Tak banyak lagi yang tahu di mana Kampung Pece, Kalukutinggu atau Kampung Kelor di dalam Kota , . Tapi mereka yang lahir pada 1970-an sampai 1980-an mungkin masih menyimpan ceritanya.

Alkisah, dalam bahasan ilmu geografi ada yang dikenal dengan . Itu adalah bahasan ilmiah yang merujuk pada nama tempat, asal-usul, arti, penggunaan, dan tipologinya. Nama tempat tidak harus diartikan nama permukiman, tetapi nama unsur geografis yang ada di suatu tempat atau daerah, semisal sungai, bukit, gunung, pulau, tanjung, dan sebagainya. Unsur-unsur ini kita dikenal pula secara luas sebagainya unsur topografis.

Nah, di Parigi ada Kelurahan Masigi. Penamaannya merujuk pada keberadaan Masjid Jami yang berdiri di Kelurahan ini. Dalam dialek Kaili Tara, Masigi berarti Masjid. Di situlah pula pada 1980-an, kami yang bersekolah di SDN 1 Parigi kenal benar bila tempat sekolah kami berdiri dikenal sebagai Kampung Pece. Dulunya memang jalannya masih berlumpur karena belum beraspal. Banyak pohon kelapa tumbuh di sana.

Di sekitaran Maesa Pantai dulu ada sepotong kawasan yang dinamai Kampung Kelapa, karena banyak tanaman kelapa di sana. Biasa juga dikenal dengan nama Kayubintu atau Po'obintu, sebab di sana tempat tumbuhnya Pohon Kayu Bintu yang liat dan tahan air. Maesa sendiri diperkirakan adalah serapan Bahasa Minahasa, Sulawesi Utara yang artinya Bersatu atau Persatuan. Itu karena Kelurahan ini memang dulunya banyak dihuni oleh warga yang berasal dari Sulawesi Utara. Kelurahan ini diperkirakan sudah dirintis sejak abad ke-17, saat Belanda menguasai wilayah Parigi.

Sedang di kawasan Kantor Telkom saat ini dikenal sebagai Kalukutinggu. Di kawasan itu dulu ada bertumbuh sebatang pohon kelapa bercabang.

Lalu ada pula Kelurahan Loji. Itu diambil dari sebutan tempat tinggal penguasa Portugis yang dulu berdiri di lokasi Rumah Jabatan Bupati Parigi Moutong kini. Adapun Bantaya adalah nama Balai Pertemuan masyarakat Parigi kala itu.

Dan di antara Mertasari dan Olaya sebelum SPBU, ada Kampung Kelor. Tentu kita semua paham mengapa namanya begitu. Sebelum Dolago ada Boyantongo yang arti harafiahnya Kampung yang berada di Tengah. Ada pula Korontua yang artinya Sungai Tua.

Di sekitar Desa Lebo, ada Tailana yang kerap disebut orang Thailand. Sedang arti Tailana sendiri adalah Tai Minyak. Kemungkinan dulu di situ, di bawah kanopi Pohon Kelapa banyak warga yang membuat minyak kelapa kampung. Di atasnya adapula Jono Kalora. Itu karena kampung ini ada padang ilalang.

Di samping Masjid Alfathu Lebo ada kawasan yang dinamai Tasisaro. Itu maksudnya air laut yang datang sesekali. Makna jelasnya adalah Air Payau. Kawasan itu menjadi pertemuan air laut dan air tawar dari aliran air tawar di seberang jalan. Dulu sangat jernih. Bila pasang datang, saya sering berenang di sana. Itu sedikit kenangan masa kanak-kanak saya.

Bagaimana pula dengan penamaan Parigi? Ada dua versi soal ini. Yang pertama, saat dulu Portugis mendarat di Dermaga tua Parigi, mereka bertanya; “Apa nama kampung ini” Tentu dengan bahasa mereka. Dijawablah oleh orang Parigi kala itu; “Momparigi mo kita, tau wetu merapi jala.” Artinya kira-kira; “Minggirlah dulu kita, orang-orang itu minta jalan.” Mendengar itu, orang Portugis pun mengira nama kampung yang mereka datangi ini; Parigi. Nama itu pun melekat hingga kini.

Versi kedua adalah karena dulu di sekitar Dermaga itu ada sumur air tawar tua. Kita juga menyebut sumur dengan Perigi. Itulah mungkin asal muasal nama ini. Namun kedua versi itu tentu bisa diperdebatkan, sebab tak ada catatan tertulis soal toponimi wilayah-wilayah di Parigi.

Sayangnya lagi, tak ada lagi penanda nama lama wilayah-wilayah itu kini. Zaman sudah berubah. Nama-nama yang terkait pada bahasa, adat dan budaya asli mungkin tak menarik bila dituliskan di peta. Sebentar lagi kisah-kisah lama itu akan hilang ditelan zaman.

Baca berita-berita terbaru jafarbuaisme.com di Google News.