Di bulan April, kita selalu kembali kepada satu nama: Kartini.

Ia dikenang dalam lagu, dilukis dalam gambar yang tak pernah berubah: seorang perempuan muda, mengenakan kebaya, rambut disanggul rapi, wajah tenang seperti tak pernah marah, tak pernah lelah. Kita menyebutnya dalam lagu “Ibu Kita Kartini”, dengan nada nyaris sakral. Kita menyematkan padanya gelar pahlawan, lambang emansipasi, simbol perjuangan perempuan Indonesia.

Tapi dalam gemuruh perayaan itu, saya sering merasa hening.

Bukan karena Kartini tak layak dikenang. Ia pantas. Ia melampaui zamannya, menulis dengan kejujuran yang langka, melawan dengan cara yang hanya bisa dilakukan oleh perempuan muda di bawah bayang-bayang adat dan kuasa kolonial. Surat-suratnya adalah jerit hati sekaligus api kecil yang terus menyala. Ia memimpikan pendidikan, kebebasan berpikir, kesetaraan. Dan semua itu ia tulis dengan bahasa yang penuh harap, meski hidupnya sendiri terlalu pendek untuk melihat semua itu jadi kenyataan.

Tapi seiring kita memuliakan Kartini, ada satu keganjilan yang tak bisa saya abaikan. Mengapa hanya dia? Mengapa hanya satu?

Sejarah perempuan Indonesia tak bermula dan tak berakhir di Jepara. Di tanah , Sulawesi Utara, pernah hidup seorang perempuan lain. Namanya Maria Josephine Catherine Maramis. Tapi kita lebih mengenalnya—jika mengenalnya sama sekali—sebagai Walanda Maramis.

Ia lahir tujuh tahun sebelum Kartini. Lahir bukan dari darah bangsawan, bukan pula dari kota besar. Ia kehilangan kedua orang tuanya di usia enam tahun karena wabah kolera. Ia tidak dipingit, tidak menulis surat ke Eropa, tidak punya pengaruh politik keluarga. Tapi dari ruang-ruang kecil di Manado, dari dapur rumah pamannya, dari ruang tamu tempat ia menjamu tamu-tamu pejabat, Maria mendidik dirinya sendiri. Dan kemudian, ia mulai mendidik orang lain.

Maria menulis di koran lokal bernama Tjahaja Siang. Ia bicara soal peran ibu, soal pentingnya pendidikan untuk anak, soal masa depan bangsa yang tak mungkin dibangun jika perempuan terus-menerus disisihkan dari ruang belajar. Ia bicara bukan dari menara gading, tapi dari dapur, dari pengalaman. Ia bukan hanya memimpikan sekolah perempuan—ia mendirikannya. Ia tak hanya menulis tentang suara perempuan—ia memperjuangkannya di ruang politik. Dan tahun 1921, perjuangannya membuat perempuan Minahasa punya hak pilih dalam pemilihan anggota dewan lokal.

Jauh sebelum Indonesia punya wakil perempuan di parlemen. Jauh sebelum perempuan Indonesia punya hak suara di Pemilu.

Kita tidak tahu apakah Kartini pernah mendengar nama Maria. Tak ada surat, tak ada arsip yang menyambungkan keduanya. Mungkin tidak. Mungkin mereka hidup seperti dua cahaya yang menyala di ujung berbeda dari tanah yang sama, tapi tak sempat saling bersitatap.

Tapi bukan berarti mereka tak bersaudara.

Kartini dan Maria dipersatukan oleh sesuatu yang lebih dalam dari waktu dan ruang. Mereka dipersatukan oleh keresahan yang sama: melihat perempuan hidup hanya sebagai pelengkap, tak diberi ruang untuk tumbuh. Mereka sama-sama perempuan muda yang melawan kejumudan, dengan cara mereka sendiri. Kartini dengan pena. Maria dengan tindakan.

Yang satu bersinar terang karena ditulis dan diterbitkan oleh pejabat kolonial bernama . Yang satu tak banyak disebut, tak banyak dicetak, tapi hidup dalam ingatan perempuan-perempuan Minahasa yang ia sentuh.

Maka pertanyaan itu muncul kembali: mengapa hanya satu?

Mengapa Kartini jadi lagu, jadi hari nasional, sementara Maria hanya jadi nama jalan kecil—jika pun ada?

Barangkali, karena kita terlalu sering membiarkan sejarah ditulis dari pusat. Dari Jawa. Dari nama-nama besar. Kita lupa bahwa sejarah yang utuh adalah sejarah yang memberi tempat bagi mereka yang di pinggiran. Kita lupa bahwa perubahan besar tidak selalu lahir dari istana atau surat yang indah. Kadang ia lahir dari perempuan biasa, yang memilih untuk bangkit dan memulai sesuatu—meski tak ada sorotan, meski tak ada kamera.

Dan Maria adalah satu dari mereka.

Saya membayangkan Maria membaca surat-surat Kartini. Ia mungkin akan tersenyum. Ia mungkin akan berkata, “Kita memimpikan hal yang sama, meski kita tak pernah bertemu.” Lalu ia akan kembali ke dapur, ke meja tulisnya, ke rapat-rapat kecil bersama perempuan desa, menyusun langkah berikutnya.

Ia tahu bahwa mimpi itu butuh lebih dari kata-kata. Ia tahu bahwa setelah “habis gelap”, kita perlu tangan-tangan yang menyalakan terang.

Maria adalah tangan itu.

Hari ini, kita masih menyanyikan “Ibu Kita Kartini”. Dan kita patut melakukannya. Tapi bisakah kita juga diam sejenak, memberi ruang untuk nama lain? Untuk wajah-wajah lain yang tak tertulis dalam buku pelajaran, tapi hidup dalam sejarah nyata bangsa ini?

Ibu kita, sesungguhnya, bukan hanya satu.

Ia bisa bernama Maria. Atau . Atau . Atau perempuan-perempuan tanpa nama, yang menyalakan obor kecil di rumah, di kebun, di jalanan, di ruang kelas sederhana.

Sejarah yang adil adalah sejarah yang mengingat semuanya. Yang memberi ruang bagi mereka yang tak bersuara, bukan karena tak penting, tapi karena terlalu lama dibungkam oleh ingatan yang dipusatkan.

Maka, di antara gema perayaan Hari Kartini, izinkan saya menyebut nama Maria Walanda Maramis. Ia bukan hanya perempuan Minahasa. Ia adalah bagian dari jiwa bangsa ini.

Dan mungkin, suatu hari nanti, lagu untuknya juga akan dinyanyikan. Bukan untuk membandingkan, bukan untuk menggantikan, tapi untuk melengkapi.

Karena Indonesia selalu dibangun dari banyak tangan. Dan salah satunya, adalah tangan Maria. ***