Orang tua kita suka memberi wejangan; janganlah karena mulut badan binasa. Janganlah karena silap kata membuat kita berperkara. Olehnya menjaga tutur kata selalu menjadi pesan penting orang tua kita saban waktu. Betapa luhurnya orang-orang tua kita sedari dulu.

Bila meminjam istilah salah seorang pewarta senior kita di Sulawesi Tengah, Tasrief Siara, mungkin pepatah-petitih itu akan berbunyi: gagap diksi, tuai petaka. Diksi merujuk pada pilihan kata yang tepat untuk menyatakan sesuatu. Singkatnya; hati-hati bila bicara. 

Itu cuma pemula kalam kita, Kali ini kita tak hendak membahas soal ujar-ujar lama atau petatah-petitih itu, saya ingin berbagi cerita soal etimologi. Ilmu asal-usul kata. Etimologi terbentuk dari dua kata dalam bahasa Latin; etymos yang berarti arti sebenarnya kata, dan logos yang artinya ilmu pengetahuan.

Untuk diketahui kata-kata dalam bahasa apapun di dunia ini selalu terdiri dari kata asli atau origin sesuai bahasa ibu masyarakat setempat, bahasa serapan dari kata-kata asing atau kata-kata yang terbentuk dari misheard, salah dengar bahasa asing lalu dilafalkan sesuai bahasa ibu setempat, juga bisa karena bunyi yang ditimbulkan oleh sesuatu benda. 
Adapula ahli menyebut tambahannya yakni, etimologi populer, ilmu asal usul kata berdasarkan cerita orang kebanyakan yang belum dipastikan sahih atau tidaknya, namun diyakini sebagai kebenaran asal-usulnya. Makanya ada yang menyebutnya sebagai etimologi palsu.

Coba kita simak catatannya berikut ini. Kita sudah tahu pinpong dan kelontong, bukan?! Katanya unik. Hampir-hampir seperti bunyi. Betul, karena asal-usulnya memang dari bunyi yang ditimbulkan. Pinpong, yang kerap juga kita sebut tenis meja atau table tennis, mengeluarkan bungyi ping…pong…ketika dipukul dengan bat atau raket pemukul bola. Ping…pong…ping…pong.

Tapi soal ada orang yang mengeluarkan bahasa; “saya di-pingpong kesana-kemari tadi berurusan di kantor walikota,” itu tak ada hubungannya dengan etimologi. Itu merujuk pada birokrasi atau administrasi yang mesti dia lalui ketika mengurus surat izin mendirikan bangunan atau mengurus kartu tanda penduduk, misalnya. 

Bagaimana dengan kelontong? Rupanya, zaman dulu, ketika kereta mesin atau mobil masih susah, para tauke, pedagang china di Indonesia berdagang dari satu kampung ke kampung lainnya menggunakan gerobak atau pedati yang ditarik kerbau atau sapi yang di lehernya digantungi bunyi-bunyian yang berbunyi kelontong…kelontong. Isi gerobak dagangannya itu macam-macam alat rumah tangga dan keperluan rumah tangga lainnya hingga sayur mayur. Maka jadilah orang menyebut para tauke ini pedagang kelontong.

Anda juga masih ingat ‘es tongtong’? Anda pasti langsung menebak penamaannya lantaran penjual es krim berkeliling sambil menabuh gong; tong…tong…Maka jadilah kita mengenal es krim dengan wadah kap berbentuk teropong itu sebagai es tongtong.

Nah, kita sekarang tentu akrab dengan handuk, bukan?! Tentu. Usai mandi, kita pasti memerlukannya. Tahukah kita dari asal-usul katanya. Rupanya handuk berasal dari kata handdoek. Serapan Bahasa Belanda, yang terdiri dari dua kata; doek: lap dan hand: tangan. Rupanya handdoek yang disebut oleh orang Belanda adalah lap tangan, tapi kini juga kita pakai melap badan seusai mandi.

Ini lagi; Sepeda! Ternyata asal katanya adalah dari velicopede. Orang Belanda yang menggunakannya. Mereka meminjamnya dari Bahasa Perancis yang sekarang kita kenal sebagai sepeda untuk menyebut kereta angin itu. Maklumlah, orang Indonesia sangat kreatif dan praktis. Daripada susah menyebut velicopede, maka dilafalkan saja menjadi sepeda. 

Ada lagi yang sangat akrab dengan kita yakni pedagang kaki lima atau PKL. Bila menggunakan etimologi populer maka ada yang bilang istilah PKL merujuk pada gerobak beroda tiga dengan dua kaki pedagangnya, makanya disebut pedagang kaki lima. Padahal sebenarnya berasal dari zaman kolonial Belanda yang membatasi ukuran gerobak pedagang yang biasa berdagang di pinggir jalan di masa itu.

Ditetapkan bahwa mereka hanya boleh mengambil luasan petakan atau lahan tidak lebih dari lima kaki. Membuat gerobak dagangan pun tidak lebih dari lima kaki. Lima kaki kira-kira setara dengan ukuran 152 centimeter.

Lalu bagaimana pula dengan jerigen atau jeriken yang biasa kita pakai menyimpan air atau bahan bakar minyak di rumah? Lagi-lagi ini membuktikan orang Indonesia sangat kreatif dan praktis.

Rupanya ini berasal dari kata jerry atau gerry can. Jerry atau Gerry merujuk pada orang Jerman dan Can merujuk pada kaleng timah. Awalnya, ini ulah orang Inggris ternyata. Mereka mendapat kata itu dari orang Jerman yang menyebut jeriken yang dulunya dari kaleng sebagai wehrmachrts-kan-isters. Agar lebih praktis disebutkan Gerrycan. Lalu karena berhubungan dengan pelafalan dan pendengaran orang Indonesia, jadilah jeriken. Luar biasa kreatif dan praktinya Bangsa kita. 

Masih banyak kata lainnya yang menarik jadi ulasan, namun cukuplah yang ini dulu. Saya akan berkisah pada Anda setiap saat tentang hal-hal menarik di sekitar kita. ***