Ini kata yang lazim kita dengar saat sekumpulan orang menggelar unjuk rasa. Apalagi bila kemudian berakhir ricuh.
“Ini pasti ada provokatornya.” Begitu biasanya polisi atau aparat keamanan lainnya mengambil kesimpulan awal atas terjadinya demonstrasi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia keluaran Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan RI, kata bakunya adalah provokatur. Ini diartikan sebagai sebagai orang yang memprovokasi atau menghasut.
Akarnya berasal dari Provocateur yang merupakan ambilan langsung dari Bahasa Prancis. Kata kerjanya dalam Bahasa Inggris provoke. Sedang orang yang memprovokasi disebut sebagai provocateure.
Dalam Bahasa Latin disebut provocare, yang berarti memanggil. Mengapa kita mengatakan agen provokator untuk orang yang menghasut orang lain untuk bertindak, bukan hanya provokator? Mungkin karena agen provokator, istilah asal Prancis yang secara harfiah berarti “agen yang memprovokasi”.
Agen di sini merujuk pada orang per orang seperti petugas polisi yang menyamar atau petugas operasi politik yang tugasnya menghasut orang untuk melanggar hukum sehingga mereka dapat ditangkap. Namun secara umum, disebut saja sebagai provokator. Sikap yang menghasut itu disebut sebagai provocative atau provokatif.
Jadi, dalam demonstrasi massa, apalagi melibatkan banyak orang, provokator itu bukan hanya berasal dari massa demonstran tetapi juga polisi atau aparat keamanan lainnya yang mengamankan demonstrasi itu.
Dari sisi massa, provokator biasanya adalah simpul-simpul massa aksi yang ingin tuntutannya cepat dikabulkan, misalnya untuk masuk ke halaman kantor pemerintah yang mereka tuju. Mereka akan memancing massa untuk merangsek maju menembus barikade aparat. Inilah yang dengan mudah menimbulkan reaksi balasan dari aparat, lalu menembakkan peluru hampa, peluru karet atau gas air mata.
Dari sisi aparat, provokator ini adalah aparat intelijen yang bertugas mengurai massa. Mereka biasanya menyusup dalam barisan massa demonstran. Biasanya, agar demonstrasi cepat selesai, aparat itu memancing emosi massa, misalnya dengan memulai melempar aparat di depan barikade dengan air dalam kemasan gelas plastik. Biasanya setelah itu, demonstran terpancing ikut melempari aparat dengan apa saja yang ada di tangannya. Bahkan batu, biasanya.
Nah, lemparan itulah yang kemudian akan menjadi alasan bagi aparat merangsek dan membubarkan massa. Demonstrasi pun berakhir bentrok. Syukur-syukur bila tak ada korban jiwa.
Tapi sejatinya, provokasi tak hanya berwujud seruan langung. Ia bisa berupa gambar, foto, atau produksi audio visual. Baik yang dipublikasikan di media umum, di media sosial, maupun personal website. Bahkan tulisan macam ini pun dapat pula dianggap provokasi, tergantung dari sudut mana kita meniliknya. ***