Catatan: Jafar G Bua*

Orang-orang besar kerap dilahirkan dalam kesunyian. Dan mereka tak selalu datang dengan sorak-sorai, bukan pula dengan iring-iringan pengawal. Kadang, yang mereka miliki hanyalah keyakinan, semangat dan sebuah gerobak. Ya, hanya sebuah gerobak. Ditarik pelan di jalanan yang berdebu di masa itu, namun dari situlah, Guru Tua memulai perjalanannya.

Di Peringatan Haul ke-57 Sayyid Idrus bin Salim al-Jufri—yang oleh para murid dan pencintanya disebut Guru Tua—Longki Djanggola, Gubernur ke-10 Sulawesi Tengah, berdiri dan bersaksi. Bukan sebagai politisi, bukan sebagai pejabat yang kini duduk di Komisi II DPR RI, melainkan sebagai seorang anak remaja di Palu ketika itu. Remaja dari masa yang sudah jauh ditinggalkan waktu.

Ia berbicara dengan kenangan. Dan dari kenangan itu kita melihat sejarah kecil: seorang ulama berjalan jauh, dari Kamonji ke Dolo, dari rumah ke madrasah, dari Palu ke Pakuli. Bukan dengan mobil dinas, bukan pula dengan becak bermotor. Tapi dengan gerobak. Ditarik lembu, diiringi angin, dan doa-doa.

Saya menyaksikan langsung bagaimana Guru Tua memulai perjalanan misinya naik gerobak, ujar Longki. Dan kalimat itu, dikandung niat untuk membuka tirai dan mencegah kisah-kisah besar dari kemungkinan dilupakan.

Guru Tua—dalam seluruh perjuangannya—menyiratkan sesuatu yang makin langka kita temukan hari ini: keberanian untuk tidak tampil, kekuatan untuk tidak menuntut. Di zaman ketika orang-orang berlomba menjadi pusat, Guru Tua diam-diam menjauh dari pusat itu. Ia memilih berada di jalan. Bukan jalan kekuasaan, tapi jalan panjang bernama pengabdian. Itulah mengapa, tak memilih Tanah Jawa atau Sumatera, Jakarta atau Surabaya, menjadi rumahnya, tetapi Palu, kota kecil yang ketika itu hanya punya Bandar Udara bernama Masovu – yang kini meminjam nama Guru Tua sebagai identitasnya, Bandara Mutiara .

Longki kecil, saban sore, diberi tugas oleh orang tuanya: cegat gerobak Guru Tua dan berikan apa pun yang bisa. Beras, gula atau apapun yang bisa membantu Sang Guru. Sebuah bentuk kecil dari solidaritas dan cinta. Bahkan kadang, sang ulama membalas dengan satu dua tandan pisang dari Pakuli—bukan dalam maksud membalas budi, tapi memberi dalam diam, sebagaimana sumur yang tidak pernah angkuh karena sudah memberi minum orang sekampung.

Saya bayangkan gerobak itu. Pelan. Berderit. Di atasnya duduk seorang ulama tua yang tidak peduli pada lelah. Di dalamnya, bukan hanya tubuh, tapi cita-cita. Bukan hanya buku, tapi barangkali semangat zaman yang sedang ia bawa, dari kampung ke kampung, dari generasi ke generasi.

Kita jarang membayangkan pendidikan dimulai dari sesuatu yang lambat. Tapi begitulah awalnya: bukan dengan kurikulum kompleks, bukan dengan bangunan megah. Tapi dengan langkah-langkah kecil. Dengan perjalanan yang menolak disebut heroik, karena ia tak pernah dimaksudkan untuk dikenang.

Yang menarik dari testimoni Longki bukan semata cerita nostalgia. Tapi bagaimana ingatan itu hadir dengan cara yang sederhana. Tidak berapi-api. Tidak menggugah untuk dibanggakan. Tapi justru karena itulah ia menjadi penting. Seperti keharuan yang tumbuh bukan karena musik keras, tapi dari gesekan biola yang pelan, dari satu nada yang mendekap sunyi.

Guru Tua tak pernah mengeluh meski sakit, tetap naik gerobak dari rumahnya di Kamonji ke Pakuli, demi menjalankan misi mulia, kata Longki. Kita tidak diberitahu apa isi misi itu. Tapi kita bisa menebaknya: pendidikan, dakwah, dan peradaban.

Kita lupa bahwa peradaban Islam di negeri ini tidak lahir dari pusat kekuasaan. Ia lahir di teras-teras rumah, di bawah pohon kelapa, di serambi madrasah kecil. Dan di Palu, Sulawesi Tengah, ia datang dari gerobak.

Salah satu kenangan paling manusiawi yang dibagikan Longki adalah ritual malam Jumat. Ia bersama ibunya, Hj. Aminah Sasung Manoppo, rutin mendatangi kediaman Guru Tua. “Itu pekerjaan wajib,” katanya. Longki, anak remaja itu, menjadi kusir dokar untuk mengantar ibunya.

Di situlah kita tahu: penghormatan tidak selalu datang dari pidato atau karangan bunga. Ia datang dari kaki-kaki yang rela melangkah, dari tangan-tangan yang bersedia membuka pintu, dari anak-anak yang tak segan menjadi kusir demi menemui seorang guru.

Barangkali itulah mengapa Guru Tua begitu dekat dalam kenangan Longki. Karena ia tidak pernah menjauh dari manusia. Ia tidak hanya hadir sebagai pendiri lembaga besar bernama Alkhairaat, tetapi juga sebagai kerabat yang menyapa, sebagai sahabat yang membagi pisang setandan dua, sebagai guru yang mengajarkan ilmu melalui murid-muridnya.

Dalam dunia yang kian terburu-buru, saya sering bertanya: adakah lagi orang yang bersedia berdakwah naik gerobak? Atau semua harus dengan mobil berkaca gelap dan rombongan pengawal? Apakah pendidikan masih dimulai dari kesederhanaan, atau harus dari proyek besar dan tender pembangunan?

Saya tidak menyalahkan modernitas. Tapi saya merindukan ketulusan lama. Ketika seseorang tidak mencari nama, melainkan makna. Ketika seseorang berjalan bukan untuk dilihat, tetapi karena merasa terpanggil. Guru Tua, tampaknya, berasal dari zaman itu. Zaman yang kini tinggal sebagai jejak.

Dan jejak itu, seperti dikatakan Longki, “mungkin tak banyak tercatat dalam buku sejarah formal.” Tapi jejak paling penting memang sering tidak tercatat. Ia hidup dalam tubuh para murid, dalam madrasah-madrasah kecil, dalam laku hidup yang terwariskan diam-diam.

Hari ini, Alkhairaat telah menjadi salah satu lembaga pendidikan Islam terbesar di Indonesia Timur. Tapi kita tidak boleh lupa bahwa semua itu bermula dari sesuatu yang lambat, sesuatu yang sunyi: sebuah gerobak, seorang guru, dan sebuah keyakinan.

Longki menutup testimoninya dengan kalimat yang sederhana tapi penuh harap: “Insyaallah apa yang sudah dilakukan Guru Tua diterima oleh Allah SWT, dan akan terus berguna bagi Abnaul Khairaat.”

Saya percaya, selama masih ada orang-orang yang bersedia mengingat, mengisahkan, dan meneladani—maka perjalanan dari gerobak itu tidak akan pernah selesai.

Karena dalam dunia yang penuh hiruk-pikuk ini, kadang kita hanya butuh seseorang yang diam-diam berjalan. Meninggalkan suara. Tanpa bunyi. Bekerja dalam sunyi. ***

*Penulis adalah Tenaga Ahli DPR RI, abnaulkhairaat