Sepanjang perjalanan berkendara menuju rumah, Kamis, 10 September 2020 sore, saya menyusun tulisan ini. Saya memang terbiasa mencatatkan dalam kepala apa yang akan saya tulis kemudian. Mulai dari judul hingga isi tulisan.
Ini terkait dengan pemilihan Gubernur Sulteng yang hanya diikuti oleh pasangan Mohammad Hidayat Lamakarate – Bartholomeus Tandigala dan Rusdi Mastura – Ma’mun Amir.
Sedianya ada Anwar Hafid dan Pasha Ungu juga Rusli Palabi dan Aldi Taher yang akan turun berlaga. Sayangnya, kedua pasangan ini tak punya kursi cukup untuk bisa mendaftar di Komisi Pemilihan Umum Sulawesi Tengah.
Tadi juga saya membayangkan Ketua Aliansi Jurnalis Independen Palu, Muhammad Iqbal Rasyid akan tertawa lebar bila membaca tulisan ini.
Maklum, saban hari ia menjadikan Aldi Thaher sebagai ‘bahan lelucon politik’.
Jadi coba kita mulai kisah ini dari Aldi Taher. Tapi harus kita sepakati dulu bahwa ini bukanlah artikel politik yang ditulis oleh seorang pengamat atau ahli. Ini cumalah catatan ringan nan ‘menyenangkan’ tentang Pilgub Sulteng 2021 – 2024.
Nama lengkap bahan pembicaraan kita ini adalah Aldiansyah Taher. Ia lahir di Jayapura, Papua, 25 Oktober 1983. Mantan suami pesohor Dewi Persik ini digandeng oleh Wakil Gubernur Rusli Dg Palabi. Konon, Rusli sudah mengantongi rekomendasi dari Partai Amanat Nasional yang punya 2 kursi di DPRD Sulteng. Artinya mereka harus mencari 7 kursi lagi untuk mendapatkan kartu pass menuju KPU.
Tapi apa lacur, hingga 6 September 2020 di akhir masa pendaftaran bakal calon, usungan yang mereka harapkan tak mencukupi. Itu pula yang dialami oleh Anwar Hafid – Pasha Ungu.
Menarik mengikuti jejak Aldi Taher, sebab setelah batal maju, ia memposting video pendek di Instagramnya akan mendaftar menjadi Calon Presiden Amerika Serikat.
Sebelumnya akan menjadi Calon Wakil Gubernur Sumatera Barat. Aldi memang orang Minangkabau yang besar di Jayapura.
Lalu belakangan ia mengaku sebagai Presiden Cinta.
Kisah Aldi Taher ini sejatinya melengkapi kutipan saya soal menjaga demokrasi Indonesia.
Demokrasi kita memang mesti dirawat dengan banyak humor. Olehnya pemilihan umum, baik pemilihan legislatif, pemilihan presiden atau pemilihan kepala daerah harus dihadapi dengan riang gembira. Pemilu ini harus penuh canda dan tawa. Itu agar kita tak saling mencaci dan membenci, apalagi sampai harus berkelahi.
Biasa pula, di saat para pendukungnya saling mencaci dan membenci, jagoannya masing-masing makan bersama dan bersenda gurau.
Itulah mengapa pemilu mulai dari tingkat nasional hingga ke daerah harus kita isi dengan tawa dan canda. Dan Aldi Taher membantu kita mewujudkannya. Ia sudah menjadikan Pilgub Sulteng riang gembira, seriang kita ketika mengomentari postingan-postingan ‘uniknya’ di Instagram.
Lalu bagaimana pula Anwar Hafid? Ia juga punya andil membuat Pilgub kita berjalan dalam suasana riang gembira. Setelah tak lolos, ia menyerahkan rekomendasi dari DPP Partai Demokrat ke pasangan Rusdi Mastura – Ma’mun Amir.
Namun sebatas itu saja. Sedang pendukungnya tak mendapat perintah apapun untuk mendukung siapa. Sampai-sampai ada yang melakukan improvisasi tidak akan memilih dalam pemilihan gubernur ini. Ada pula yang beralih mendukung Hidayat – Bartho.
Jadi sesungguhnya, Anwar Hafid hanya seperti menyerahkan ‘surat tanpa lampiran” ke pasangan Rusdi – Ma’mun karena tak diikuti perintah jelas kepada kader Partai Demokrat untuk mendukung sesiapapun.
Adapun Pasha Ungu belum lagi terdengar kabarnya. Ia tampak kecewa berat setelah batal maju. Postingan instagramnya pun pernah berhias gambar kotak hitam. Mungkin ia bersedih. Pasha memang bukanlah politisi. Suami dari Adelia ini tak membayangkan bahwa dunia ini bukanlah seperti panggung nyanyi yang digelutinya.
Saya sendiri sebenarnya berharap, Pilgub Sulteng diikuti oleh 4 pasanga cagub dan wagub, sayangnya tak begitu. Supaya pilgub kita menjadi lebih seru dan ramai. Masyarakat pun bisa selalu menonton konser Pasha Ungu serta pentas Aldi Taher dengan gratis.
Sayang ya, bukan begitu adanya Pilgub Sulteng ini. ***