Albertus Christiaan Kruyt, seorang misionaris, etnografer, dan teolog Calvinis Belanda yang merintis pekabaran injil di Sulawesi menyebut keberadaan komunitas Tado dalam bukunya; De West-Toradjas Op Midden-Celebes. Buku ini terbit di Amsterdam pada 1938. Seperti apa sebenarnya suku ini?

Belasan kabilasa, anak muda dibantu beberapa totua, lelaki dewasa dan orang tua, terlihat sibuk di awal Desember 2021 itu. Mereka membawa batang-batang kayu kecil, papan dan atap rumbia. Ada pula yang membawa terpal dan alas plastik.

Mereka tak hendak membuat hajatan atau ritual adat. Ini adalah bentuk protes mereka pada perusahaan perkebunan. Mereka mengatakan, perusahaan sawit telah merampas talua, kebun dan ngata katuvua, kampung kehidupan mereka.

Mereka ternyata mendirikan Polibu, pondok tempat berkumpul dan bermusyawarah. Pondok ini mereka dirikan tepat di ujung Afdeling India PT. Mamuang. Mereka bermuka-muka dengan pohon sawit yang baru ditanam kembali di areal milik anak perusahaan PT. Astra Agro Lestari itu.

Pendudukan lahan ini bukanlah hal baru. Dari keterangan Dedi Lasadindi, 28 tahun, pemuda yang memimpin aksi pendudukan ini, aksi serupa sudah dimulai sejak 1991.  

“Kami akan tetap di sini, sampai perusahaan memberikan hak kami,” kata pemuda yang mengaku hanya tamatan Sekolah Menengah Pertama ini.

Tuntutan itu bagai impian yang sepertinya sangat sulit terwujud jadi kenyataan. Di samping mereka tidak bisa menunjukkan bukti-bukti kepemilikan, PT Mamuang sebagai perusahaan pun mengelola lahan tersebut di atas dasar hukum yang amat kuat dan sah.

Lahan perkebunan sawit yang mereka klaim itu, seperti diketahui diawali dari permohonan hak guna usaha yang diajukan oleh PT. Mamuang. Lalu pada 28 April 1994 Panitia Tetap Penyedia Tanah Kabupaten Tingkat II Mamuju, meninjau lokasi lahan yang dimohonkan HGU oleh Perusahaan. Saat itu ditemukan sebagian tanah tanah telah ditempati masyarakat Kabuyu untuk pemukiman dan kebun kakao.

Lalu atas kesepakatan antara Pemohon HGU dengan Tim Penyedia Tanah itu, lahan yang ditempati masyarakat itu dan juga dipergunakan untuk pencadangan lokasi seluas kurang lebih 250 hektare dikeluarkan dari permohonan HGU.

Kesepakatan ini dituangkan dalam Berita Acara bertanggal 28 April 1994 tentang Hasil Peninjauan Lapangan Areal Perkebunan Kelapa Sawit PT. Letawa (Ltd) dan PT. Mamuang oleh Panitia Tetap Penyedia Tanah Pemda Tingkat II Mamuju.

Berita Acara Kesepakatan ini kemudian ditindak lanjuti oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Mamuju dengan Menerbitkan Rekomendasi No. 522.12/828/IV/94/Ekon tertanggal 30 April 1994 tentang Keterangan Tanah Tidak Bermasalah pada Areal Perkebunan PT. Mamuang yang terletak di Desa Martasari, Kecamatan Pasangkayu.

Entah apa maksud Dedi, dan siapa yang mendorongnya mengajukan tuntutan seperti itu? Ia sendiri tak memberi jawabannya. Kecuali jawaban normatif bahwa mereka menuntut pengembalian tanah ulayatnya yang kini dikuasai Perusahaan. Namun tampak jelas, sejumlah lembaga swadaya masyarakat mendukung upaya mereka.

Dedi Sudirman Lasadindi (28), pemuda Kabuyu. (Foto: Jafar G Bua)

Nah, ihwal keberadaan suku ini, ceritanya memang menarik. Dedi mengatakan mereka adalah bagian dari Suku Kaili Tado, salah satu sub etnik Kaili. Suku ini memang tak begitu popular. Berbeda dengan Suku Bunggu atau Binggi yang bermukim di beberapa wilayah di Kabupaten Pasangkayu.

Sepintas, bahasa mereka seperti Bahasa Kaili Ledo. Penyebutan Kabilasa untuk anak muda serupa dengan Bahasa Ledo. Kampung pun mereka sebut sebagai Ngata.

Tom Laskowske and Kari Valkama, dua peneliti asing yang mendalami studi bahasa lokal di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan mengidentifikasi Bahasa Tado hanya dipakai di Kabuyu, Pasangkayu. Sementara Bunggu berinduk pada Bahasa Da’a dan lnde. Mereka melakukan survei sosiolinguistic itu pada 1983 – 1987 di sejumlah wilayah di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.

Asal muasal dan keberadaan suku ini hanya diceritakan turun temurun. Namun lebih pada mitos daripada fakta. Sebab tak adanya bukti fisik atau artefak tertentu yang menandai awal mula keberadaan mereka.

“Kami berasal dari Tua Pamula. Kami adalah keturunan kedua setelah Suku Kaili Ledo,” ujar Dedi, menceritakan mitos keberadaan suku ini.

Tua Pamula yang diceritakannya itu serupa dengan To Manuru atau To Manurung, manusia yang turun dari langit lalu menikah dengan manusia bumi kemudian menurunkan keturunan anak manusia.

Dedi menceritakan bahwa suku ini telah ada sejak 1217 saat Gabubu dilantik oleh Tua Pamula sebagai Madika, raja pertama di Loju. Loju adalah nama Kabuyu tua.

Ketika itu, Loju terdiri dari Sambolo, Kaposo, Bondolia, Souloka, Hivolo Dan Vayombo.

Menurutnya, Loju berubah menjadi Kabuyu pada sekitar 1700-an ketika sepokok kayu hitam ditemukan di Loju.

Anak Suku Kaili Tado di Kabuyu. (Foto: Jafar G Bua)

Albertus Christiaan Kruyt (10 Oktober 1869 – 19 Januari 1949) seorang misionaris, etnografer, dan teolog Calvinis Belanda yang merintis pekabaran injil di Sulawesi menyebut keberadaan komunitas Tado dalam bukunya; De West-Toradjas Op Midden-Celebes. Buku ini terbit di Amsterdam pada 1938.

Ia mendasarkan catatan ini pada penelitian Dr. S. J. Esser, seorang ahli bahasa dari Belanda di Rio Pakava. Esser meneliti di Sulawesi sejak 1928 – 1944. Esser menulis, meski mereka mengaku sebagai To Tado, tapi berbeda dialek bahasanya dengan suku bernama sama di Lindu, Sigi saat ini.  Saat itu, Esser meneliti di Tinauka dan Pantolobete yang berada di wilayah Kecamatan Rio Pakava, Donggala, Sulawesi Tengah.

Suku berbahasa Tado juga diketahui berada di Tuva, Gumbasa, Sigi. Mereka dikenal sebagai To Sinduru.

Sayangnya, selain bahasa lokal yang mereka gunakan, catatan mendalam tentang suku ini dalam buku itu tak dapat ditemukan.  

Istimewanya, berbeda dengan suku-suku asli di Sulawesi Tengah yang animis dan pemeluk Kristen, mereka mayoritas beragama Islam.  Sekarang, jumlah anggota sukunya hanya sekitar 107 orang.

Timothius, Kepala Desa Mertasari yang mengenal masyarakat suku ini mengatakan bahwa mereka bisa berbahasa bugis.

“Jadi saya berkesimpulan bahwa mereka ini berasal dari Labua, dari daerah pesisir,” kata dia.

Bila merujuk pada penelitian Esser dalam buku Kruyt itu besar kemungkinan bahwa Suku Kaili Tado yang kini mendiami Kabuyu memang berasal dari pesisir.

Dari sejumlah referensi, diketahui suku-suku asli di Sulawesi Tengah mempunyai kebiasaan nomaden atau berpindah-pindah. Ladang mereka berpindah mengikuti pemukiman baru. Barulah ketika pertanian modern diperkenalkan oleh Belanda, lalu transmigran Jawa dan Bali, kebiasaan berpindah ladang itu ditinggalkan.

Tentu saja, tak ada kisah pendudukan lahan milik pihak lain yang dituturkan dalam sejarah Suku Kaili. Sejak dulu, suku yang mendiami wilayah Sulawesi Tengah dan perbatasan Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah ini dikenal mendahulukan molibu, bermusyawarah dalam memutuskan perkara. Begitu pun mestinya yang dilakukan oleh Suku Kaili Tado di Ngata Katuvua Kabuyu. ***

Follow jafarbuaisme.com di Google News.