Selain Lebaran Ketupat di Gorontalo yang dilaksanakan sepekan usai Idul Fitri, masyarakat Sulawesi utamanya keturunan Arab, punya tradisi Iwwadh. Di Kota Palu, Sulawesi Tengah, warga muslim keturunan Arab hingga kini masih menjaga tradisi Iwwadh atau Lebaran Arab. Saat Iwwadh, serombongan orang akan berkunjung dari rumah ke rumah tetua mereka. Tradisi ini sudah dilasanakan sejak puluhan tahun lalu. Lalu di akhirnya akan ditutup dengan pembagian hadiah uang.

Tradisi Iwwadh digelar pada hari kedua Lebaran Idul Fitri setiap tahun. Setelah berziarah ke makam Guru Tua, Sayyed Idrus bin Salim Aljufri, mereka berkunjung ke rumah-rumah tetuanya satu demi satu. Rombongan ziarahnya bisa sampai ratusan orang. Di setiap rumah yang didatangi, mereka membaca barzanji, riwayat Nabi Muhammad SAW dalam bentuk qasidah atau nyanyian. Lalu memanjatkan doa, bagi pemilik rumah.

Usai doa bersama, kemeriahan pun dimulai. Petasan dinyalakan saling bersahutan. Sembari uang dibagikan dari lantai dua sebuah rumah kayu tua yang mereka namai Nadoly Wood House.

Riuh. Ramai. Mengagumkan. Penuh nilai sosio-kultural. Bernuansa Timur Tengah. Itu beberapa kata yang mewakili Iwwadh.

“Ini dilaksanakan cukup lama dilakukan oleh orang tua kami. Ini sejak zaman Belanda. Didahului ziarah ke makam Guru Tua, lalu kami berziarah dari rumah ke rumah dan berakhir di Nadoly Wood House,” jelas Farid Djavar Nassar, seorang pengusaha keturunan Arab di Palu.

Dan, orang orang pun berhamburan. Memperebutkan uang yang dibagikan. Iwwadh sendiri bermakna kembali. Saling mengunjungi dan memberikan salam di setiap rumah yang didatangi. Ini adalah memfitrahkan diri kembali setelah sebulan berpuasa. Lalu merayakan Idul Fitri.

Tradisi ini, mulai dikenal sejak 1920, saat mendiang pendiri lembaga pendidikan Islam Alkhairaat, Guru Tua, Habib Sayed Idrus bin Salim Aljufri dari Hadramaut, Yaman Selatan memperkenalkannya ke komunitas Arab di Kota Palu. ***