Tak semua suara harus lantang untuk mengguncang zaman. Ada suara yang lirih, tapi menggema melintasi waktu. Seperti doa di ujung subuh. Seperti bisikan dalam dada. Begitulah suara Guru Tua – Sayyid Idrus bin Salim Aljufri (15 Maret 1892 – 22 Desember 1969).
Ia tidak datang dengan pedang, tidak pula dengan kobaran api. Tapi ia membawa sesuatu yang lebih mendalam: kesadaran. Dan itulah yang paling sulit dibangkitkan di tengah gelapnya penjajahan.
Ia benar-benar datang dari Timur. Dari Tarim, Hadhramaut– lembah sunyi di Yaman yang sejak berabad-abad menjadi rahim para ulama. Di sana, ilmu adalah darah yang mengalir, dan belajar adalah bentuk tertinggi dari ibadah. Tapi Guru Tua tidak ingin hanya menjadi cahaya bagi kampung halamannya. Ia memilih meninggalkan tanah kelahiran, menyusuri pelabuhan-pelabuhan dunia Islam, dan akhirnya bersandar di Wani, Donggala, lalu Palu, setelah sebelumnya membuang sauh di Jawa dan Manado.
Mengapa ia memilih Palu? Bukan Jakarta, bukan Surabaya. Bukan pusat kuasa kolonial. Tapi mungkin memang begitu revolusi bekerja: bukan dari pusat, tapi dari pinggiran. Guru Tua tampaknya sangat paham: mengguncang pusat, justru bisa dimulai dari tepi.
Ia berpindah ke Palu pada 1930 – setelah ketibaannya di Wani pada 1929. Setahun sebelumnya, pemuda-pemuda di Batavia bersumpah atas satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa. Tapi Guru Tua tahu: sumpah itu takkan berakar bila tak diberi tanah dan tanah itu adalah pendidikan. Maka ia mendirikan Alkhairaat dengan izin Magau Djanggola, Raja Palu di masa itu yang takjub pada Sang Guru. Ini pun menggambarkan adab mulia dari Guru Tua yang mendahulukan pamit pada empunya tanah. Dimulai di masa itulah lembaga yang berarti “segala kebaikan” menjadi ladangnya menanam benih revolusi: akarnya dalam Al-Qur’an, batangnya pada ilmu, dan buahnya dalam amal.
Bila menengok sejarah, gerak Guru Tua bukanlah gerak yang sendiri. Ia berjalan seiring dengan angin perubahan dari tanah Arab. Revolusi intelektual di Timur Tengah, di awal abad ke-20, bukan hanya soal menggugat kekuasaan Turki Utsmani atau menjungkirkan dominasi kolonial Inggris dan Perancis. Ia juga soal pergulatan umat Islam dengan modernitas. Suara Muhammad Abduh menggema: “Umat ini tidak akan bangkit tanpa ilmu dan kebebasan berpikir.”
Guru Tua mengamini suara itu. Ia tak hanya mewarisi darah Rasulullah, tapi juga semangat ijtihad. Ia percaya bahwa berpikir adalah ibadah, dan kebekuan adalah bentuk penindasan baru. Maka di kelas-kelas Alkhairaat, tafsir bukan sekadar dibaca, tapi diperdebatkan. Hadis tidak hanya dihafal, tapi diuji dan ditelaah. Murid-muridnya diajak berpikir, bukan sekadar menghafal.
Tentu saja, perubahan semacam itu tak luput dari kecurigaan. Pemerintah kolonial tahu: pendidikan Islam yang rasional dan terbuka bisa jadi bara kesadaran nasional. Maka mereka mencoba membatasi. Tapi Guru Tua melawan dengan jalan yang tak lazim: diam, konsisten, membangun gerakan senyap dari balik papan tulis.
Ia menyebar murid-muridnya ke penjuru negeri – bukan untuk berperang, tapi untuk mengajar. Mereka mendirikan madrasah-madrasah. Mereka tak menyalakan api, tapi menyalakan pikiran. Dari Maluku hingga Papua, dari Sulawesi hingga Kalimantan, benih itu tumbuh.
Yang mengesankan: Guru Tua tak pernah mengejar sorotan. Ia hidup sederhana. Berkendara pedati yang dihela lembu. Menolak gelar, menolak jabatan politik. Ia tidak ingin dipanggil habib, cukup guru – sampai kemudian ia dikenal sebagai Guru Tua. Ia tak ingin jadi tokoh, cukup jadi pelita.
Tapi justru karena itulah ia layak disebut pahlawan. Bukan karena gemuruh aksinya, tapi karena getar sunyinya. Karena ia membuktikan: perubahan sejati lahir dari ruang belajar, bukan medan tempur. Dari kapur tulis, bukan dari peluru.
Apa yang ia lakukan selaras dengan semangat Revolusi Arab: memperbarui umat lewat pendidikan. Tapi ia tak mengganti baju Timur dengan jas Barat. Ia ajarkan kita jadi modern tanpa mencabut akar. Ilmiah tanpa kehilangan adab. Rasional tanpa membunuh iman.
Seringkali, kita terjebak pada citra pahlawan yang gagah berani di medan laga. Padahal sejarah, seperti cinta, justru dibangun oleh yang sunyi. Guru Tua tak merebut markas tentara. Tapi ia rebut hak berpikir anak-anak miskin. Ia tak mengubah sistem kekuasaan, tapi mengubah cara manusia memandang dirinya – dari sekadar korban sejarah menjadi penulisnya.
Kabarnya, ada kisah kecil di kalangan santri Alkhairaat. Suatu hari, seorang pejabat datang memuji madrasah beliau. “Alkhairaat seperti bintang di langit,” katanya. Tapi Guru Tua hanya tersenyum dan berkata pelan, “Bintang itu kecil. Saya ingin murid-murid saya menjadi matahari bagi bangsanya.”
Dan banyak dari mereka benar-benar jadi matahari. Ada yang jadi ulama, dokter, jurnalis. Mereka membuktikan bahwa Islam dan ilmu tidak bertentangan. Bahwa iman dan nalar bisa berjalan beriringan.
Hari ini, di tengah dunia yang gaduh dan penuh kebencian atas nama agama, Guru Tua kembali terasa relevan. Ia adalah wajah Islam yang lembut tapi kokoh, tegas tapi bijak. Moderat – bukan karena pasif, tapi karena sadar bahwa kekuatan sejati datang dari pengetahuan.
Maka, menjadikannya Pahlawan Nasional bukan sekadar memberi penghargaan bagi masa lalu. Tapi memberi harapan untuk masa depan. Bahwa bangsa ini masih menghargai mereka yang membangun dalam senyap. Bahwa revolusi bisa lahir dari ruang kelas, dari peluh para guru, dari cahaya yang tak menyilaukan, tapi menghangatkan.
Karena memang, di dunia yang semakin bising ini, justru suara seperti Guru Tua yang paling kita butuhkan. ***
Jafar G Bua (Tenaga Ahli Anggota DPR RI, Alumni Asia Journalism Fellowship – AJF – Temasek Foundation, Singapura, 2019)