Episode 3: Huru-hara di Bandar Donggala – Karavea, Pendekar Berkuda dari Tanjung Donggala
Tak terasa sudah hampir sebulan Batara Dewaraja, Batari Fatimah dan La Basso berada di Kerajaan Pujananti. Mereka begitu terkesan akan penyambutan dan penerimaan Pua Raja Daeng Tarenreng, Para Panglima Kerajaan dan seluruh rakyat kerajaan makmur di jantung Pulau Celebes ini. Mereka diperlakukan seperti keluarga sendiri. Bahkan Pua Raja kadang lebih memerhatikan para tetamu dari pada urusan-urusan lain. Kebetulan Pua Raja menduda hingga tua. Ia tak menikah lagi semenjak Permaisuri mangkat. Waktunya lebih banyak mengurusi rakyat dan kesejahteraan mereka. Tak akan rakyat yang kelaparan atau kekurangan pangan. Setiap saat melalui pembantu-pembantunya, ia terus memeriksa hal itu. Urusan perniagaan dan hubungan dengan kerajaan lain diserahkan kepada Karavea dan pembantu raja yang lain.
“Tak terasa sudah sebulan anak-anakku dari Tana Luwu berada di sini. Terima kasihku kiranya disampaikan kepada Datu Luwu. Terima kasih pula kepada anakda Dewaraja dan La Basso yang turun tangan melatih pasukan kerajaan,” kata Pua Raja di pagi yang terik di ruang jamuan kerajaan.
“Untuk anakda Dewaraja dan La Basso yang akan meneruskan pengembaraan hingga jauh ke Tanah China, berhati-hatilah selalu. Pandai-pandailah membawa diri. Adapun Fatimah sementara akan menetap di sini, dia sudah berjanji kepada Kakandanya Karavea untuk melatih pasukan khusus pengawal kerajaan ketrampilan memanah,” ujar Pua Raja.
Baik Dewaraja dan La Basso sudah mahfum soal Fatimah yang akan tinggal sementara di Pujananti. Selama berada di wilayah kerajaan makmur ini, mereka melihat bagaimana hubungan Karavea dan putri Datu Luwu itu. Keduanya menilai memang hanya Panglima Pasukan Khusus Pengawal Kerajaan Pujananti itulah yang pantas dan layak mendampingi Fatimah. Apalagi mereka melihat Karavea benar-benar lelaki yang tahu menghargai wanita. Pendekar tanpa tanding dari Tanjung Donggala itu sungguh memiliki budi pekerti yang adiluhung. Di hadapan Pua Raja ia tahu posisinya sebagai anak dan panglima kerajaan yang menjadi bawahan raja.
“Terima kasih pula kami sampaikan kepada Pua Raja dan Panglima, para pimpinan pasukan dan seluruh rakyat Pujananti atas sambutan dan penerimaan kepada kami. Kami tidak pernah merasa menjadi tetamu tetapi menjadi bagian dari keluarga. Terima kasih Pua Raja. Terima kasih,” kata Dewaraja yang langsung disambung oleh La Basso.
“Untuk tambahan ilmu Bula Mata, yang diturunkan kepada kami sebagai tanda kami menjadi bagian dari Kerajaan Pujananti, kami benar-benar harus berterimakasih. Itu ilmu luar biasa yang diajarkan kepada kami oleh Panglima Karavea,” tambah La Basso.
Ilmu Bula Mata yang dimaksud oleh La Basso adalah ilmu yang memungkinkan Panglima dan beberapa pimpinan pasukan mampu menutupi fisik kasar mereka dari orang lain. Kepada mereka sudah diturunkan dasar-dasar ilmu itu. Latihan demi latihan akan memantapkannya. Kepada para pendekar dari Tana Luwu itu, Karavea menghadiahkan pula masing-masing sebilah Guma dengan gagang bermotif kadanjonga. Guma memang menjadi senjata unggulan para pendekar di Pujananti.
Seperti rencana, hari ini, mereka akan turun ke Tanjung Donggala. Ada kapal Jung dari Zhōngguó yang membuang sauh di Bandar. Zhōngguó adalah nama China di masa itu. Jung itu nantinya akan membawa mereka berlayar hingga ke Negeri Tirai Bambu. Kebetulan Karavea mengenal baik nahkodanya. Ia akan menitipkan kedua saudaranya dari Luwu itu kepada Nahkoda dan dilayani segala keperluan mereka selama pelayaran hingga sampai di negeri tujuan.
Kapal Jung yang akan mereka tumpangi adalah sejenis kapal layar, yang banyak terdapat di perairan Asia Tenggara sampai ke pantai timur Afrika. Ada dua jenis jung yang terkenal, yaitu jung Jawa dan jung China. Ada dua jenis jung di China: Jung Zhōngguó Utara yang dikembangkan dari perahu sungai Zhōngguó, dan jung Zhōngguó Selatan yang dikembangkan pada masa Dinasti Song (960–1279 Masehi). Itu berdasarkan desain-desain kapal Nusantara yang telah berdagang dengan saudagar-saudagar dari masa Dinasti Han Timur sejak abad ke-2 Masehi. Jung memegang peranan penting dalam perdagangan Asia Tenggara masa lampau. Ia menyatukan jalur perdagangan Asia Tengara yang meliputi Campa, kerajaan Melayu di ujung selatan Vietnam, Ayutthaya atau Thailand, Aceh, Malaka, Jawa, Donggala hingga Makassar.
Di Donggala sendiri, saudagar Zhōngguó, juga Gujarat dan Arab selalu menjadikan Bandar di Tanjung Donggala sebagai salah satu tempat persinggahan utama. Pelabuhan ini menjadi bandar dagang terbesar dan teramai di Celebes di masa itu. Macam-macam yang hasil bumi diangkut dari wilayah itu, termasuk dari pusat Kerajaan Pujananti.
Pagi ini, dipimpin Karavea, Dewaraja, Fatimah. La Basso dan petugas urusan niaga membawa 50 gerobak berisi hasil bumi dari Pujananti. Selain itu tidak kurang 50 ekor Lembu Donggala juga dibawa. Barang niaga itulah sumber kemakmuran Kerajaan Pujananti. Turunnya mereka dari Pujananti seperti pawai pesta syukur. Ada pisang, padi ladang, durian, rempah-rempah, kopra, damar dan cendana wangi di atas gerobak itu. Khusus Cendana, memang menjadi barang niaga utama. Mulai dari akar, batang hingga daunnya bernilai jual tinggi. Ini pula mencari incaran saudagar-saudara Eropah di kemudian hari.
Di kesempatan turun ke Bandar itu juga dimanfaatkan oleh rakyat di sekitar wilayah kerajaan membeli kain-kain sutra indah dan keramik dari Zhōngguó, juga Kopi dan Teh yang dibawa saudagar dari Gujarat, India. Rakyat Pujananti menggunakan koin perak dan emas sebagai alat tukar. Ada pula yang saling menukarkan barang.
Iring-iringan bak pawai hasil bumi itu, sampai ke Bandar Donggala menjelang matahari terbenam. Karavea langsung menghubungi Nahkoda Jung Zhōngguó bernama Huanran. Wajah Nahkoda itu selalu terlihat seperti tersenyum. Sesuai namanya, ia memang selalu terlihat selalu riang dan ramah pada orang di sekelilingnya. Ia juga bilang selalu senang berbisnis dengan orang Thung-Chia-La. Itu adalah nama Donggala di lidah Huanran.
Tiba-tiba, terdengar denting logam beradu di ujung Bandar. Terlihat dua orang, yang perawakannya sepertinya dari Zhōngguó dan Gujarat. Lelaki yang satu memakai senjata ruyung baja, dan satunya lagi memakai Urumi. Bila ruyung adalah senjata khas para pendekar Zhōngguó, berbentuk dua tongkat pendek dari baja yang disambung rantai baja, sedang Urumi adalah senjata khas Gujarat berupa pedang tajam serupa cambuk yang bisa digulung atau dijadikan sabuk bila tak dipakai.
Mau tak mau, Karavea dan lainnya langsung menonton adu laga ini. Karavea sendiri tak mau dulu mengambil tindakan apa-apa karena melihat mereka sama-sama kuat. Di tengah temaram senja, mereka berlaga. Puluhan jurus sudah mereka keluarkan, belum ada satupun yang terlihat melemah. Ruyung dan Umuri yang memang dasarnya dapat dimainkan seperti kitiran kerap bertemu sehingga memercikan bunga api. Perempuan penjual tabaro dange, kacandipa, kalopa dan burasa sudah berteriak-teriak panik, karena sebagian lapak mereka tersapu angin lantaran kuatnya tenaga dalam kedua pendekar itu.
Tiba-tiba, saat terlihat pendekar dari Gujarat tadi hampir terkena pukulan ruyung, sesosok lelaki langsung melompat ke arena. “Berhenti…berhenti…Ini tanah damai, tak ada yang diperkenankan untuk mengusiknya.”
Pendekar itu tengah mempertunjukkan ilmu Panggagara. Saat ia membentak tadi, dengan pengerahan tenaga batinnya, suaranya menjadi berat dan memengaruhi orang lain untuk tunduk. Bila memaksakan tenaga melawan kekuatan ilmu ini, badan orang akan gemetar ketakutan.
Ternyata itu adalah Karavea, pendekar tanpa tanding dari Kerajaan Pujananti. Orang pun terdiam, seperti dijahit mulutnya. Kedua pendekar tadi pun terdiam. Badan mereka gemetar, apalagi saat itu, Karavea dengan tangan telanjang membetot Ruyung di tangan kiri dan Urumi di tangan kanan.
Dewaraja, Fatimah dan La Basso yang melihat itu pun berdesir darahnya. Mereka makin kagum. Karavea memang sungguh pendekar tanpa tanding. Tak ada pengerahan tenaga berlebihan saat ia melompat dan menangkap senjata kedua pendekar yang bertanding itu. Tanpa sadar, Fatimah langsung bertepuk tangan. Tepukan tangannya langsung membuyarkan kediaman orang-orang di Bandar. Bagi yang sudah tahu Karavea, tentu tak heran, tapi bagi para saudagar yang baru datang, tentu saja terkejut bukan kepalang melihat aksi beraninya.
Dewaraja dan La Basso tentu saja sontak saling menengok. “Opu, pilihan Fatimah tidak salah. Karavea adalah lelaki paling pantas untuknya. Apalagi Ayahanda Datu memang sudah berpesan kepada kita berdua soal keinginannya menjodohkan putra Pua Raja Pujananti dengan Fatimah. Kita belum sempat bicara itu saat awal kedatangan, tapi rupanya Pua Raja sudah mengetahuinya. Sehingga ia menahan Fatimah. Sedang Fatimah pun sudah berencana menetap sebentar di Pujananti,” tukas La Basso.
Dewaraja tinggal mengiyakan saja kata-kata La Basso. Ia pun sebagai kakak merestui pilihan Fatimah.
“Semoga mereka berjodoh dan bisa mengeratkan hubungan kekeluargan Kerajaan Luwu dan Pujananti,” sembung Dewaraja.
Adapun kedua lelaki yang berkelahi tadi kemudian didamaikan. Mereka mau tak mau tunduk pada Karavea. Keduanya bukanlah pendekar yang lemah. Di negerinya, keduanya juga tanpa tanding, namun di Bandar ini ada lekaki yang ilmunya lebih tinggi dari mereka. Keduanya pun dikenai Givu, denda adat membayar sejumlah kerusakan lapak para penjaja makanan di Bandar ramai itu. Mereka pun setuju, bahkan kemudian, lelaki Zhōngguó itu meminta izin menetap di dekat Bandar untuk membuat toko kain dan membuka kantor niaga. Sebab ini adalah wilayah kekuasaan Pujananti, Karavea langsung setuju. Ia akan membawa lelaki itu ke pusat kerajaan Pujananti untuk bertemu Pua Raja membicarakan soal itu. Ia memperkenalkan namanya: Biang Cheung. Adapun lelaki Gujarat yang kemudian memperkenalkan namanya Sufyan itu meminta pada Karavea bila ia datang lagi ke Bandar Donggala, ia diizinkan untuk berlama-lama di negeri ini. Keduanya benar-benar kagum pada kelihaian lelaki yang selalu menunggang kuda hitam bersurai keemasan itu.
Malam pun menyungkupi Bandar Donggala. Malam ini pula Karavea dan rombongan akan kembali ke Pujananti. Tentu saja, Fatimah turut serta. Bukan kepalang riangnya hati Putri Luwu itu. Ia akan menetap di situ dan akan selalu bisa bertemu dengan lelaki yang sejak awal sudah membuatnya jatuh hati ini.
Sementara itu, Jung yang membawa Dewaraja dan La Basso akan bertolak dinihari, melewati Selat Makassar lalu ke Brunei. Dari Brunei barulah mereka berlayar menuju ke Zhōngguó. Biasanya mereka akan singgah di beberapa pelabuhan lagi untuk mengangkut hasil bumi kemudian berlayar jauh menuju negerinya.