Jurnalisme telah menjadi dunia saya selama tidak kurang 22 tahun terakhir ini. Saya memilih tetap bekerja di Palu, Sulawesi Tengah meski beberapa kali ditawari untuk bekerja di Kota yang lebih besar seperti Jakarta.
Pada saat bencana dahsyat melanda Palu, Donggala, Sigi dan Parigi Moutong, Jumat, 28 September 2018, saya, istri dan anak saya yang baru berusia 12 tahun memilih bertahan di Palu. Bukan sebagai jurnalis tetapi sebagai pekerja kemanusiaan. Kami membuka posko logistik untuk memenuhi kebutuhan Pokok penyintas bencana. Kami menyebarkan bantuan kemanusiaan dari Fajar dan Palu Ekspres.
Adalah Mahasiswa Pecinta Alam Teknik Universitas Muslim Indonesia, Makassar yang mendukung kami menebar bantuan hingga ke Donggala, Tavaeli dan daerah terdampak lainnya. Relawan lain pun turut membantu hingga kami bisa menembusi daerah terisolir di Kulawi Selatan ketika itu.
Di saat lain, saya adalah jurnalis peliput konflik dan kasus terorisme pula. Saya juga blogger, vlogger dan penyuka dunia masak-memasak.
Hidup saya penuh keberuntungan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Pada 2007, saya dan Dandhy Dwi Laksono bersama 16 jurnalis TV dari beberapa daerah lainnya di Indonesia mendapat beasiswa dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat untuk belajar jurnalisme penyiaran di Ohio University, Athens, Ohio.
Sebelumnya pada 2004, saya diberi kesempatan oleh Pendidikan Jurnalis TV, Broadcaster Center, FISIP, Universitas Indonesia, belajar tentang teknik pertelevisian di Kampus UI Depok.
Pada 2019, saya beruntung menjadi salah seorang yang mendapat beasiswa dari Temasek Foundation untuk belajar dalam Program Asia Journalism Fellowship di Institute of Policy Studies, Lee Kuan Yew School of Public Policy, di National University of Singapore, Singapura.
Selebihnya, saya adalah suami dan ayah yang sungguh menyintai keluarga saya. Tak suka melewatkan hari tanpa secangkir kopi atau sepiring nasi kuning. ***