Epidose 9: Karavea, Pendekar Berkuda dari Tanjung Donggala
Petta’e Rappang We Tipu Uleng tak hendak beranjak dari tempatnya berdiri melepas To Warani’e ri Pujananti Karavea dan Fatimah menuju Tana Luwu. Ia terus memandang lurus ke jalan hingga belakang punggung para pendekar itu hilang dari pandangannya.
Pagi itu, matanya masih memerah. Ia memandang istananya yang kini tampak kokoh dengan benteng parit dan rerumpunan bambu. Karavea sungguh ahli strategi yang mumpuni. Ia sudah berjanji akan membangunkan benteng serupa di Sidenreng. Di sana, kakaknya Addaowang La Mallibureng sudah menunggu.
Pada suatu kesempatan berkunjung ke Rappang, Addaowang Sidenreng kagum akan model benteng di Istana adik kesayangannya itu. Seandainya Karavea masih lama, ia ingin juga membangun benteng serupa. Sayangnya, Pendekar itu sudah melanjutkan kelananya. Olehnya, ia meminta adiknya bisa membantu merancangnya.
Sementara itu, Karavea dan Fatimah sudah menapak jejak menuju Tana Luwu. Kuda-kuda yang mereka pakai dirawat dengan telaten selama di Sidenreng dan Rappang. Setelah dilepas di perbatasan wilayah, pasukan pengawal dari Kerajaan Rappang kembali ke Istana. Mata jalan menuju tanah lahir Putri Luwu itu adalah Ambo Tuo. Pemimpin gerombolan perampok di Sidenreng itu kini menjadi pengikut setia To Warani’e ri Pujananti. Ia benar-benar menguasai wilayah ini.
“Puang Panglima, ada beberapa jalan menuju Tana Luwu, saya akan memimpin jalan yang lebih mudah. Sebab kita membawa banyak perbekalan dengan padati. Sapi-sapinya tidak akan mampu melewati jalan berat.”
Karavea meminta Ambo Tuo untuk selalu memimpin jalan, sebab memang dialah yang paham jalan di sekitar wilayah ini.
Saat istirahat dan menyempatkan diri untuk makan, Ambo Tuo bercerita bahwa mereka akan melewati Sengkang, di mana para perempuannya menenun lipa sabbe.”
Batari Fatimah pun sumringah. Matanya berbinar.
“Kakanda Karavea, kita harus singgah di sana. Saya akan membelikan hadiah buat Ayahanda Puang Raja dan Ibunda Batari Wenyili.”
Panglima dari Pujananti itu tak kuasa menolaknya. Selepas siang mereka kembali berjalan. Sengkang tak begitu jauh, tapi baiknya mereka akan masuk ke tempat para penenun lipa sabbe itu pagi hari. Itu agar kedatangan mereka tak merepotkan.
Karavea tentu tak asing dengan Lipa Sabbe ini. Sejak lama masyarakat Pujananti sudah pula membuat tenun buya sabbe. Mereka mendapatkan bahan bakunya dari Zhōngguó. Kain yang dililitkan di guma miliknya pun adalah potongan buya sabbe. Mereka pun sudah berhubungan dengan saudagar dari Sengkang. Suatu waktu, penenun dari Sengkang mengajarkan perempuan-perempuan di Pujananti tradisi menenun sabbe.
Akhirnya diputuskan mereka akan bermalam di dekat danau di ujung permukiman para penenun itu. Seorang kurir dikirimkan untuk meminta izin kepada pemilik wilayah.
Seperti pengetahuan Karavea dan penyampaian kurir daerah ini masuk dalam wilayah Kerajaan Cinnotabiʼ. Dulunya, wilayah ini tak berpenghuni. Sampai kemudian saat We Tadampali, seorang putri Luwu yang sakit kulit dibuang ke sini.
Di situ, bersama dayang-dayang yang mengiringinya, ia kemudian membangun permukiman. Suatu waktu, seekor kerbau belang menjilat kulitnya hingga sembuh.
Di saat bersamaan, seorang pangeran dari Bone beserta rombongannya yang sedang berburu, singgah beristirahat. Mereka terkejut ada permukiman di hutan perburuan itu. Mereka mendatangi sebuah rumah paling besar di sini.
Pangeran dari Bone itu terkejut, penghuninya seorang perempuan yang sangat cantik jelita. Ia melihat We Tadampali yang sudah sembuh dari penyakit kulitnya.
Syahdan, sepulangnya ke Bone, Pangeran itu meminta Raja Bone Manurunge ri Matajang untuk melamar perempuan yang dilihatnya itu. Akhirnya, mereka kemudian menikah dan bahagia serta dikaruniakan banyak anak keturunan.
Wilayah yang mereka itu terus berkembang. Masyarakatnya makmur. Hasil pertaniannya melimpah. Danau yang berada di ujung permukiman mereka menyediakan ikan-ikan segar dan sumber air minum rakyatnya. Pangeran yang memilih menjadi rakyat biasa itu mendampingi We Tadampali hingga akhir hayatnya.
Suatu waktu, datanglah La Paukke, seorang saudagar dan bangsawan dari Zhōngguó. Ia pun bermukim di situ. Lambat laun wilayah ini makin berkembang dan mereka beri nama Cinnotabi. Rakyat kemudian mengangkat La Paukke menjadi Arung Cinnotabi. Sepeninggal La Paukke, We Panangngareng meneruskan kepemimpinannya. Di masa Arung perempuan itulah tenun lipa sabbe berkembang.
“Kakanda belum beristirahat.”
Teguran Fatimah mengejutkan Karavea yang mengingat kembali kisah-kisah ayahanda Pua Raja Pujananti tentang beberapa kerajaan yang pernah disinggahinya. Raja Pujananti memang suka berkelana di masa mudanya. Wilayah Cinnotabi ini adalah salah satu yang pernah dijejakinya.
“Iya adinda Fatimah. Engkau duluanlah istirahat. Perjalanan kita masih panjang. Besok kita akan singgah sebentar membeli beberapa lipa sabbe dan kemudian kembali meneruskan perjalanan setelah istirahat.”
Putri Luwu itu patuh. Iya kemudian masuk ke tempat tidur di dalam padati yang memang disiapkan khusus untuknya. Sementara yang lain tidur mengeliling tempat mereka beristirahat itu. Yang kebagian berjaga tetap awas.
Adapun Karavea memang sungguh tubuhnya terlatih. Tidur biasanya hanya sejam dua, lalu kembali berjaga bersama anggota pasukannya. Bahkan dalam tidur pun ia terus waspada. Tanggung jawabnya sebagai Panglima Pasukan Khusus Pujananti membentuk dirinya begitu rupa. Sejak usia belasan purnama, ia sudah tekun berlatih olah tubuh. Guru-gurunya mengakui kemampuan luar biasa. Sebab Pua Raja Pujananti orang uang pikirannya terbuka, ia mengundang sesiapapun ke Istananya. Para guru-guru silat lihai dari Malaka, Jwadipa, Swarnadipa, Zhōngguó, Arab bahkan dari Gowa, India didatangkan.
Acapkali pula, ia mengirim Karavea menemui para gurunya hingga ke seberang daratan dan lautan. Itulah mengapa dalam usia yang masih tergolong muda, Karavea memiliki kelihaian luar biasa.
Pagi sudah menjelang, setelah mengisi perut ala kadarnya, Karavea dan rombongannya kembali meneruskan perjalanan. Ada tiga padati yang ditarik masing-masing dua ekor sapi. Itu berisi hasil bumi dan buah tangan dari Kerajaan Bacukiki dan Sidenreng serta Rappang untuk Datu Luwu. Lainya berkuda termasuk Fatimah. Semula, dari wilayah Kerajaan Rappang, ia diminta untuk didalam padati saja. Ia manut pada Karavea. Tetapi sekarang, karena sudah mendekati wilayah Cinnotabi, ia memilih berkuda di samping Panglima Pujananti itu.
Di luar dugaan, di pintu gerbang Cinnotabi ramai orang menyambut mereka. Rupanya kabar tentang kehebatan Karavea menaklukan para perompak di Selat Mandar, perampok di hutan antara wilayah Sidenreng dan Rappang sudah tersiar jauh. Di antara mereka seorang putri nan cantik juga terlihat.
“Agaknya inilah Arung Cinnotabi itu yang masyhur disebut-sebut orang itu. Tak ku sangka dia benar-benar berwajah cantik jelita.”
Karavea membatin di samping Fatimah.
Fatimah sendiri juga memerhatikan wajah perempuan itu. Seketika api cemburu membakar hatinya, karena sejak awal kedatangannya, mata perempuan itu terus menatap Karavea. Seolah-olah tak ada orang lain di situ. Tapi tentu saja, ketika perempuan itu menyapa, ia menunjukkan wajah manisnya.
“Saya We Panangngareng, selamat datang di wilayah kami Puang Panglima To Warani’e ri Pujananti.”
Karavea disambut sepasang muda-mudi dengan Pajaga. Ini adalah gerakan tarian pertarungan untuk menyambut tetamu yang datang. Dua orang berpasangan mengacungkan Alameng di tangan kanan dan kanna di tangan kiri.
Mereka mengacungkannya kepada tetamu setelah itu mereka bertarung sembari diiringi tabuhan gendang. Sesekali mereka memekik tinggi. Setelahnya mereka kemudian dipersilahkan naik ke Istana oleh We Panangngareng.
Karavea tentu tak terlalu takjub dengan penyambutan ini. Di Pujananti mereka pun menyambut tetamu dengan cara seperti ini. Di sana, mereka menamainya meaju. Di mana sepasang lelaki mengancungkan guma di tangan kanan dan kaliavo di tangan kiri bergerak seperti orang bertarung sembari memekik.
“Ternyata adat budaya kita pun punya kesamaan dan pertalian. Saya benar-benar yakin pada suatu masa yang sudah lampau, para pendahulu kita sudah berhubungan erat bukan hanya dalam tradisi menenun sabbe tapi juga adat istiadat dan budaya.”
Begitu kata Karavea pada Arung Cinnotabi sesaat setelah mereka selesai menyantap aneka hidangan di pendapa Istana yang lapang.
Berbinar-binar mata Arung Cinnotabi saat berbincang dengan Karavea. Sementara Batari Fatimah terlihat seperti orang gelisah. Kali ini ia benar-benar cemburu, tapi demi kesopanan ia tetap duduk di samping Panglima Pujananti hingga perjamuan itu selesai.
“Kakanda, saya tidak suka Kakanda dekat dengan Arung Cinnotabi itu. Rasa-rasanya ingin saya menegurnya. Caranya memandang Kakanda seperti orang yang ingin menelan Kakanda hidup-hidup.”
Fatimah mengungkapkan kecemburuannya sesaat setelah mereka memiliki kesempatan berdua.
“Adinda, yakinlah padaku. Tidak akan perempuan lain yang bisa menaklukan hatiku. Bukankan saya sudah sampaikan, tak mungkin saya mengkhianati Pua Raja Pujananti dan Puang Datu Luwu.”
“Iya. Kakanda boleh saja berkata seperti itu, tapi siapa tahu dalamnya hati orang.”
Sebenarnya, setelah melihat-lihat lipa sabbe, mereka akan segera berangkat menuju Luwu, namun Arung Cinnotabi meminta mereka bisa menginap semalam dua. Karavea mengiyakannya sebagai bagian dari penghargaannya atas sambutan ramah tuan rumah. Apalagi saat acara penyambutan selesai, hari sudah beranjak petang.
Maka, makin bergeloralah api cemburu di hati Fatimah. Apalagi saat akan beristirahat di malam hari, Arung Cinnotabi berkesempatan memeriksa bilik istirahat mereka yang luas. Ada dua ambin yang disediakan oleh tuan rumah sesuai permintaan Karavea.
“Alasannya saja. Ia cuma ingin melihatmu Kakanda Karavea. Saya tidak suka.”
Rupanya api cemburu benar-benar membakar akal Fatimah.
“Sudahlah Adinda, toh saya ini selalu ada di dekatmu. Tidak mungkin orang menyentuhku bila selalu ada Adinda di sampingku.”
Fatimah hanya berdiam diri. Ia memunggungi Karavea. Padahal biasanya, ia betah memandang wajah lelaki kecintaannya itu saat tidur.
Malam kian tua. Tak ada lagi suara-suara, kecuali gerak para penjaga yang kali ini dibantu pasukan Karevea berpatroli keliling Istana. Disiplin pasukan pengawal dari Pujananti itu membuat kagum tuan rumah.
Karavea sendiri seperti biasanya selalu awas dalam keadaan apapun. Ia juga tahu bahwa Fatimah belum tertidur juga, tapi ia tak ingin mengganggu. Biarkan ia tenang dulu.
“Perempuan itu memang makhluk yang sulit diduga. Dikerasi ia akan melawan, terlalu dilembuti ia akan lancung. Olehnya, sentuhlah selalu hatinya. Perlakukanlah selalu mereka dengan baik.”
Membatin Pendekar tiada tanding dari Pujananti itu. Ia mengingat pesan almarhumah ibunya Gonenggati, permaisuri Kerajaan Pujananti. ***
Bersambung ke Episode 10: Menyimpul Tali Jiwa di Tana Luwu – Karavea, Pendekar Berkuda dari Tanjung Donggala
Keterangan:
Tana: Tanah, daerah atau wilayah daratan
Padati: Pedati atau gerobak yang ditarik sapi
Bipa sabbe: Sarung sutra
Buya sabbe: Sarung Sutra
Arung: Raja dalam sistem Kerajaan Bugis Bone dan Wajo
Pajaga: Tari penyambutan tamu di beberapa kerajaan bugis, seperti Meaju di kerajaan di Sulawesi Tengah.
Alameng: Parang yang merupakan perpaduan badik dan pedang.
Kanna: Tameng atau Perisai.