Dalam dunia perfilman thriller psikologis, tidak banyak yang berhasil menggabungkan ketegangan klasik dengan kedalaman karakter secara elegan. Namun Copycat (1995), film garapan Jon Amiel yang kembali ditayangkan di Bioskop Trans TV pada 30 Juli 2025 lalu, membuktikan bahwa ketakutan terdalam manusia tidak selalu berwujud monster di lorong gelap, kadang, ia bersembunyi dalam pikiran yang terlalu tajam.
Sigourney Weaver, dalam salah satu peran paling manusiawinya, memerankan Dr. Helen Hudson, seorang psikolog forensik jenius yang juga rapuh. Ia bukan wanita super yang tak tergoyahkan, melainkan sosok brilian yang dibekukan oleh trauma. Ia tahu bagaimana para pembunuh berpikir, karena ia sendiri telah menatap mata kematian, dan selamat dengan jiwa tercabik.
Ketika kota San Francisco kembali dilanda teror pembunuhan berantai, dengan pola yang mengejutkan familiar, Helen dipanggil kembali bukan sebagai pahlawan, tetapi sebagai saksi hidup dari mimpi buruk yang terus mengulang dirinya. Pembunuh yang mereka buru adalah seorang copycat, peniru yang begitu presisi menyalin gaya para pembunuh legendaris, dari DeSalvo si “Boston Strangler” hingga Berkowitz yang menyebut dirinya “Son of Sam”.
Holly Hunter tampil solid sebagai Detektif M.J. Monahan, wanita detektif yang tajam, keras kepala, dan secara mengejutkan bersimpati. Chemistry-nya dengan Weaver adalah pusat emosi dari film ini, dua perempuan di dunia yang penuh kekerasan laki-laki, berusaha memecahkan puzzle yang terlalu pribadi untuk mereka berdua. Di tangan aktor yang lebih lemah, hubungan mereka bisa saja jatuh klise. Tapi tidak di sini.
Jon Amiel mengarahkan film ini dengan tempo yang presisi: cukup lambat untuk membangun atmosfer, cukup cepat untuk membuat jantung berdegup tak karuan. Adegan-adegan pembunuhan disuguhkan tidak dengan sensasi berlebihan, melainkan ketelitian menyeramkan, seolah pembunuhnya bukan hanya membunuh tubuh, tapi juga mengejek kecerdasan penonton.
Namun yang membuat Copycat lebih dari sekadar kisah kejar-kejaran detektif dan pembunuh adalah potret jernih tentang ketakutan. Helen bukan hanya dikejar oleh seorang psikopat, tetapi juga oleh dirinya sendiri. Agorafobianya, paranoia yang menggerogoti hari demi hari, menjelma menjadi musuh kedua yang tak kalah berbahaya. Ini adalah thriller yang tahu bahwa horor paling nyata kadang ada di ruang tamu sendiri.
Meski dirilis hampir tiga dekade lalu, Copycat tetap relevan. Ia berbicara tentang obsesi, tentang bagaimana kejahatan bisa menular layaknya virus, meniru, menyamar, dan beranak-pinak dalam bentuk baru. Film ini pun menyajikan pertanyaan menggelisahkan: apakah memahami kejahatan berarti harus mendekatinya terlalu dekat?
Sebagai tontonan larut malam, Copycat bukan hanya menyuguhkan ketegangan, tetapi juga perenungan. Ia mengingatkan kita bahwa dalam perburuan terhadap kegelapan, kita mungkin harus menyalakan cahaya di dalam diri, sebelum semuanya benar-benar padam. ***