Pulau Sulawesi disamakan dengan laba-laba yang berbaring di air dengan semenanjung seperti kaki. Bentuknya terkadang juga mengingatkan pada pria tanpa kepala, yang lengannya adalah semenanjung utara dan timur laut, sedangkan kakinya dibentuk oleh kedua semenanjung selatan. Bagian tengah Sulawesi terdiri dari sejumlah pegunungan yang sejajar satu sama lain.
Begitu Albertus Christiaan Kruyt dan Nicolaas Adriani menggambarkan Pulau Sulawesi dalam De Bare'e-sprekende Torajas van Midden Celebes, Volume I yang terbit di Batavia pada 1912.
Dan kita bisa menyebut Sulawesi Tengah yang dulu disebut Midden Celebes atau Central Celebes, sebagai jantungnya Sulawesi. Sejak zaman lampau sudah menarik minat para peneliti asing.
Dan tersebutlah Tadulakoe (mengikuti ejaan Van Ophuijsen) dalam catatan-catatan mereka.
Lalu muncul tanya; “Siapa, bagaimana dan di mana Tadulako?”
Ini mengusik pikiran Mayor Jenderal TNI Farid Makruf, MA, semasa menjadi Komandan Korem 132 Tadulako. Wakil Inspektur Jenderal TNI itu bertanya-tanya; “Adakah Tadulako sesosok orang, adakah dia sebatas konsepsi atau nilai-nilai, atau hal-hal lainnya.”
Bersama Tim Ekspedisi Tadulako, Ia pun menelusuri beberapa tapak yang memungkinkannya mendapatkan jawaban soal itu. Mulai dari tapak arkeologis di Lembah Megalit Behoa hingga ke kuburan sosok para pemberani yang kepada mereka disematkan julukan Tadulako. Jawaban atas itu mulai terkuak satu demi satu.
Didukung para akademisi dari Universitas Tadulako, Dr. Haliadi Sadi, Dr. Nisbah Mariadjang, dan Dr. Dwi Septiwiharti, S.S, M.Phil dan Drs. Iksam Djorimi, M.Hum beserta sejumlah pemerhati adat dan budaya di Sulawesi Tengah, catatan-catatan sejarah adat istiadat, tradisi, budaya dan sejarah Sulawesi Tengah yang terserak itu dikumpulkan.
Dokumen-dokumen lama dari Nicolaus Adriani (1865-1926), seorang linguis dan Albert Christian Kruyt (1869–1949), seorang etnograf dan teolog berkebangsaan Belanda menjadi rujukan awal. Buku-buku mereka yang berbahasa Belanda semisal Van Posso naar Parigi, Sigi en Lindoe yang diterbitkan pada 1898, diupayakan untuk diterjemahkan ke Bahasa Indonesia.
Dari buku keduanya yang berjudul De Bare'e Sprekende Toradja's Van Midden Celebes yang terbit pada 1912 ditemukanlah gambaran jati diri Tadulako dan ritual-ritualnya serta seberapa penting sosoknya dalam pranata sosial di masa itu.
Selain melakukan studi literatur, kunjungan lapangan, diskusi, hingga wawancara dengan para budayawan kian menguak misteri di balik Tadulako.
Catatan-catatan itu dirangkum oleh Mayjen TNI Farid Makruf, MA (Wakil Inspektur Jenderal TNI), Kolonel Inf I Ketut Gunardi (Mantan Komandan Grup 1 Kopassus 2020-2021), Tanty Surya Reinhart Thamrin (Konsultan Risiko Kebencanaan dan Manajemen Konflik) Asriadi, SE, M.Sc (Akademisi dan Pegiat Budaya) dan Jafar G Bua (Jurnalis CNN Indonesia dan penulis) menjadi sebuah buku yang perlu dimiliki dan dibaca.
Selain menuliskan soal Tadulako, buku ini membahas soal Guma, senjata pusaka Sulawesi Tengah lengkap dengan hasil uji metalurginya. Menceritakan pula perlawanan Tombolotutu hingga Pua Lasadindi alias Mangge Rante pada penjajah Belanda. Menuliskan juga soal penyiaran Islam yang dilakukan Dato Karama hingga Guru Tua SIS Aljufri.
Buku semi-ilmiah ini ditulis dengan gaya bahasa yang mudah dipahami. Gaya penulisan skripisi atau jurnal yang membuatnya terkesan sebagai bacaan berat dihindari begitu rupa. Itulah mengapa buku ini layak dibaca dan perlu. Buku ini penting untuk dimiliki para akademisi, pejabat publik, sipil, militer, wartawan maupun masyarakat yang ingin mengetahui warisan adat budaya Sulawesi Tengah secara utuh.
Bila ingin memiliki buku ini silahkan menghubungi kami di nomor Whatsapp: +62819 1814 8988. ***