Di tengah lautan luas, beratus mil dari daratan terdekat, ada sebuah pulau yang nyaris terlupakan. Pulau itu menyimpan rahasia berusia ratusan tahun: hanya sepuluh jiwa yang menempati kampungnya, tidak lebih, tidak kurang. Jika ada yang lahir, satu nyawa akan hilang. Jika ada yang mati, satu bayi akan lahir kembali.

Suatu hari, sekelompok peneliti dari kota datang, ingin mempelajari dampak letusan gunung berapi kuno pada tanah, flora, dan fauna pulau itu. Awalnya, semuanya tampak biasa: rumah-rumah kayu reyot, lapangan sunyi, dan batu-batu yang hangat menyimpan sisa panas masa lalu. Tapi malam pertama segera memperlihatkan sesuatu yang mengerikan, bisikan yang memanggil nama mereka, sosok tinggi kurus muncul dari kabut, dan ritual penduduk yang membuat darah mereka beku.

ANGIN LAUT MALAM itu terasa lebih dingin dari biasanya, meski perahu motor tua yang membawa para peneliti hanya berjarak beberapa mil dari daratan yang katanya “berpenghuni”. Ombak memukul lambung perahu, menimbulkan bunyi gedebuk yang sesekali membuat mereka saling menatap dengan gelisah.

“Bapak yakin… kampung itu masih ada?” tanya Damar, salah satu peneliti muda, suaranya tertelan deru mesin.

Nakhoda perahu, lelaki tua berkulit legam dan mata cekung yang dalam, hanya menoleh sekilas. Bibirnya bergetar, tapi bukan karena dingin.

“Kalau kalian masih bisa melihat matahari besok pagi… berarti masih ada,” katanya pendek, lalu menyalakan sebatang rokok kretek. Asapnya bercampur bau asin laut, menusuk hidung.

Di geladak belakang, Rika, geolog berusia 27 tahun, mengamati peta lusuh di tangannya. Garis-garis tinta di peta itu seperti urat nadi tua yang berliku, dan di tengah-tengahnya ada sebuah titik merah kecil: Pulau Sepuluh. Nama yang terdengar biasa-biasa saja, tapi konon menyimpan sesuatu yang membuat orang kota memilih tidak mendekat.

“Aku dengar, kalau ada yang meninggal di sana, tak lama akan lahir bayi,” gumam Soni, peneliti botani, sambil mengikatkan jaket lebih rapat. “Tapi jumlah mereka… nggak pernah lebih dari sepuluh. Katanya sudah ratusan tahun.”

Damar tertawa hambar. “Ah, itu cuma legenda.”

“Legends don’t keep people away for centuries,” kata Profesor Guntur, kepala tim, tanpa menoleh. Ia duduk di pojok, menulis sesuatu di buku catatan, jarinya gemetar pelan seperti sedang menahan dingin yang merayap dari dalam, bukan dari luar.

Langit mulai berubah warna menjadi biru kelam ketika pulau itu muncul di cakrawala, silhouette hitam dengan gunung runcing di tengahnya, dikelilingi garis pantai berbatu yang tampak seperti rahang raksasa.

Rika merasa ada sesuatu yang… menatap dari pulau itu. Bukan mata fisik, tapi semacam kesadaran kuno. Ia menelan ludah, mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya perasaan.

Mereka tiba di dermaga kayu yang tampak hampir runtuh. Kayu-kayunya berlumut, dan tali tambatnya terurai seperti urat membusuk. Tidak ada sambutan. Tidak ada suara ayam, atau gonggongan anjing, atau bahkan desir daun. Hanya suara ombak, dan di kejauhan, bunyi pelan… seperti seseorang menggaruk sesuatu.

“Tidak ada orang?” Damar memecah keheningan.

“Orang-orang di sini jarang keluar siang hari,” jawab nakhoda itu. “Mereka… lebih suka diam di rumah. Atau di hutan.”

Saat mereka menurunkan barang, Rika melihat sosok di tepi hutan, berdiri di antara batang-batang kelapa. Tinggi, kurus, kulitnya pucat seperti lilin yang sudah lama padam. Ia tidak bergerak. Tidak berkedip.

Ketika Rika menatap lebih lama, sosok itu menghilang, seperti terserap ke dalam udara.

Rumah-rumah di Pulau Sepuluh terbuat dari kayu kelapa dan bambu tua, catnya mengelupas, atapnya berlumut. Di lapangan kecil yang dipenuhi rumput liar, mereka akhirnya bertemu penghuni pulau, tepat sepuluh orang, tiga anak, empat perempuan, tiga lelaki. Wajah mereka seperti diukir dari batu: tanpa ekspresi, mata mereka terlalu lama menatap, terlalu dalam.

Seorang perempuan tua bertongkat maju, suaranya serak seperti pasir kering. “Kalian… bukan orang sini.”

“Kami dari universitas di kota,” jawab Profesor Guntur dengan sopan. “Kami ingin meneliti dampak letusan gunung beratus tahun lalu pada flora, fauna, dan struktur tanah di sini.”

Perempuan itu tersenyum tipis, tapi matanya tidak tersenyum. “Gunung tidak suka diusik.”

Seorang lelaki muda yang berdiri di belakangnya menambahkan, “Di sini… tanah mengingat. Batu mengingat. Daun… juga mengingat. Mereka tidak lupa darah.”

Ucapan itu membuat Rika merinding. Ia mencoba tersenyum, tapi tidak ada yang membalas.

Malam pertama mereka di Pulau Sepuluh berjalan sunyi. Tidak ada suara jangkrik, atau burung malam. Rika terbangun sekitar pukul dua, karena mendengar suara lirih di luar jendela. Suara itu seperti bisikan banyak orang berbicara bersamaan, terlalu cepat untuk dimengerti.

Ia mengintip keluar. Di bawah cahaya rembulan pucat, ia melihat sepuluh orang itu berdiri di lingkaran di tengah lapangan, semua memandang ke tanah. Tangan mereka bergerak pelan, seperti sedang mengusap sesuatu yang tidak terlihat.

Lalu salah seorang dari mereka, seorang anak kecil sepertinya, menggali tanah dengan tangan telanjang. Dari lubang itu keluar suara… rengekan bayi.

Rika menutup mulutnya rapat-rapat, menahan teriakan. Ketika ia menatap lagi, lubang itu sudah tertutup kembali, dan lapangan kosong. Tidak ada jejak.

Ia tidak tidur lagi malam itu.

Pagi harinya, penelitian dimulai. Mereka mengambil sampel tanah di lereng gunung, mencatat vegetasi, dan mengukur suhu batuan. Anehnya, meski gunung itu meletus ratusan tahun lalu, beberapa batu terasa hangat, seolah menyimpan panas yang tidak pernah padam.

Soni menunduk memeriksa tanah, lalu tiba-tiba menjilat jarinya.

“Eh, kau ngapain?” seru Rika.

Soni berkedip, seakan baru sadar. “Nggak tahu… aku… pengin tahu rasanya tanah ini.” Ia tertawa kecil, tapi tawa itu kering, tanpa humor.

Profesor Guntur menatapnya lama, tapi tidak berkata apa-apa.

Menjelang sore, kabut mulai turun, padahal matahari belum benar-benar tenggelam. Kabut itu tebal, seperti kapas kotor, dan membawa bau logam yang tajam. Mereka memutuskan kembali ke penginapan sementara, rumah kosong di tepi kampung yang disediakan penduduk.

Namun, saat mereka hampir sampai, Damar terhenti. “Tunggu…” katanya pelan. “Tadi kita lewat jalan ini, kan?”

“Iya,” jawab Rika.

“Tapi… rumah itu tadi nggak ada,” Damar menunjuk sebuah rumah reyot di pinggir jalan, pintunya terbuka sedikit.

Dari dalam rumah itu, terdengar suara napas. berat, basah, dan tidak manusiawi.

Di malam kedua, Rika bermimpi dirinya berjalan sendirian di lapangan di satu-satunya permukiman di pulau itu. Tanah di bawah kakinya terasa lembek, seperti daging mentah. Ia mendengar suara-suara memanggil namanya dari bawah tanah. Ketika ia mencoba berlari, tanah itu membuka, dan tangan-tangan pucat mencengkeram pergelangan kakinya, menariknya ke dalam kegelapan.

Ia terbangun dengan napas terengah, hanya untuk melihat Soni duduk di sudut ruangan… memakan segenggam tanah, matanya kosong.

Bersambung ke Babak Dua: Tanah yang Bernafas