https://youtu.be/l-t7VSQdZzs

sudah bahagia. Setelah hampir enam tahun, buaya legend Palu terlepas dari jeratan ban sepeda motor matic. Ban sepeda motor di leher hewan predator berjulukan keren ‘buaya berkalung ban' itu dilepaskan oleh pemburu barang antik. Buaya itu terkena jaring buatannya, Senin, 7 Februari 2022 sekitar pukul 18.30 Waktu Indonesia Tengah.

Seperti diketahui buaya berkalung ban kerap muncul di hingga ke muara dan pantai Teluk Palu sejak 2016. Saat muncul pertama kali buaya legend ini masih kecil. Namun makin hari badannya makin membesar. Ban sepeda motor matic yang mengalunginya makin mencekik lehernya. Biasanya dia muncul berjemur hingga ke tepian. Biasa pula hanya sekadar kepalanya muncul di tengah arus sungai.

Setelah hampir enam tahun, akhirnya ban sepeda motor yang menjerat lehernya itu dilepaskan warga dengan cara digergaji. Aksi sejumlah orang itu menjadi tontonan ratusan warga Kota Palu.

Aksi penyelamatan buaya ini sudah dimulai sejak 2016 oleh Badan Konservasi Sumberdaya Alam Sulawesi Tengah. Namun tak berhasil.

Pada Januari 2018, Panji Petualang dan timnya berusaha menyelamatkan buaya tersebut. Mereka rencana berusaha melepas ban yang melilit leher buaya tersebut. Namun tak berhasil.

Pada Februari 2020, Matt Wright, seorang penjinak hewan liar dan presenter TV Australia juga berusaha menangkap buaya berkalung ban ini namun gagal.

Sebelumnya, BKSDA menggelar sayembara bagi siapa yang berhasil mendapatkan buaya itu akan diberi hadiah. Tetapi sayembara ini ditutup sebelum waktunya usai.

Lalu Pada Desember 2020, Forrest Galante, petualang dan presenter TV dari Amerika berusaha pula menyelamatkan buaya itu, namun lagi-lagi gagal.

Diselematkan oleh Chili

Dan Senin, 7 Februari 2022, Chili, warga Kota Palu yang mengaku dari Sragen, Jawa Tengah berhasil menangkap buaya itu dengan jeratnya kemudian melepaskan ban yang makin mencekik leher buaya legend ini.

Buaya berkalung ban hanyalah salah seekor buaya di Sungai Palu. Sejak zaman Belanda hewan predator ini berkembang biak. Dalam gambar tampak Tossi Fischer, seorang bule Jerman menembak seekor buaya yang memangsa seorang penambang pasir di Sungai Palu.
(Photo: KITLV – Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Royal Institute for the Linguistics, Geography and Ethnology, 1935)

“Itu memang saya kejar, Pak. Kalau ada barang antik saya kejar. Saya buktikan apa sebenarnya ini. Orang bilang terus ini emas. Ternyata bukan. Itu tadi yang potong bannya masyarakat,” kata Chili yang mengaku sudah mengintai pergerakan buaya itu selama tiga minggu ini.

BKSDA dan tim rescue dari Dinas Pemadam Kebakaran, Kota Palu sebenarnya akan membawa buaya ini ke penangkaran milik BKSDA Sulawesi Tengah. Namun, warga meminta buaya itu dilepaskan kembali ke Sungai. Akhirnya warga kemudian menggotong buaya itu untuk dilepasliarkan kembali ke Sungai Palu.

Kisah Lagoroba

Sebenarnya, kisah buaya di Sungai Palu ini sudah ada sejak zaman Belanda. Pada 1935, seorang bule Jerman bernama Tossi Fischer menembak seekor buaya yang memangsa seorang penambang pasir di Sungai Palu. Saat itu, Tossi bersama ayahnya, John Fischer. Konon, buaya itu bahkan menelan pula gerobak pasirnya.

Sepenggal kisah didapat dari Mohamad Harianto, penggiat sejarah di Palu soal itu. Kata dia, sejak saat itu buaya besar ini dinamai Lagoroba.

“Karena diyakini bahwa buaya itu memiliki kekuatan mistis, peluru yang dipakai Tossi konon dilapisi emas,” kisah Harianto.

Dari koleksi digital milik KITLV – Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Royal Institute for the Linguistics, Geography and Ethnology (Institut Bahasa, Geografi dan Etnologi milik Kerajaan Belanda diperlihatkan Tossi Fischer duduk di atas badan Lagoroba. Pada foto berikutnya diperlihatkan potongan badan nelayan yang diambil dari dalam perut Lagoroba. Foto itu bertarikh 1935.

Ada kisah mistis di balik kehadiran buaya ini. Adalah Longki Djanggola, mantan Gubernur Sulteng yang menceritakannya. Konon, sekitar 50 – 60 tahun lalu ada tetua keluarganya yang dilahirkan bersama kembaran buaya.

“Saat lahir, Om Rotja itu dodominya, tembuni atau ari-arinya berbentuk buaya. Akhirnya karena mereka meyakininya, mereka kemudian melarung tembuninya di Teluk Palu. Sejak saat itu mereka memelihara mistis ini,” tutur Longki.

Bagi dia, itu keyakinan orang lain, tidak perlu dipermasalahkan. Yang mau percaya, disilahkan, yang tidak percaya tentu bukan masalah.

BKSDA sendiri mengakui bahwa Sungai Palu memang menjadi habitat insitu dari buaya muara ini. ***