Proyek Bukit Algoritma di Cikidang, Cibadak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat telah melakukan groundbreaking pada Rabu, 9 Juni 2021 ini. Sejak April 2021 proyek ini menjadi buah bibir, nyaris semua membicarakannya. Terlebih lagi, proyek ini digadang-gadang akan menjadi ‘Silicon Valley’-nya Indonesia. Ada yang optimis, ada pula yang ragu pada proyek yang sebelumnya menjadi calon Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) ini. Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil saja khawatir sebutan ‘Silicon Valley’ cuma menjadi gimmick belaka. Ini hanya trik atau muslihat pemasaran.

Pria yang akrab disapa Kang Emil ini mengatakan ada beberapa syarat agar proyek Silicon Valley berhasil. Seperti di Amerika Serikat, kata dia, kesuksesan Silicon Valley karena integrasi industri, finansial dan institusi.

“Kenapa Silicon Valley sukses? Saya kasih tahu, karena di sana (Amerika Serikat) ada kumpulan universitas berdekatan dengan kumpulan industri, berkumpul dengan finansial institusi. Kalau tiga poin tadi tidak hadir dalam satu titik, yang namanya istilah Silicon Valley itu hanya ‘gimmick-branding’ saja,” kata Kang Emil di Trans Luxury Hotel, Kota Bandung, 12 April 2021 lalu.

“Tapi kalau bisa membuktikan tiga komponen itu hadir, ada universitas untuk riset, ada industri yang mengambil riset jadi barang, jadi inovasi dan ada pembiayaannya ada investor. Ada macam-macam,” kata pria yang akrab disapa Kang Emil itu.

Meski begitu, Kang Emil mendukung upaya dari perusahaan pelat merah PT Amarta Karya (Persero) tersebut.

“Niatnya saya respons, saya dukung, tapi hati-hati kepada semua orang yang sedikit-sedikit bilang mau bilang bikin Silicon Valley, ukurannya ada tiga yang tadi,” ujarnya.

Senada dengan itu, Diaspora Indonesia lulusan Universitas Oxford Oki Earlivan angkat bicara terkait proyek tersebut. Menurutnya, sebelum terburu-buru menghabiskan dana membangun proyek ini, matangkan dulu rencana terkait Bukit Algoritma ini, Mulai dari dasarnya apa, akan jadi seperti apa, dan akan menghasilkan apa, bagaimana caranya mengembangkannya, implementasinya seperti apa, dan lain sebagainya.

“Kalau kita bicara sejarah Silicon Valey itu terjadi kan karena dekat dengan Universitas Stanford Business School dan mereka itu membuat sebuah chip yang mana sekarang dipakai oleh intel, memang mereka itu ingin menjadikan daerah tersebut memang basis teknologi tinggi tapi mereka memang sudah paham apa yang akan mereka kembangkan 30 tahun kemudian. Setelah mereka buat chip mereka bisa membuat komputer, setelah itu membuat super computing, jadi mereka sudah mengetahui tahapannya,” ujar Oki dalam sebuah diskusi virtual, pada 15 April 2021 lalu.

Menurutnya, tanpa perencanaan yang matang hanya akan membuang-buang uang saja.

“Kalau sekarang ada lahan kosong kita berikan uang lalu dijadikan project saya kira nanti akan menjadi basis project lagi bukan basis sustainable technology atau sustainable development,” sambung dia.

Ia mencontohkan bagaimana negara lain saat hendak mengembangkan sebuah proyek tertentu. Inggris misalnya yang ingin mengembangkan mobil berbahan bakar Hidrogen. Inggris butuh 130 tahun untuk mengembangkan proyek tersebut. Sedangkan Indonesia terkesan terburu-buru padahal masih gagap.

Kekuatiran Kang Emil dan Oki Earlivan itu ditampik Ketua Pelaksana Kiniku Bintang Raya KSO, Budiman Sujatmiko.

“Pertama saya bukan ahli gimmick. Beberapa pekerjaan saya di masa lalu juga bukan gimmick,” kata dia seperti dikutip dari detikcom, Rabu (14/4/2021).

Kedua, lanjut politisi PDI Perjuangan itu, proyek Bukit Algoritma juga juga sudah memiliki seluruh aspek. Mulai dari sumber daya manusia (SDM) seperti peneliti, tanah, investor, dan pasarnya.

Bukit Algoritma dibesut oleh PT Amarta Karya (Persero) atau Amka, PT Bintang Raya Lokalestari, dan Kiniku Bintang Raya KSO.
Proyek ini akan dibangun di lahan seluas 888 ha di Cikidang dan Cibadak Sukabumi. Amarta Karya bertindak sebagai mitra yang membangun Bukit Algoritma, sedangkan Bintang Raya Lokalestari sebagai pemilik lahan.

Untuk tahap awal pembangunan selama tiga tahun ke depan, nilai total proyek diperkirakan bakal menghabiskan 1 miliar euro atau setara dengan Rp 18 triliun.

Untuk SDM sendiri menurut Budiman ada anak-anak Indonesia yang lulusan Silicon Valley juga sudah berminat untuk ikut berpartisipasi dalam Bukit Algoritma. Selain itu dia juga mengumpulkan putra-putri bangsa lulusan luar negeri dan dalam negeri yang fokus dalam teknologi dan riset.

Mantan Ketua Komite Pusat Partai Rakyat Demokratik itu mengatakan di Bukit Algoritma pihak yang menampung hasil risetnya adalah desa. Saat ini desa sangat membutuhkan teknologi pertanian, perikanan hingga penerapan IT.

Oleh karena itu Bukit Algoritma bisa menjadi tempat untuk memproduksi inovasi yang dibutuhkan desa tersebut. Apalagi saat ini desa diberikan dana desa untuk perkembangan di daerahnya.

“Dengan adanya dana desa, kan desa punya daya beli. Bukan cuma daya beli produk inovasinya, bahkan kira rangsang desa-desa untuk berinvestasi juga mengembangkan lembaga riset. Kita mau buat menara bumdes di sini, tepat dimana R&D dari perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh bumdes,” terangnya.

Budiman Sudjatmiko menjelaskan, Bukit Algoritma akan sedikit berbeda dengan Silicon Valley. Pertama Bukit Algoritma tidak hanya sebagai pusat teknologi tinggi dan inovasi seperti Silicon Valley, tapi juga ada pengembangan biotech.

“Kalau di Silicon Valley kan tidak terlalu banyak biotech, kalau di AS itu pusatnya untuk biotech di Boston,” tuturnya.

Perbedaan kedua, lanjut Budiman, Bukit Algoritma juga mengedepankan kajian-kajian filsafat dan antropologi dalam pengembangan riset dan teknologinya. Menurutnya itu faktor penting yang tidak dimiliki Silicon Valley.

“Ini penting, karena perkembangan teknologi itu kan juga harus dituntun oleh pertimbangan-pertimbangan etis. Lalu antropologi memahami agar jangan sampai perkembangan teknologi yang dikembangkan itu bertentangan dengan keanekaragaman budaya,” terangnya.

Menurutnya teknologi yang dikembangkan di Bukit Algoritma nantinya tidak boleh mematikan kearifan lokal. Justru teknologi yang ada menjadi pendukung untuk kearifan lokal.

Lalu dari sisi fasilitas, Budiman menegaskan Bukit Algoritma juga akan terdapat fasilitas pendidikan seperti di Silicon Valley. Namun bedanya pendidikan yang ada nantinya tidak berdasarkan gelar, tapi lebih kepada vokasi.

Lalu Silicon Valley juga dikelilingi perusahaan-perusahaan yang siap menampung hasil risetnya. Nah di Bukit Algoritma menurutnya pihak yang menampung hasil riset adalah desa.

Untuk urusan riset, Budiman menegaskan bahwa Bukit Algoritma telah menggandeng beberapa universitas baik dari dalam maupun luar negeri. Untuk dalam negeri ada IPB, ITB dan Unpad yang diakuinya sudah melakukan MoU. Para universitas itu akan diberikan lahan masing-masing 25 ha.

Tak hanya itu, menurut Budiman, Bukit Algoritma juga akan dilengkapi dengan hotel, resort, laboratorium, sungai dan danau buatan. Bahkan menurutnya juga akan ada tempat belanja.

Sebenarnya seperti apa lokasi Bukit Algoritma itu? Ini sebenarnya adalah sebuah resor di tengah perkebunan kelapa sawit, Cikadang Plantation Resort. Perkebunan dan resort tersebut dikelola oleh Bintangraya Lokalestari, perusahaan milik keluarga Handoko. Didirikan oleh Budi Handoko, bisnis ini kini dijalankan oleh putranya, Dhanny Handoko. Sayangnya, resor itu tak berkembang. Pengunjungnya kurang. Tak banyak investor yang meminatinya.

Mengutip Tempo, Bukit Algoritma diusulkan pada akhir 2018 di saat Dhanny Handoko sedang mengalami kesulitan bisnis. Resor Perkebunan Cikadang hanya memiliki sedikit pengunjung.
Perusahaan mengusulkan untuk menjadikan Cikadang sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sukabumi, namun rencana tersebut terhenti setelah Dewan KEK Nasional — yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Perekonomian — menolaknya.

Di pengujung 2018, melalui kuasa hukumnya, Dhanny menghubungi Haris Budiman, adik dari Budiman Sudjatmiko yang berpraktik hukum. Dhanny meminta untuk diperkenalkan dengan Budiman yang saat itu sedang gencar mempromosikan ide Indonesia Innovator 4.0.

Di Dewan KEK Nasional, revisi usulan KEK Sukabumi yang diajukan Bintangraya masih belum berhasil. Dewan menilai kemampuan finansial Bintangraya tidak mencukupi. Ia juga menemukan bahwa Bintangraya belum mendapatkan pendanaan yang signifikan di wilayah yang diusulkan untuk KEK.

Hebatnya, sebelum substansi model bisnis KEK Sukabumi dipelajari dengan baik, karena kegagalannya di tingkat administrasi, sekarang sudah ada rencana Algoritma Hill.

Jadi bila ada yang searah dengan pendapat Kang Emil dan Oki Earlivan tentu tak bisa kita salahkan. Ini tak lebihnya seperti proyek-proyek lainnya yang cuma besar gaungnya di awal tapi setelah berjalan tampak biasa-biasa saja. Trik atau muslihat pemasarannya sudah tercapai. Bukit Algoritma menjadi trending topic, viral di pelbagai platform media sosial sejak April lalu. Seolah-olah itu sudah tampak ujudnya hari ini.

Dari foto-foto yang beredar, sebab tak tahu, netizen serempak bergumam: “Hebat, ini Bukit Algoritma itu.” Mereka tak tahu bahwa bangunan yang terlihat dari foto-foto yang beredar itu adalah tapak Cikadang Plantation Resort. Di sana ada vila-vila dan gedung perkantoran milik perusahaan pengembang resort itu.

Saya pribadi, bersepakat dengan Kang Emil dan Oki Earlivan. Apalagi bila ini dijadikan proyek nasional, maka potensi korupsionalnya sangat tinggi seperti proyek lainnya. Alih-alih dipakai untuk pengembangan, anggaran sebesar Rp18 triliun itu nantinya sebagian lari ke kantong para pengelola proyek seperti yang sudah-sudah.

Tapi di luar itu, saya tentu tak akan mengveto ‘mimpi indah’ Budiman Sujatmiko ini, sebab semua orang punya hak bermimpi. Budiman memang suka bermimpi.

Saya jadi ingat ketika Partai Rakyat Demokratik dibangunnya bersama kawan-kawan, mimpi besarnya membangun Indonesia dengan azas Sosial Demokrasi sungguh sebuah hal luar biasa. Kala itu, Budiman dan kawan-kawan bermimpi akan merebut Indonesia dari tangan Rezim Soeharto. Soeharto pun jatuh pada 1998.

Lalu PRD ikut Pemilu multipartai pertama Indonesia. Sayangnya, hingga kini partai ini tak pernah lolos ke parlemen. Apalagi beberapa kawan sudah berpindah haluan ke partai ‘yang lebih menjanjikan, termasuk Budiman yang memilih berlabuh di PDI Perjuangan.

Mimpi memang sungguh indah. Apakah itu menjadi nyata, belum tentu. Bermimpi memang adalah sebuah hal yang mengasyikan. Sama dengan saya yang bermimpi di atas bukit Poboya di dekat tapak PT. Citra Palu Minerals, perusahaan pertambangan emas milik politisi Partai Golkar Aburizal Bakrie akan ada kota baru dan modern seperti Distrik Kuala Kencana, Timika di dekat areal pertambangan Freeport Indonesia. Ada pusat kegiatan komunitas dan perbelanjaan serta playground untuk anak-anak. Mungkin namanya bisa jadi: Gunung Kencana. Setelahnya PT. CPM akan melakukan pengembangan industri berbasis teknologi informasi. Memproduksi chip komputer, baterai lithium dan lain-lain.

Lalu di sebelah barat di barisan pegunugannya akan ada cable car atau kereta gantung seperti yang menghubungkan Mount Faber dan Sentosa Island di Singapura. Jadi orang dari Palu Barat bisa menuju Gunung Kencana, sekadar bersantai atau berbelanja.

Adapun Teluk Palu menjadi pusat wisata olahraga. Ada jetski, kano dan lain-lain. Bahkan Kota Palu akan menjadi kota digital pertama di Indonesia di mana pusat perbelanjaan tak lagi menggunakan uang tunai. Kios-kios swabayar akan terpasang di beberapa titik kota. Lalu kota akan terhubung dengan internet berkecepatan tinggi, sehingga orang hanya memerlukan nomor simcard selular untuk identitas kontak pribadi saja.

Pada akhirnya, Kota Palu akan menjadi Silicon Valley kedua setelah milik Budiman Sujatmiko. Asyik kan bermimpi?! Semoga terkabul. ***