Dunia menghadapi krisis kemanusiaan terbesar sejak Perang Dunia II. Nyaris semua negara telah terdampak wabah Coronavirus baru yang menghancurkan. Wabah dari wuhan, Tiongkok ini telah menyebar ke mana-mana. Dalam beberapa bulan terakhir, ‘pusat gempa’ Covid-19 telah bergeser dari Cina ke Eropa lalu ke Amerika Serikat.
Hingga saat ini di seluruh dunia lebih dari 5,7 juta orang terpapar dan lebih dari 357 ribu orang meninggal dunia. Secara tidak langsung, miliaran orang telah menderita terdampak pandemi global ini.
Di Indonesia, sampai dengan Rabu (27/05/2020) terdapat lebih dari 23 ribu kasus dan yang meninggal 1473 orang.
Di Sulawesi Tengah, sampai dengan dengan Rabu (27/05/2020) sudah tercatat 120 kasus dan yang meninggal 4 orang.
Yang mengkhawatirkan adalah bahwa angka-angka tersebut kemungkinan berasal dari kurangnya pelaporan, dan mungkin meningkat secara mengkhawatirkan di minggu-minggu mendatang jika kita memperhitungkan pasien tanpa gejala dan tes cepat. Mengingat bahwa krisis yang didorong pandemi terus berubah, sejumlah pemimpin di negara ingin segera membuat kurva pandemi ini melandai.
Tak diragukan lagi, Covid-19 telah menempatkan ekonomi dunia, nasional dan daerah pada risiko besar. Coronavirus merusak fondasi ekonomi perdagangan global. Para analis telah mengidentifikasi wabah ini sebagai hasil dari hiper-globalisasi atau awal dari de-globalisasi. Namun, dunia akan menghadapi resesi; dan kerugian global, menurut beberapa analis, dampaknya dapat melebihi gabungan Perang Dunia I dan II.
Pada skala kecil, kita melihat pasar-pasar tradisional sepi pembeli. Pedagang kita seperti kerakap yang tumbuh di atas batu; hidup enggan mati tak mau. Lalu daya beli masyarakat pun menurun.
Sementara itu, tatanan dunia telah berubah dengan cepat. Beberapa teori sedang didalilkan. ‘Racun’ retorika anti-globalisasi kini terbuka. Dalam tatanan ‘new normal’ atau ‘normal baru’ dunia yang sedang berlangsung, konsensusnya adalah bahwa negara-negara perlu menyelamatkan bumi secara bersama-sama jika kita perlu hidup bersama. Dalam skala nasional kita, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan masyarakat perlu bekerjasama untuk menghentikan wabah ini.
Mengutip laman indiatimes.com, di Asia, India dapat menjadi salah satu contoh pengendalian transmisi Covid-19. Langkah terkoordinasi, kemampuan Pemerintah dalam bidang farmasi dan ilmu kesehatan, kesadaran masyarakat luas dengan bantuan sistem digital; dan komando politik pusat; pemberian stimulus kepada warga, antara lain, memang membantu dalam menahan penyebaran sejauh ini.
Negara-negara di Asia Tenggara telah mengikuti pendekatan serupa, termasuk Indonesia. Semua dari mereka telah memperkenalkan paket-paket stimulus, terutama untuk mendukung orang-orang yang sangat terkena dampak, usaha kecil dan menengah, pertanian, ekspor, kesehatan, masyarakat pedesaan, sektor informal, dan lain-lain.
Ada banyak pelajaran yang dapat dipelajari dari negara-negara terdampak Covid-19. Sebagai contoh, Korea Selatan dan Taiwan dapat mengelola untuk mengendalikan kehancuran dengan bantuan tes cepat dan solusi yang ditargetkan. Vietnam tidak memiliki kematian akibat Covid-19. Cina telah memperkenalkan bantuan teknologi digital untuk menahan penyebaran Covid-19 di kota-kota besar lainnya di daratan. Yang paling umum di antara semuanya adalah penerapan teknologi digital seperti Intelegensi Buatan dan Mesin Pembelajaran (AI-ML) berisi transmisi, data dan informasi tentang Covid-19 secara real time.
Ada beberapa hal yang harus dicatat dapat memengaruhi kita akibat wabah ini. Mengingat Indonesia terdiri dari 34 daerah otonom. Gangguan rantai pasokan pangan adalah yang utama. Lalu kehilangan pekerjaan yang terus meningkat seiring dengan melambatnya kegiatan manufaktur dan jasa. Selain itu, terhambatnya perjalanan udara, jatuhnya sektor pariwisata, kontraksi dalam industri hiburan luar ruangan, meningkatnya kebangkrutan dan tunggakan kredit menjadi soalnya.
Akibatnya, guncangan ini dapat meluas ke sektor-sektor dan ekonomi lain melalui hubungan perdagangan dan produksi.
Pemerintah kita sudah mengakui ekonomi kita sedang atau akan berada di titik nadir.
Simak saja, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati sudah mengatakan skenario terberat dari pertumbuhan ekonomi tahun ini adalah minus 0,4%.
“Komite stabilitas sektor keuangan memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini turun jadi 2,3 persen dan lebih buruk bisa negatif 0,4 persen. Sehingga kondisi ini menyebabkan penurunan kegiatan ekonomi dan berpotensi menekan lembaga keuangan karena kredit tidak bisa dibayarkan dan perusahaan alami kesulitan dari revenue,” sebut Sri Mulyani.
Namun, di tengah krisis, tetaplah ada untungnya. Pandemi ini juga memberikan peluang; Negara dapat menyediakan layanan kesehatan yang lebih baik – dalam soal manajemen dan fasilitasnya. Ada pula perubahan perilaku dan norma sosial baru yang dimunculkan oleh #jagajarak, #pakaimasker #cucitangan dann lain-lain.
Kondisi ‘Normal Baru’ membuat kita harus menyesuaikan diri dengan norma-norma baru tersebut. Tentunya, vaksin dan obat-obatan yang tepat untuk mengatasi virus ini akan ditemukan. Namun, tidak ada tempat berpuas diri. Negara-negara harus siap untuk menghadapi guncangan lain di masa depan. Bila kita siap hari ini, kita akan siap di masa depan.
Bukankah tak cuma kali ini kita menghadapi wabah yang mematikan?! Belum lagi ancaman bencana alam yang datang sewaktu-waktu. Sementara semua orang harus tetap bekerja.
Mau tidak mau, kita mesti menyiapkan diri untuk era ‘normal baru.’ Era ini sudah datang menjelang, tanpa perlu diumumkan oleh Pemerintah kita.
Kita ‘sedia payung sebelum hujan.’ Beruntunglah para petani yang punya ‘rumah produksi’ bahan pangan di dekat rumah tinggal mereka. Lahan-lahan pertanian yang ‘mungkin’ lama menganggur segera diolah. Halaman-halaman kosong di permukiman orang kota harus disulap jadi lahan hidroponik. Itu agar rantai pasokan bahan pangan tetap tersambung.
Para jurnalis belajar pula menyiasati teknik liputan. sekarang bukan cuma teleinterview, wawancara jarak jauh, tapi mulai dengan telereportage, liputan jarak jauh akrab dilakukan. Tak lagi cuma social distancing, tapi location distancing.
Para pegawai negeri pun mulai bisa menyesuaikan diri dengan pola #workfromhome dan #workinoffice. Dunia sudah serba digital. Semuanya dapat disiasati.
Selamat datang era ‘normal baru’. ***