Saya tak hendak membahas ‘kejagoan’ Presiden Joko Widodo yang meliuk-liuk di Mandalika International Circuit, Jumat, 12 November 2021 lalu. Saya juga tak ingin membahas sepeda motor modifikasi berwarna hijau garapan Katros Garage yang dipakai mantan Wali Kota Solo itu.

Di akhir pekan ini, saya teringat betapa media dan wartawan di Indonesia sungguh beruntung. Meski agak ‘dicederai’ dengan aturan verifikasi Dewan Pers yang lama dan ruwet, sampai-sampai lebih sulit daripada aturan surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) di zaman Orde Baru.

Jadi saya mau menceritakan bagaimana media-media di Singapura; Cetak, online, televisi dan radio, sejatinya hidup di bawah kontrol ketat Pemerintah. Dibanding Indonesia yang punya ribuan perusahaan media dan jutaan media, Singapura cuma punya dua Perusahaan Media. Pertama, Singapore Press Holdings dan kedua, Mediacorp. Keduanya dimiliki oleh Pemerintah Singapura, baik langsung maupun tak langsung.

Di Indonesia kita punya batasan jelas. Bila Antara, TVRI dan RRI dimiliki oleh Pemerintah, lainnya dimiliki swasta murni.

Coba kita lihat kedua perusahaan media Singapura itu. Mulai dari yang pertama; Singapore Press Holdings.

Singapore Press Holdings Limited (SPH) saat ini mempunya bisnis media cetak berbahasa Inggris, China, Melayu dan Tamil-sesuai perimbangan suku bangsa di negara kota itu. Mereka juga punya sejumlah media online, radio yang segmented, dan media luar ruang, serta bisnis property dan pusat perawatan manusia lanjut usia.

SPH memiliki lebih dari 4.000 karyawan, dengan 1.000 jurnalis, termasuk koresponden yang bekerja di seluruh dunia. Seperti semua perusahaan surat kabar di Singapura, SPH diatur oleh Undang-Undang Surat Kabar dan Percetakan – Newspaper and Printing Presses Act (NPPA) 1974 dan menerbitkan saham manajemen dan saham biasa. Seperti yang ditentukan oleh NPPA, semua masalah dan pengalihan saham manajemen harus disetujui oleh Ministry of Information, Communications and the Arts – Kementerian Informasi, Komunikasi dan Seni.

SPH memang sulit dilepaskan dari Pemerintah, meski saat ini mereka telah melantai di pasar bursa. Dalam sejarahnya, S.R. Nathan, Direktur Keamanan dan Divisi Intelijen – Security and Intelligence Division dan kemudian Presiden Singapura menjabat sebagai Ketua Badan Eksekutif – Executive chairman, SPH dari 1982 hingga 1988. Komposisi Badan Eksekutif itu berlanjut hingga kini. Bahkan, Mantan Kepala Satuan Angkatan Bersenjata Singapura, Ng Yat Chung menjadi Chief Executive Officer SPH hingga kini.

Bagaimana dengan Mediacorp Pte. Ltd. Perusahaan ini menahbiskan diri sebagai konglomerasi media massa di Singapura. Mereka memosisikan diri sebagau badan penyiaran radio dan televisi publik nasional. Mediacorp menjalankan 6 saluran televisi, 11 stasiun radio, dan layanan streaming berdasarkan permintaan – on demand broadcasting. Itulah yang menjadikan mereka sebagai bisnis media terbesar di Singapura. Sahamnya sebagian besar adalah milik Temasek Holdings. Perusahaan investasi ini dimiliki Pemerintah Singapura.

Jadi dengan menyimak itu, dapatlah dibayangkan seperti apa isi media Singapura. Bahkan media-media di Singapura dilarang untuk memberitakan demonstrasi menentang Pemerintah.

Saat saya bertemu dengan salah seorang jurnalis senior di sana, ia dengan bangga menceritakan suatu waktu koran di mana ia menjadi editornya berhasil memuat foto unjuk rasa di halaman pertama. Ia disebut oleh kawan-kawannya yang lain sebagai jurnalis berani.

Bagi kita di Indonesia, itu adalah hal biasa. Cobalah tengok halaman media kita pada akhir Desember 2016 yang isinya berita dan foto unjuk rasa 212. Lalu pada Oktober 2020 saat protes menentang Undang-Undang Omnibus Law.

Coba saja bayangkan, bila modal usaha penerbitan pers kita semua dikuasai negara, maka apa jadinya isi berita media kita?!.