Di Tanah Bugis, Sulawesi Selatan, orang mengenal Bissu. Mereka adalah orang suci, pendeta atau pemimpin agama dalam tradisi Bugis tua. Mereka adalah pemuka. Gendernya dipandang sebagai campuran laki-laki dan perempuan dalam tatanan masyarakat. Golongan Bissu mengambil peran gender laki-laki dan perempuan. Kaumnya dilihat sebagai separuh manusia dan separuh dewa. Tugas utama mereka bertindak sebagai penghubung antara dua dimensi; alam manusia dan alam dewata.

Kata Bissu sendiri berasal kata bessi yang berarti bersih. Mereka disebut Bissu karena tidak berdarah, suci (tidak kotor), tidak menyusui, dan tidak haid.

Peran Bissu pada masa kerajaan-kerajaan Bugis kuno sangat besar. Bissu pada masa itu masuk dalam lingkaran birokrasi kerajaan. Para Bissu ini diberi jabatan sebagai penasihat spiritual raja. Bahkan para Bissu diberi kewenangan untuk menobatkan raja. Masyarakat percaya bahwa doa yang dilakukan Bissu sangat berpengaruh pada kewibawaan raja.

Orang banyak menganggap mereka waria atau seperti kita kenal sekarang: bencong atau bencis. Namun, menurut Sharyn Graham, seorang peneliti di University of Western Australia di Perth, Australia, mereka tidak dapat dianggap sebagai banci atau waria, karena mereka tidak memakai pakaian dari golongan gender apa pun namun setelan tertentu dan tersendiri untuk golongan mereka.

Nah, di Tanah Kaili, Sulawesi Tengah ternyata kita juga mengenal tradisi Bissu itu. Peran mereka pun sama. Selalu hadir dalam semua ritual penting keadatan di Tanah Kaili di zaman itu. Mereka tergolong lingkaran dalam Maradika atau Bangsawan di masa itu. Sebutan mereka: Bayasa atau To Bayasa. Ada yang menamai mereka sebagai To Lenda. Ini diksi waria – wanita pria – dalam Bahasa Kaili.

Mereka bukan orang sembarangan. Mereka saat itu adalah semacam orang suci atau dukun utama dari upacara adat Balia. Bersama mereka ada pula perempuan-perempuan yang tak lagi mengalami haid. Sebab ini adalah ritual yang butuh kesucian, kemurnian dan kebersihan.

Tapi tak semua To Lenda bisa menjadi Bayasa, sebab garis keturunan juga menjadi alat ukurnya. Bayasa memainkan peran penting pula dalam penobatan raja, selain dalam pengobatan atau upacara tolak bala.

Pada 1910, Johan Christoffel Darmeijer seorang pengurus Verenigde Oostindische Compagnie (VOC), Kamar Dagang Hindia Belanda membuat foto Bayasa ini. Mereka di foto saat Motaro, atau menari dengan mengacungkan doke, tombak dan memegang kaliavo, tameng. Siga, penutup kepalanya pun unik bentuknya. Baju yang mereka pakai terbuat dari kain kulit kayu.

Foto jepretan Darmeijer itu kini menjadi koleksi digital KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal –, Land – en Volkenkunde) yang juga dikenal sebagai The Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies di Leiden University, Belanda.

Tradisi Bayasa itu hidup seiring sejarah tua Sulawesi Tengah. Bedanya; Dulu, mereka berperan utama dalam ritual-ritual adat penting di kerajaan, kini lebih banyak sebagai penata rambut, penata pengantin, perencana perkawinan atau lainnya. Dulu mereka dimuliakan, sekarang (mungkin) dianggap warga kelas dua atau tiga dan seterusnya.

Sekarang, karena kita tak lagi tahu, penamaan To Bayasa atau Bayasa dilekatkan begitu saja pada waria, bencong atau bencis. Padahal, di masa kejayaan kerajaan-kerajaan di Tanah Kaili, itu adalah sebutan kepada mereka yang memiliki kualifikasi sebagai orang suci, dukun, penasihat raja bahkan berperan mendampingi Panglima Kerajaan; Tadulako, saat negeri dalam keadan darurat atau tengah bertikai dengan kerajaan lain.

Sungguh, Sulawesi Tengah begitu kaya dengan adat, budaya dan tradisinya. ***