Guma, sama pentingnya seperti Katana bagi Samurai Jepang, keris bagi orang Jawa atau clurit bagi orang Madura juga golok bagi pendekar Banten. Guma adalah senjata utama para Tadulako, pejuang tanah  Kaili.

Itulah yang membuat Komandan Korem 132 Tadulako, Brigadir Jenderal TNI Farid Makruf, MA kemudian berinisiatif membangun Museum Senjata Tradisional Guma di Palu, Sulawesi Tengah. Didukung sejumlah perwira di satuannya dan tim kerja lainnya yang terdiri dari akademisi, budayawan dan komunitas pecinta senjata tradisional ide itu pun mengalir jauh.

Selama empat bulan, konsultan keamanan Tanti Reinhart Thamrin, didukung sejumlah akademisi semisal Dr. Nisbah, Dr. Jamaluddin Mariadjang, Dr. Dwi Septiwiharti, Asriadi, M.Sc, dan arkeolog Iksam Djorimi beserta Komunitas Bentara Budaya Tadulako, Guma Pusaka Tadulako dan komunitas pecinta sejarah, dibantu sejumlah Perwira utama Korem 132 Tadulako seperti Kolonel Inf I Ketut Gunardi menggodok dan merumuskan gagasan Farid itu. Targetnya jelas; Pembuatan buku Leluhur Sulawesi Tengah Tadulako, pembuatan Guma Raksasa, dan pembangunan Museum Senjata Tradisional Guma.  

Penelusuran benda dan lokasi bernilai sejarah, wawancara puluhan pencatat sejarah, hingga pemetaan makam-makan pejuang Sulawesi Tengah dilakukan. Untuk mengefektifkan waktu, disiplin ala militer dan rantai komando yang ketat diberlakukan.  

Akhirnya, target pun tercapai. Ini seperti mimpi yang menjadi nyata. Momentum Hari Pahlawan kemudian dipilih untuk mempublikasikan hasil dari proses kerja itu.  

Dimulai dengan memperkenalkan museum khas itu kepada khalayak. Tak cuma itu, Farid yang langsung memimpin tim kerja ini pun membuat senjata tradisional Suku Kaili ini menjadi lebih ikonik dengan membuat Guma sepanjang 7,7 meter. Bukan replika belaka, tapi benar-benar guma dengan bilah besi, warangka kayu pilihan dan gagang berukir yang khas.

Rabu, 10 November 2021, dengan digotong oleh sekitar 20 prajurit TNI Angkatan Darat dan diiringi To Peaju, penari perang, Guma berukuran jumbo itu dikirab hingga ke Museum Senjata Tradisional Guma di Jalan Hasanuddin, Palu. Jaraknya tidak kurang 1 kilometer dari Korem 132 Tadulako.

“Kami dari komunitas adat sangat antusias dengan adanya museum ini. Ini akan memperkenalkan senjata tradisional Sulawesi Tengah. Kami sangat mendukung keberadaan dan keberlangsungan museum ini. Kami sangat berterima kasih pada Korem yang sudah membangun ini,” tukas Atman, tetua adat dari Sigi.  

Adapun Guma ini adalah senjata yang khas dan spesifik. Dalam buku yang ditulis Brigjen TNI Farid Makruf, dkk, Leluhur Tadulako, dari Mitos ke Realitas, disebutkan dalam sejarah penggunaan senjata tradisional pada kebudayaan di wilayah lain di seluruh dunia, pedang biasanya menjadi jenis senjata primer yang digunakan prajurit atau pejuang.

Menurut Farid, dkk, di Sulawesi Tengah, pedang dikenal dengan berbagai sebutan antara lain Guma (Palu), Piho (Kulawi, Napu, Bada), dan Penai (Poso, Pamona). Namun meski berbeda penyebutan, hampir tidak terdapat perbedaan yang mencolok terkait detail bentuk fisik, ukiran, bahan dasar pembuatan dan karakteristik pedang ini sebagai pusaka antara satu wilayah dan wilayah lain di Sulawesi Tengah.

Dalam buku setebal hampir 400 halaman itu, disebutkann dari segi rancang bangun, Guma terdiri dari tiga Bagian utama yaitu gagang Guma, bilah Guma (ase nu Guma) dan sarung Guma (Valombo). Adapun gagang Guma pada umumnya terbuat dari material tanduk kerbau dan beberapa namun sangat sedikit ditemukan terbuat dari kayu.

Farid, dkk menulis pula bahwa gagang Guma memiliki karakteristik menonjol dan menjadi pembeda jenis Guma. Nama dari ragam jenis gagang ini yang kemudian menjadi sebutan atau nama tiap jenis Guma yang dikenal sampai saat ini.

Dalam perkembangannya sampai hari ini, dapat diidentifikasi beberapa jenis gagang Guma antara lain: kalama, tinompo, dalendani, petondu, kadanjonga, garanggo, lompo, dan jenis gagang paling langka yaitu katandu/kobiti, yang hanya digunakan untuk keperluan ritual. Diidentifikasi pula beberapa jenis gagang antara lain dengan sebutan: Taono kalama yang sangat umum ditemukan saat itu, dengan bentuk kepala buaya yang sedang menganga, Taonondarenga, Taono paja’ambawoe (kaki babi), peso pa belira, Taono dalendani (handel jenger ayam), kadanjonga (kaki rusa), Taono woentoe (gagang terpotong/kerucut). Jenis gagang kadanjonga merupakan jenis gagang yang paling umum dan paling banyak diadaptasi dan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari sampai saat ini.

Beberapa gagang Guma yang masih sering ditemukan sampai saat ini diselimuti dengan ornamen lembaran tipis terbuat dari timah atau perak. Lembaran berharga ini dibeli dari pedagang asing yang umumnya berasal dari Sulawesi Selatan. Lembaran ini direkatkan pada gagang dengan dan bagian tertentu pada sarung (valombo) Guma menggunakan perekat alami (sejenis lem burung).

Model pelapisan ini sangat disukai masyarakat. namun berakibat pada terkikisnya ornamen gambar/ukiran pada gagang Guma. Model dekorasi pelapisan gagang ini hanya boleh dilakukan oleh prajurit senior yang pernah terlibat dalam peperangan.

Bahkan, seperti ditulis Farid, dkk, seringkali, pada lubang celah pada ujung gagang Guma disisipkan seikat rambut wanita (pantoli) sebagai ornamen dekorasi. Rambut tersebut dibeli dari seorang wanita melalui barter dengan tiga barang antara lain: piring penutup (ndapotannde), untuk mewadahi/menadah rambut saat dipotong, sebilah pisau (ndaposompi) untuk memotong rambut, sebuah sapu tangan (ndasiluka boi madju’a) untuk menutupi kepala, agar sang wanita tidak jatuh sakit, dengan keyakinan kemungkinan sebagian roh wanita tersebut mengikut rambut yang terpotong.

Menarik bukan?! Itulah yang memang membuat Farid kemudian menggandeng Ki Kumbang, ahli beladiri golok dari Banten berperan. Sejumlah komunitas pecinta senjata tradisional pun diundangnya.

“Sejak awal saya berpikir membangun Museum Guma karena ternyata Guma ini belum dikenal di dunia internasional maupun regular. Padahal nilai budaya, nilai artistik dan heroisme menjadikan Guma sangat menarik dikaji,” sebut Farid kemudian.

Ia berharap, Guma yang kini dipajang di depan Museum Senjata Tradisional Guma ini akan menjadi ikon baru di Kota Palu, Sulawesi Tengah. ***