Bermula dari status Ibu Ainul Mardiah, guru saya di SDN 1 Parigi di linimasa Facebooknya. Ia mengabarkan bahwa Iffatul Izza, anaknya dipilih menjadi salah seorang penampil pada Temu Ramah Sastrawan Serumpun Asia Tenggara di Jakarta pada September 2025 mendatang. Iffatul akan tampil membawakan sajaknya yang berjudul Ibu-ibu yang Menjahit Langit.

Sejatinya sajak itu penuh kegeraman, namun disampaikan dengan lirih nyaris tanpa suara. Ia marah, tapi dengan kata-kata merayu. Saya pun teringat sebuah lullaby, lagu ninabobo dari Nangroe Atjeh Darussalam, yang bernada sama.

Sebelumnya, saya mesti perkenalkan siapa Ibu Ainul Mardiah. Ia adalah putri Atjeh yang datang ke Parigi sebagai guru pada paruh 1980-an, lalu beroleh jodoh di sana.

Nah, sekarang saya akan bercerita soal lagu ninabobo ini. Selama 15 hari penuh di Serambi Mekkah pada September 2024 silam, saya mendengarkan lagu itu saban waktu. Saya mendengarkannya tak cuma seperti syair lagu tapi mantra yang menyihir hati.

Konon seperti lagu Hikayat Prang Sabi, yang bagai mantra penyemangat bagi bala tentara Atjeh melawan penjajah Belanda kala itu, begitu pula lullaby yang kita hendak ceritakan ini. Bedanya bila Hikayat Prang Sabi buat orang dewasa, maka lullaby ini buat bayi dalam buaian dan anak-anak yang tengah bertumbuh agar bisa menyiapkan diri sebagai pembela bangsa dan rakyat Aceh.

Saya harus cerita pula tentang seorang kawan, yang setia mengantarkan ke mana saja, saya di Atjeh. Dia adalah anak muda bernama Yulizar. Dia lulusan akademi keperawatan. Jadi seperti pemandu wisata. Mengenalkan kami kuliner khas, meninabobo telinga kami dengan lagu-lagu berbahasa Atjeh. Termasuk memutarkan saya lagu Hikayat Prang Sabi dan lullaby yang seperti Ininawa di Tanah Bugis, Sulawesi Selatan.

Lagu kedua yang dikenalkan anak muda asal Pasi Janeng, Woyla Timur, Aceh Barat itu dikenal sebagai Dodaidi. Lullaby yang meski penuh kelembutan dan merayu serta penuh cinta, sejatinya itu adalah doa dan harapan, tapi melankolis dan manja. Ia adalah pesan kuat agar kelak anak-anak bangsa Atjeh dapat berbakti pada agama dan bangsanya saat masanya tiba.

Dodaidi sendiri tidak memiliki arti baku dalam bahasa Aceh, namun bunyinya menyerupai suara-suara lembut yang menenangkan, seperti gumaman kasih sayang yang membuai. Namun menurut tetua, dô da berasal dari kata peudôda yang berarti bergoyang, dan idi berarti berayun.

Lagu ini diyakini berasal dari tradisi lisan masyarakat Aceh sejak ratusan tahun lalu. Karena merupakan warisan budaya tak tertulis, tidak ada catatan resmi tentang siapa pencipta asli lagu ini. Dodaidi tumbuh dan berkembang secara kolektif di tengah masyarakat, diwariskan dari generasi ke generasi melalui lisan, dalam ruang-ruang rumah yang sunyi saat malam datang.

Lirik lagu Dodaidi berisi doa dan harapan, sering kali menyebut nama sang anak, pujian atas kecantikannya, serta permohonan agar kelak ia tumbuh menjadi pribadi yang berbudi luhur, berilmu, dan berguna bagi keluarga serta bangsa. Dalam beberapa versi, lagu ini juga menyiratkan nilai-nilai Islam yang sangat kuat dalam kehidupan masyarakat Aceh.

Lagu Dodaidi mulai dikenal secara lebih luas di luar Aceh ketika diangkat dalam berbagai pentas seni dan festival budaya, terutama sejak masa 1970-an. Makin viral, ketika semua televisi menggunakan Doidadi sebagai musik latar liputan bencana gempa bumi dan tsunami Atjeh pada 2004. Sejumlah penyanyi dan budayawan Aceh pernah merekam ulang lagu ini dengan sentuhan modern, namun tetap mempertahankan ruh lembut dan syahdunya.

Meski zaman terus berubah, Dodaidi tetap menjadi simbol kasih sayang dan kehangatan dalam keluarga. Ia bukan sekadar lagu pengantar tidur, melainkan bagian dari identitas budaya Aceh—nyanyian ibu-ibu yang tidak hanya menidurkan, tetapi juga menanamkan cinta, iman, dan harapan ke dalam jiwa anak-anak mereka sejak dini.

Ini lirik lengkap Doidadi dalam Bahasa Atjeh dan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia:

Allah hai dô dô da idi
Boh gadông bi boh kayèe uteun
Rayek sinyak hana peu ma bri
‘Ayéb ngön keuji ureueng dônya kheun

Allah hai dô dô da idi
Buah gadung dan buah-buahan pohon dari hutan
Cepat besar anakku, tapi tak ada yang dapat ibu berikan
Aib dan keji yang dikatakan orang-orang

Allah hai dô dô da idang
Seulayang blang ka putôh taloe
Beurijang rayek muda seudang
Tajak bantu prang tabila nanggroe

Allah hai dô dô da idang
Layang-layang di sawah telah putus talinya
Cepatlah besar anakku, oh, Banta Seudang!
Ikut bantu berperang untuk membela bangsa

Wahé aneuek bek taduek lé
Beudöh saré tabila bansa
Bèk tatakot keu darah ilé
Adak pih maté poma ka rèla

Bangunlah anakku, janganlah duduk kembali
Berdiri bersama pertahankan bangsa
Jangan pernah takut walaupun darah harus mengalir
Sekiranya engkau mati, ibu telah rela

Jak lôn tatèh, meujak lon tatèh
Beudoh hai aneuek tajak u Acèh
Meubèe bak ôn ka meubèe timphan
Meubèe badan bak sinyak Acèh

Mari ibu latih kamu berjalan
Bangunlah anakku, mari pergi ke Aceh
Sudah tercium wangi daun dari timphan
Seperti wangi tubuh anak Aceh

Allah hai Po Ilahon hak
Gampông jarak h’an trôh lôn woe
Adak na bulèe ulon teureubang
Mangat rijang trôk u nanggroe

Allah Sang Pencipta yang punya kehendak
Jauhnya kampung(ku) tak sampai untuk ku kembali
Seandainya (aku) punya bulu (sayap) untuk terbang
Supaya lekas sampai ke nanggroe (= Aceh)

Allah hai jak lôn timang preuek
Sayang riyeuk jisipreuek panté
‘Oh rayek sinyak nyang puteh meupreuek
Töh sinaleuek gata boh haté

Kemarilah, nak, agar ibu dapat menimang engkau
Sayangnya ombak memecah pantai
Jika anak(ku) yang putih ini sudah besar
Di manakah engkau akan berada nanti, anakku?