Oleh: Ibnu Mundzir*
Kalaulah ditanya, apa yang paling menandakan beradabnya suatu kota? Maka jawabnya akan sangat beragam, tergantung perspektif kemampuan dan kecendrungan serta latar belakang individu. Namun kesemuanya akan meruncing pada kesepakatan yaitu keberadaban suatu kota ditunjukan dari kemampuan kota tersebut memenuhi rasa keamanan dan kenyamanan serta pengedepanan estetika kota untuk dapat dirasakan layanannya oleh sebagian besar masyarakat penghuni kota tersebut.
Dari aspek kota, saat ini, hampir seluruh kota di Indonesia telah dibanjiri oleh paparan iklan luar ruang yang nyaris memenuhi seluruh space ruang strategis yang ada di kota tersebut. Tak salah bila kita menyebutnya sebagai sampah visual. Dari perspektif masa lalu, hal ini mungkin belum menjadi masalah, namun saat ini serbuan iklan luar ruang tersebut sudah mulai menjenuhkan ruang yang ada, keberadaannya telah membajak ruang terbuka milik masyarakat, entahlah untuk masa yang akan datang, kayaknya pengaturan untuk fenomena tersebut sudah seharusnya diantisipasi sedari awal, agar keberadaannya tidak malah menjadikan kota sebagai ajang vandalisme brutal yang disetting oleh tangan besi pasar industri periklanan.
Seorang pemerhati kota, bernama Spiro Kostof (1991), dalam bukunya City Shaped: Urban Pattern and Meanings Trought History, mengemukakan pentingnya untuk mengatur segala ornamen kota termaksud iklan luar ruang (agar tak menjadi sampah visual), sebab menurutnya bahwa keberadaan kota adalah tujuan dan kenangan terakhir dari perjuangan dan kemuliaan kita, sebab kota sesungguhnya adalah kebanggaan masa lalu untuk dipamerkan serta merupakan bentuk harapan masa depan untuk dicapai.
Bentuk wajah kota akan selalu senantiasa berubah dan bentuk akhirnya akan mencerminkan karakter budaya, politik, sosial ekonomi yang dianut oleh masyarakatnya. Hal inilah yang mendasari keprihatian kita semua bahwa jika keberadaan iklan luar ruang yang ada tidak diatur seacara baik, maka kesan sebagai kota yang prokapitalis untuk Kota Palu akan tergambar dari begitu banyaknya baliho raksasa di setiap jalan utama dan sudut ruang publik di Kota Palu.
Pengaturan Ruang yang Baik
Bahwa keberadaan iklan luar ruang ada manfaatnya, hal itu tidak ada yang memungkirinya, namun jika keberadaanya telah diletakan tanpa aturan atau sesuai selera para investor periklanan, maka hanya akan menjadi limbah visual kota. Sehingga perlu diatur bahwa sebaiknya iklan luar ruang tidak diletakan secara serampangan di tempat-tempat seperti taman, rambu lalu lintas, median jalan, trotoar rumah ibadah dan sarana pendidikan.
Kesadaran bahwa semakin minim sampah visual ditebarkan di ruang publik, maka kota itu semakin berbudaya, apalagi jika mencermati kondisi sekitar kita bahwa jika akan dilaksanakan perhelatan pemilihan umum, maka keberadaan iklan politik di ruang publik sudah cenderung menjadi teroris visual, padahal itulah yang menjadi sebab penyakit di masyarakat kita, yang menggerogoti kesadaran imaginasinya.
Karya kreatif yang dibuat secara susah payah oleh kawan dari disain grafis, ketika telah selesai dibuat, tapi karena salah dalam peletakannya maka cenderung hanya akan menjadi sampah visual. Sesunguhnya para pengusaha jasa advertising yang ada, harus diarahkan untuk taat dimana tempat mereka bisa meletakan baliho yang akan dibangun, dan itu harus diarahkan oleh pemerintah, sebagai pihak yang memiliki otoritas pengaturan ornamen kota.
Melindungi image kota adalah tanggung jawab semua pihak, jangan sampai terjadi image masyarakat di komudifikasi untuk di jual dengan cara yang murah, masyarakat terus diterpa oleh iklan kemoderenan dengan seolah meninggalkan ciri khas kedaerahanannya, sehingga tanpa sadar menjadi orang asing di negerinya sendiri.
Sudah saatnya semua pihak peduli untuk masalah iklan luar ruang ini, baik legislatif maupun eksekutif, keberadaan rontek dan baliho faktanya telah menyerang masuk sampai perkantoran, kampus pendidikan dan ruang publik lainnya, sehinga seolah tanpa henti meneror imaginasi masyarakat.
Kita berkeyakinan bahwa tidak bisa ditolerir atas nama ekonomi bergerak semuanya dihalalkan, pohon yang harusnya hidup dengan baik, juga dirambah digunakan dengan menancap rontek dan baliho iklan produk. Bayangkan saja, di Taman Vatulemo, ada satu pohon terdapat sekitar 15-20 paku yang tertanam dan tidak bisa dicabut.
Sesunguhnya, saya atau juga Anda bukan kontra pada keberadaan iklan luar ruang, sebab sadar bahwa di tempat itu pula banyak orang yang mencari nahkah hidupnya, tapi juga sadar bahwa keberadaannya pun harus ditata, melalui master plan iklan luar ruang, dan selanjutnya dapat diteruskan membuat Perda iklan luar ruang. Beberapa hari yang lalu kita baca di media sosial bahwa Kota Bandung akan mulai melakukan penabangan baliho iklan luar ruang yang dianggap melanggar aturan yang ada.
Sebab harus dipahami bahwa ruang publik bukan hanya milik para pelaku advertising saja namun juga adalah milik masyarakat. Cuma sayangnya masyarakat sangat permisif dan seolah membiarkan hal itu terjadi. Sehingga perlu suatu gerakan kepedulian bersama, bahwa ruang publik tidak boleh diprivatisasi.
Konsep partisipatori dan keikutsertaan masyarakat dalam pengaturan iklan ruang ruang, sesungguhnya membutuhkan kearifan semua pihak, hal ini untuk mewujudkan genius loci yang pada akhirnya akan mengarah pada ekspresi roh (spirit) dan citra (image) identitas (identity), menjadi lebih baik dan bermartabat.
Mengutip pernyataan Lewis Munford (1961) dalam City and History, bahwa siapa yang menguasai kota maka dia menguasai kekuasaan dan peradaban, tentu kita semua tidak menginginkan Kota Palu yang kita cintai ini, dikuasai dan banjiri oleh terpaan arus besar kapitalis pasar secara massif dan banal, wallahu alam. ***
*Birokrat Muda yang bekerja di lingkungan Pemerintah Kota Palu
Catatan: Advertising; Periklanan adalah praktik dan teknik yang digunakan untuk menarik perhatian pada suatu produk atau layanan, Genius loci merupakan kecerdasan lokal yang dibangun manusia berdasarkan pengalaman emosionalnya terhadap ruang fisik di lingkungannya, rontek adalah spanduk berukuran mini sekitar 50 senti kali 100 senti yang dipasang di pohon dan tiang-tiang di pinggir jalan, dan banal bermakna kasar (tidak elok); biasa sekali.
Discussion about this post