[embedyt]https://youtu.be/pHEPsZaEH7g [/embedyt]

Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah masih memburu 10 anggota Kelompok Mujahidin Indonesia Timur. Mereka berkali-kali menebar teror di perbatasan Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Sejumlah warga sipil dan anggota Kepolisian menjadi korbannya.

Sepeninggal Santoso alias Abu Wardah, lalu tewasnya Daeng Koro dan ditangkapnya Basri alias Bagong kelompok ini dipimpin Ali Ahmad alias Ali Kalora. Kelompok sipil bersenjata ini pernah menyatakan pengakuan pada Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) pimpinan Abubakar Albaghdadi.

Seberapa besar kekuatan mereka dan seberapa besar dukungan persenjataannya sampai-sampai Polisi belum mampu melumpuhkan kelompok ini? Siapa sebenarnya Ali Kalora? Dari mana dukungan logistik dan persenjataan kelompok ini? Dan sampai kapan operasi perburuan mereka akan dilakukan? Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengganggu saya sepanjang perjalanan meliput konflik Poso pada 1998 hingga kini.

Coba kita mulai penelusurannya dari Ali Kalora. Tak banyak data soal sosok bernama asli Ali Ahmad ini. Setelah Santoso alias Abu Wardah mangkat pada 18 Juli 2016, lalu Daeng Koro tewas ditembak, ia didaulat menggantikan posisi Amir Mujahiddin Indonesia Timur didampingi Basri. Setelah Basri yang diduga mata-mata Polisi ditangkap, praktis ia adalah anggota paling senior dalam kelompok ini. Dialah yang kemudian menjadi target utama Satuan Tugas Operasi Tinombala.

Ali diketahui lahir di Desa Kalora, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Poso. Ia memiliki seorang istri bernama Tini Susanti Kaduku. Di kelompoknya Tini disapa Ummi Farel. Sedangkan penambahan nama Kalora di belakang nama Ali berasal dari Desa Kalora tempatnya dilahirkan. Nama itu diperkenalkan polisi lalu digunakan secara umum dalam pemberitaan media massa.

Ada informasi lain menyebutkan bahwa Ali lahir di Ambon, Maluku lalu ke Poso dan menetap di Desa Kalora. Kemungkinan besar dia menjadi bagian dari Laskar Jihad Ahlusunnah Waljamaah yang masuk ke Poso pada 2000. Setelah Laskar Jihad dipulangkan pasca Deklarasi Malino pada 2002, dia memilih menetap di Poso.

Dari pelbagai keterangan, Ali diketahui benar-benar mengenal daerah di mana dia bersembunyi sepanjang Gunung Biru, Tamanjeka, Lembah Napu, Kabupaten Poso hingga ke Salubanga, Sausu, Kabupaten Parigi Moutong. Meski demikian, Ali dianggap memiliki kemampuan di bawah Santoso.

Ali Kalora saat ini menggantungkan kelangsungan kelompok ini pada Qatar alias Farel alias Anas, Askar alias Jaid alias Pak Guru, Abu Alim alias Ambo, dan Nae alias Galuh alias Mukhlas. Lalu Mohammad Faisal alias Namnung, Rajif Gandi Sabban alias Rajes, Alvin alias Adam alias Mus’ab, Jaka Ramadhan alias Ikrima, serta Khoirul alias Irul. Irul adalah menantu Santoso, suami dari Wardah.

Sepanjang 2019 tercatat terjadi tiga kali kontak senjata dengan kelompok ini di wilayah Kabupaten Poso dan Parigi Moutong. selama 2019 itu, tiga anggota kelompok ini tewas diterjang peluru Satuan Tugas Operasi Tinombala, seorang polisi gugur dan dua terluka.

Demikian penjelasan Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Inspektur Jenderal Polisi Syafril Nursal, mengulang pernyataan yang sebelumnya juga sudah disampaikan Mabes Polri.

Penyelundupan Senjata
Besar kemungkinan bahwa kelompok ini tinggal memiliki tiga pucuk senjata; Dua pucuk revolver dan sepucuk senjata laras panjang. Simak saja, selama 2019 enam buah bahan peledak rakitan, 435 butir amunisi, 13 pucuk senjata api rakitan dan sepucuk senjata M.16 berhasil disita dari kelompok ini.

Soal senjata tentu menjadi pertanyaan. Dari manakah kelompok ini mendapatkannya. Bila menelusuri awalnya, maka jawabannya harus dimulai sejak 1998 – 2000 saat kerusuhan komunal meletup di Poso. Pasca Deklarasi Malino yang diteken pada 20 Desember 2001, warga Poso yang sepakat berdamai menyerahkan ribuan senjata api rakitan dan sebagiannya organik beserta amunisinya untuk dimusnahkan. Termasuk pula bom rakitan. Ada pula hasil temuan operasi Kepolisian dan TNI Angkatan Darat.

Sepanjang 2002 hingga 2007, jutaan senjata api, amunisi dan bahan peledak disita dan ada pula diserahkan warga kepada aparat berwenang. Senjata api yang diserahkan tak cuma rakitan tapi juga organik.

Pada 2007, saat dua batalyon aparat keamanan yang terdiri dari semua satuan di Kepolisian menyerang basis mujahiddin Poso di Tanah Runtuh, Kelurahan Gebangrejo, Poso Kota, tidak kurang 25 pucuk senjata api organik dan sekitar 3.000 butir amunisi serta lebih dari 400 detonator bom berhasil ditemukan. Alat-alat tempur yang semestinya hanya dimiliki oleh Kepolisian dan TNI itu didapatkan dari tangan warga sipil di Poso. Bahkan saat itu, Polisi menemukan senjata MK 3 buatan Rusia. Senjata ini dikalangan sipil bersenjata dikenal sebagai senjata rantang, karena tempat pelurunya yang bulat menyerupai rantang. Senjata ini seperti yang dipakai Silvester Stalone dalam film-film Rambonya.

Jadi betapa bisa dibayangkan banyaknya senpi, amunisi dan handak illegal beredar di wilayah yang diharubiru oleh kekerasan demi kekerasan itu sejak 1998.

Dari mana sesungguhnya senjata-senjata itu datang? Syamsir Siregar, saat masih menjadi Kepala Badan Intelijen Negara, memastikan sebagian senapan tempur milik para buronan kerusuhan Poso dipastikan merupakan senjata organik Polri.

Senjata tersebut berpindah tangan ketika gudang Brimob di Tantui, Ambon dibobol pencuri pada 2001. Saat itu hampir 800 pucuk senapan serbu milik Polri dicuri. Diduga selain dipakai oleh kelompok bersenjata di Ambon, sebagiannya juga dibawa ke Poso. Peredaran senpi itu diduga dilakukan anggota milisi laskar jihad Ahlussunnah Waljamaah pimpinan Ja’far Umar Thalib yang memang aktif di Poso dan Ambon.

Jika awal-awal konflik 1998 – 2000, senjata api rakitan semisal dum-dum atau paporo masih memainkan peranan, maka pada fase-fase selanjutnya penggunaan senjata api makin berkualitas. Kelompok bersenjata di Poso biasanya menggunakan senjata laras panjang M-16, SKS, US Carabine dan senjata laras pendek jenis revolver S&W, juga FN.

Adanya senjata-senjata tua Di Poso, Sulawesi Tengah, ditengarai adalah sisa-sisa dari 1950-an saat pemberontakan PRRI-Permesta bergejolak. Lalu masuk lagi berbarengan dengan kedatangan laskar jihad Ahlussunnah Waljamaah pada 2001. Sebelumnya di kelompok milisi Kristen di Tentena senjata-senjata organik dan rakitan juga sudah dipunyai.

Selain seperti yang disampaikan Syamsir Siregar, ada pula senjata dan amunisi yang didapat dari jualbeli. Dari Pengadilan Negeri Palu pada 2001, seorang Polisi berpangkat Brigadir Satu Polisi IW divonis karena menyuplai amunisi bagi salah satu kelompok bertikai di Poso.

Pada 2000-2003, tawar menawar amunisi dan senjata di Poso masih bisa kita jumpai. Ada yang menjual amunisi caliber 5,56 milimeter seharga Rp 5000 – Rp 7500 per butirnya. Ada pula yang menawarkan senjata SS-1 dengan harga Rp 8 juta per pucuk.

Nah, selain dari dalam negeri, sumber utama penyelundupan senjata ke Poso berasal dari Philipina.

Dari kesaksian sejumlah tersangka kasus terorisme di Pengadilan Negeri Palu 2003, didapat keterangan pintu penyelundupan penting lain adalah Tawao – Nunukan, dengan senjata bersumber Filipina Selatan. Seorang bekas tokoh Jemaah Islamiyah (JI) berkebangsaan Malaysia, Nasir Abas menyatakan bahwa jaringan organisasi ini pernah memanfaatkan penyelundupan melalui jalur ini.

Ketika itu, bersama Zulkarnain (seorang tokoh JI lainnya), mereka mengirimkan empat pucuk senjata laras panjang dan empat pucuk senjata laras pendek ke Ambon. Nasir mengakui cerita ini di depan sebuah sidang pengadilan di Palu,4 Oktober 2003.

Muhammad Nasir bin Abas (34 tahun) alias Sulaiman alias Leman, alias Maman, alias Khairudin, alias Malik, alias Nasir Abas, alias Adi Santoso, alias Edy Mulyono, alias Maa’ruf sendiri lahir di Singapura, 6 Mei 1969. Ia berkewarganegaraan Malaysia. Ia mengenyam pendidikan terahir di Sekolah Menengah Datu Jafar Johor Baru, Johor Malaysia. Sebelum ditangkap, alamat terahirnya adalah BTN Palupi Permai Blok D Nomor 19, Kota Palu.

Nasir Abas (berkebangsaan Malaysia) adalah ipar Muhamad Gufran alias Muchlas, salah seorang tersangka peledakan bom Bali. Nasir Abas pernah menjadi instruktur di bidang senjata di Akademi militer Mujahidin Afganistan 1989-1991. Sejak April 2001,ia dilantik sebagai Ketua Mantiqi Tsalis (Wilayah III), yang mencakup Sabah Malaysia, Kalimantan Timur Indonesia, Palu Sulawesi Tengah Indonesia, dan Mindanao Filipina Selatan (termasuk kamp latihan Hudaybiyah) menggantikan Mustapha.

Lain Natsir, lain pula Alfarouk. Sosok yang dikenal sebagai pentolah Alqaeda di Asia ini sekitar 2001 – 2002 dilaporkan pernah bermukim di Poso. Bahkan bekas Ketua DPRD Poso Akram Kamaruddin pernah diperiksa Polisi terkait dengan Alfarouk lantaran didapat informasi rumahnya dikontrak oleh pentolan Alqaeda ini. Namun kasusnya kemudian tidak berlanjut, karena Polisi kesulitan mendapatkan saksi. Diduga Alfarouk yang tewas ditembak tentara Inggris pada September 2006, pernah melatih penggunaan senjata pada anak-anak muda di Poso.

Dari informasi intelijen Kepolisian diketahui, jalur masuknya senjata illegal ke Poso juga melalui jalur laut Philipina Selatan, menuju Kepulauan Sangihe, Sangir Talaud, lalu ke Bitung. Setelah kemudian dibawa melalui jalur darat di wilayah Pantai Timur Parigi Moutong. Sesampainya di Toboli, titik masuk ke Palu dan Poso, senjata-senjata itu kemudian dibagi. Sebagian dibawa ke Palu, sebagian dibawa ke Poso.

Rata-rata senjata yang diselundupkan adalah AK-47 yang memang tergolong senjata tahan cuaca. Bahkan terendam dalam jaring-jaring di bawah perahu saat diselundupkan dari Philipina pun senjata jenis ini tetap berfungsi baik.

Jadi, tokoh dari kelompok bersenjata baik di pihak Muslim maupun Kristen, Laskar Jihad Ahlussunah Waljamaah, JI dan aparat keamanan (Polri dan TNI), menjadi aktor utama di balik peredaran senjata di Poso sepanjang 2000-2002.

Kemampuan membuat senjata rakitan, rata-rata berasal dari alumni Moro dan Afghanistan. Dari merekalah keterampilan merakit senjata dipelajari anak-anak muda di Poso. Senjata buatan mereka benar-benar presisi.

Kenapa Polisi sulit mengusutnya? Pada beberapa kasus sejumlah senjata standar Polri dan TNI yang ditemukan rata-rata nomor registrasinya dihapus. Padahal dengan mengetahui nomor registrasinya asal senjata akan diketahui. Pada kasus lain, senjata-senjata itu memang berasal dari sumber luar negeri. Pada beberapa kasus lagi, meski nomor registrasinya sudah diketahui, namun penyelidikan buntu di masing-masing kesatuan baik TNI maupun Polri.

Ariyanto Sangadji, seorang peneliti peredaran senjata illegal di Palu, Sulawesi Tengah sudah lama mengingatkan kerja sama regional antarpemerintah untuk memberangus ilegal transfer senjata api yang memanfaatkan daerah-daerah perbatasan yang rawan penyelundupan penting dilakukan.

Tak menutup kemungkinan, senjata api sisa-sisa dari kerusuhan masih ada di Poso. Ketrampilan membuat senjata pun masih dipunyai. Jangan bilang soal bom; masih ada anak-anak muda di Poso yang ahli dalam soal itu. Seorang pembuat bom rakitan kepada saya mengakui bila ia dapat membuat 100 bom lontong sehari. Ngeri bukan?!

Operasi Keamanan di Poso
Nah, bila disebut kelompok MIT tinggal punya 3 pucuk senjata api, sejatinya itu bukan hambatan buat mereka. Apalagi mengingat pendukung pasif dan aktif mereka di dalam dan luar Poso masih banyak. Soal logistik pun bukan alangan.

Suatu waktu, saya bertemu tanpa sengaja dengan kurir logistik mereka di Desa Mapane, Poso Pesisir Utara. Kepada saya dia mengakui baru saja mengantar makanan untuk kelompok itu. Saya bertemu dengannya usai pemakaman Santoso alias Abu Wardah di Landangan, Poso pada Juli 2016. Padahal saat itu, penyekatan yang dilakukan oleh Satgas Operasi Tinombala sungguhlah ketat.

Soal operasi ini, saya punya catatan sendiri. Ini seperti episode tiada akhir.

Coba catat; Operasi untuk memberangus kelompok sipil bersenjata ini sudah digelar beberapa kali sebelum dan sesudah Deklarasi Malino untuk Poso pada 2001 silam. Mulai dari Operasi Sadar Maleo pada 2000 oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah yang didukung oleh Operasi Cinta Damai oleh Kodam VII Wirabuana. Lalu pada 2001, Megawati Soekarno Putri, Presiden kala itu memerintahkan pelaksanaan Operasi Pemulihan Keamanan Terpadu di Poso. Oleh Polda Sulteng, operasi itu diberi sandi Operasi Sintuvu Maroso. Ini berlansung berjilid-jilid, dari I – VII.

Kemudian pada 2007, Polda Sulteng menggelar Operasi Lantodago. Setelahnya pada 1 Januari 2008, Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Sipil bersandi Operasi Siwagilembah dimulai. Pada 2013, Operasi Pemulihan Keamanan di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah digelar lagi dengan sandi Operasi Aman Maleo. Pada 2015 digelar lagi Operasi Camar Maleo. Operasi ini merupakan operasi gabungan Kepolisian dan TNI. Tujuannya mengejar Santoso dan kelompok MIT. Sayangnya hingga operasi ini berakhir pada Januari 2016, Santoso masih lolos dari kejaran.

Pada Januari 2016 Operasi Tinombala. Ini adalah operasi besar-besaran. Komando taktisnya dipusatkan di Lembah Napu berdasarkan laporan kemunculan kelompok MIT di kawasan itu. Sejak saat itu satu demi satu anggota Kelompok ini ditangkap atau tewas ditembak aparat satuan tugas sampai kemudian santoso alias Abu Wardah tertembak. Daeng Koro yang ahli strategi dan navigasi darat tertembak pula. Lalu Basri alias Bagong tertangkap. Begitu pula beberapa yang lain. Ada di antara mereka berkali-kali mereka lolos dari kejaran aparat, termasuk Ali Kalora yang kini menjadi momok.

Kita patut prihatin. Berkaca pada konflik Gerakan Atjeh Merdeka dan amuk sosial serupa yang terjadi di Maluku yang bisa diselesaikan dengan jalan damai, mengapa kasus Poso yang bermula dari amuk sosial pada Desember 1998 tak kunjung selesai.

Sudah triliunan rupiah uang negara digelontorkan. Korban dari pihak TNI dan Polri pun sudah berjatuhan selain korban sipil lainnya. Termasuk kelompok bersenjata itu.

Ada apa dengan ini? Apakah ini sebuah skenario memelihara konflik Poso? Atau memang para anggota kelompok sipil bersenjata itu sedemikian lihai? Sebagai orang sipil mungkin kita tidak memiliki jawabannya. Tapi kita berharap “huru hara” Poso segera selesai. Agar aparat Kepolisian dan TNI yang selama ini bertugas bisa kembali bercengkrama dengan keluarganya. Masyarakat pun bisa merasai suasana aman.

Saya secara pribadi bahkan mungkin di antara Anda berharap, sisa kelompok MIT ini tertangkap dalam keadaan hidup-hidup, lalu diadili, menjalani hukuman sesuai ‘kejahatan’ mereka dan kembali hidup normal di tengah masyarakat. Mereka bisa menjalani program deradikalisasi seperti yang dilakukan polisi pada sejumlah ex-combatan atau bekas petempur di Poso. Semoga. ***