Sapardi Djoko Damono mangkat di usia 80 tahun. Ia menghembuskan nafas terakhir di Eka Hospital Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, Minggu, 17 Juli 2020 pukul 09.17 WIB.
Penyair rendah hati ini menghasilkan banyak karya mulai dari puisi, cerita pendek hingga buku. Beberapa puisinya yang monumental adalah Hujan Bulan Juni, Yang Fana adalah Waktu, Aku Ingin dan Pada Suatu Hari Nanti.
Pria kelahiran Surakarta, 20 Maret 1940 ini adalah salah seorang sastrawan besar milik Indonesia. Ia telah berkreasi sejak remaja. Di usia 17 tahun, sajak yang dia bikin sudah menjadi sajak wajib di pertemuan Kesenian Nasional Indonesia sampai tiga kali.
Sapardi juga terkenal sebagai dosen, pengamat sastra, kritikus sastra, dan pakar sastra. Mendiang adalah anak pertama dari pasangan suami-isteri, Sadyoko dan Saparian.
Pada satu tempo, ia bilang; Tidak percaya dengan bakat melainkan niat dan konsistensi. Katanya, dengan modal niat dan konsistensi manusia bisa memproyeksikan ide mengenai dirinya menjadi kenyataan.
Bermodalkan dua hal itu juga dia mulai mengasah kemampuan dan kesukaannya pada dunia sastra.
Sapardi mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Rakyat Kraton “Kasatriyan”, lalu ke Sekolah Menengah Pertama Negeri II Solo.
Mengenyam pendidikan tinggi di Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, jurusan Bahasa Inggris. Ia juga pernah memperdalam pengetahuan tentang humanities di University of Hawaii, Amerika Serikat, pada 1970-1971.
Sekitar 18 tahun berselang sang Sastrawan ini mendapat gelar Doktor pada bidang ilmu sastra dengan disertasi yang berjudul ‘Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur’.
Pada 1995 ia dikukuhkan menjadi Guru Besar di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia (UI).
A Theuw dalam buku ‘Indonesia Modern II’ yang terbit 1989 mengungkapkan bahwa Sapardi adalah sastrawan dengan karya yang orisinil dan kreatif.
Saat menulis, Sapardi selalu fokus pada cara menyampaikan ide. Penyampaian yang indah akan menggugah pembaca terbawa dalam alurnya.
Sapardi telah menulis beberapa buku yang sangat penting, di antaranya Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang (1979), Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1999),
Kemudian Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur (1996), Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999), Sihir Rendra: Permainan Makna (1999) dan Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan: Sebuah Catatan Awal.
Ia sangat produktif, bahkan tercatat pernah menerjemahkan karya dalam bahasa asing ke bahasa Indonesia, seperti Lelaki Tua dan Laut (The Old Man and the Sea, Hemingway), dan Daisy Manis (Daisy Milles, Henry James).
Beberapa penghargaan turut disabet pria yang terkenal ramah dengan banyak orang ini. Dari dalam negeri diantaranya dia pernah mendapat anugerah Kalyana Kretya dari Menristekdikti pada 1996 dan Anugerah Seni dari Pemerintah Indonesia pada 1990. Dari luar negeri yakni, Cultural Award dari Australia yang dia dapat pada 1978, kemudian SEA Write Award dari Thailand pada 1986.
Selamat Jalan, Sapardi Djoko Damono. Hujan bulan Juni sudah usai. Dan engkau pergi di paruh kedua Juli saat kemarau jelang mencium bumi. (cnnindonesia.com/akurat.co/wikipedia)