Di tengah debat makna kata mudik dan pulang kampung, saya tiba-tiba mengingat pengalaman saat SMA. Dulu, kami yang bersekolah di luar daerah akan selalu menyempatkan diri berpuasa pekan pertama di kampung. Setelah itu kembali lagi ke sekolah. Nantinya sepekan sebelum lebaran waktunya libur. Waktunya untuk pulang kampung. Merasakan lebaran dengan ketupat, kalopa, burasa, uta dadah, mandura dan lalampa.
Saat itu, saya bersekolah di Sekolah Pertanian Pembangunan. Biasa juga disebut Sekolah Pertanian Menengah Atas. Sekolah milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah itu letaknya di Sidera, Kecamatan Biromaru, Kabupaten Sigi. Jaraknya dari Parigi, kampung halaman saya sekitar 82 kilometer. Dari titik 0 Kilometer Palu, Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah jaraknya 14 kilometer.
Satu tempo, saat kelas 3, saya memilih tak pulang kampung. Saat awal puasa saja saya pulang. Saya memilih mengikuti kawan saya ke Mertajaya, di Pasangkayu, Sulawesi Barat. Kami berlebaran di kampungnya. Dari Palu jaraknya tidak kurang 190 kilometer. Tempo itu belum ada telepon genggam. Tapi tak terbersit pula cara lain memberitahu orang tua bahwa saya tak pulang.
Tapi yakin saja itu orang tua saya pasti gelisah, mengapa anak lelaki sulungnya tak berlebaran di kampung. Tahunya setelah saya liburan semesteran. Jadi ingat ketika itu saya dihukum dengan harus membersihkan gulma, rumput pengganggu di bawah tanaman kakao.
Jangan bayangkan bahwa ini adalah kebun datar. Ini kebun kakao di antara lembah dan gunung. Letaknya di atas Dusun Tanah Merah. Saya kira jaraknya sekitar 10 kilometer atau lebih dari Dolago, Kecamatan Parigi Selatan, Kabupaten Parigi Moutong. Saat itu kita ke sana dengan gerobak sapi atau berjalan kaki.
Sungguh, saya senang dihukum dengan cara itu. Apalagi ketika itu sedang musim durian. Ada dua pokok durian hutan yang sedang berbuah. Tumbuh tepat di tengah kebun. Jadilah itu seperti piknik buat saya. Soal makanan tak perlu bingung. Ada beras dari kampung dengan sayur kangkung yang tumbuh liar di dekat-dekat sumber air.
Itu bila pulang di musim liburan. Bila Ramadhan, suasana akan lebih riang gembira lagi. Makanan melimpah saat berbuka. Ikan Palumara, sayur Nangka Santan atau Bayam Santan menjadi menu favorit. Kue-kampung mulai dari Tetu, Onde-onde Jawa sampai Katirisala selalu hadir di meja makan.
Masa-masa itu sulit terulang lagi kini. Pun ketika bisa diulang tak bisa sama lagi suasananya. Hanya saja, ritual pulang kampung itu tetaplah sesuatu yang istimewa. Apalagi menjelang lebaran Idul Fitri.
Sayangnya, sekarang kita tengah bermuka-muka dengan Korona. Patuhi anjuran pemerintah. #janganmudik, #pulangkampungsaja, lalu #dirumahsaja dan #jagajarak. Jangan lupa pula #pakaimasker. ***
Keterangan:
Kalopa: Klepet dari Beras Ketan, dibungkus janur lalu dikukus atau daun palma.
Burasa: Buras, penganan yang dibuat dari beras yang dibungkus daun pisang lalu direbus.
Uta dadah: Opor ayam khas Sulawesi Tengah.
Lalampa: Lemper panggang.
Mandura: Penganan dari beras ketan hitam dan putih dibentuk bulat lalu disusun dan dibungkus dalam daun pisang lalu dikukus selama sehari atau setengah malam.
Tetu: Kue perahu berwadah daun pandan.
Onde-onde Jawa: Onde-onde dari Bahan Singkong Parut di tengahnya diberi unti gula Jawa.
Katirisala: Lapis gula merah dan ketan.