dekade awal abad ke-20.
“Tak usah kami uraikan lagi, bahwa proses ini adalah proses politik: Ia, oleh karenanya, di dalam pemeriksaannya, tidak boleh dipisahkan dari soal-soal politik yang menjadi sifat dan asas pergerakan kami dan yang menjadi nyawa pikiran-pikiran dan tindakan- tindakan kami,” begitu kata Mangge Yodjo mengulang Bung Karno.
Usai persidangan, bersama kawan-kawannya berusaha menyalami Si Bung. Meski dihalangi oleh Polisi Belanda yang mengapit mereka.
Itulah kenapa ia tak kaget lagi saat Bung Karno didampingi Bung Hatta mengumumkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
“Si Bung memang penuh semangat sejak remaja. Banyak harapan dan doa di pundaknya sejak awal. Kami yakin ia akan menjadi pemimpin Indonesia,” tutur Mangge Yodjo yang memilih tak berkarir di Jakarta saat banyak koleganya bertahan di sana.
Baginya Tanah Kaili, kampung halamannya lebih indah dari belahan Nusantara manapun.
Ia bangga pernah menjadi bagian dari perjuangan merebut Indonesia dari tangan penjajah. Tapi seperti aktivis tua lainnya, ia tak jumawa. Selalu rendah hati dan sabar. Itulah sebabnya saya kerap menghabiskan waktu bersamanya di saat senggang.
Saya yang muda dan mulai berkarir sebagai kuli tinta banyak mendapat pengetahuan baru darinya. Kaki saya masih menjejak di Tanah Kaili belum ke mana-mana.
Hanya saja, saya beruntung sempat menyaksikan Bung Karno dari dekat. Sempat bersalaman dengannya berkat Mangge Yodjo yang tetap dikenal Si Bung. Presiden pertama Indonesia itu memang tak pernah lupa kawan maupun lawan. Pembawaannya hangat dan bersahabat. Ia memang kharismatik.
“Plak…” Pukulan di bahu menyadarkan saya. Saya hampir terjatuh tertumbuk pohon johar tua di Taman Gelanggang Olahraga. Rupanya saya terbawa lamunan. Saya merasakan kehadiran Bung Karno di hadapan saya.
Tapi yang saya dengar bukanlah suara Si Bung yang menggelegar dan dalam itu. Saya mendengar suara lelaki yang ternyata Walikota Palu, Hidayat. Ia baru saja membuka selubung Patung Bung Karno di Monumen Mutiara Bangsa di Taman GOR di Jalan Mohammad Hatta, Palu.
Almanak menunjukkan Rabu, 26 Agustus 2020. Sosok Si Bung berdiri gagah di atas tatakan persegi. Tingginya 8 meter. Tatakannya setinggi 2 meter. Luas bangunan keseluruhan 5 x 7 meter.
“Itu penanda waktu Bung Karno datang ke Tanah Kaili ini. Diceritakan oleh para tetua, saat itu setelah turun dari pesawat ia bilang; dari atas udara Kota Palu ini seperti untaian mutiara. Beliaulah yang juga mengganti nama bandara udara menjadi Mutiara dari nama semula Masovu yang artinya berdebu,” jelas Walikota Hidayat.
Rencananya, di bawah Monumen Mutiara Bangsa ini akan ada ornamen dan foto-foto kedatangan Bung Karno di Palu. Sekarang masih dalam penyempurnaan.
Palu menjadi kota kesekian yang punya patung Bung Karno. Sebelumnya patung serupa ada di Jakarta, Blitar, Bali, Mojokerto dan di beberapa tempat lainnya. Bahkan patung Si Bung ada di Aljir, Aljazair dan Mexico. ***