Bagian 2: “Langkah dalam Gelap dan Uang Berdarah”
Briptu Arsyad berdiri diam. Dua lelaki itu menghalangi pintu gudang. Napasnya pelan, tangan tetap menggenggam senter kecil di balik saku rompinya. Satu di antara mereka mengenakan baju loreng nelayan, tapi sorot matanya bukan milik orang yang hidup dari laut. Yang satunya bertato ular melingkar dari leher ke tangan kanan, memegang parang seperti memegang pena: ringan, biasa.
“Saya hanya patroli biasa,” kata Arsyad pelan.
“Biasa bukan berarti boleh lihat yang tak semestinya,” jawab si bertato. “Di sini, bukan kota. Tak semua yang berseragam boleh pulang utuh.”
Arsyad mengedarkan pandangan, mencari celah di antara tumpukan karung garam dan peti ikan kosong. Gudang sempit, satu-satunya pintu hanya yang mereka jaga. Tapi ia ingat: tadi ia menuruni tangga kayu setapak dari bagian belakang yang hampir roboh.
Saat keduanya melangkah ke arahnya, Arsyad berpura-pura mundur. Senter disorotkan ke wajah mereka sejenak—cukup untuk menyilaukan. Dalam detik yang singkat itu, ia membalikkan tubuh, menendang tumpukan ember es hingga menghalangi jalan, dan melompat keluar jendela reyot ke belakang gudang.
Kayu reyot patah di bawah pijakan, tapi ia berhasil mendarat, berguling di tanah berpasir. Di belakang, terdengar teriakan dan langkah terburu-buru. Arsyad lari melintasi ladang ilalang dan langsung menembus jalan kecil menuju motor dinasnya yang disembunyikan di balik semak.
Mesin dinyalakan. Gas ditarik sekuatnya. Ia tahu: malam ini, seseorang akan mencoba membungkamnya.
Sementara itu, Komisaris Lintang sedang duduk bersama seorang pria separuh baya di warung kopi yang hanya diterangi lampu minyak. Namanya Pak Salim, mantan buruh pelabuhan, sekarang penjaga malam yang tak pernah tidur. Mulutnya berbau tembakau dan kecurigaan.
“Komisaris, saya lihat kapal itu bukan kapal nelayan,” katanya sambil mengaduk kopi. “Lambungnya dalam, bukan untuk bubu atau jaring. Mesin diesel-nya lebih besar dari biasa. Dan mereka sandar tak lebih dari tiga jam.”
“Tahu siapa yang menjemput?”
“Anak buahnya Tun Latif. Yang kecil itu—Samin. Tukang bawa motor roda tiga. Dia yang biasa angkut garam.”
Lintang mencatat cepat.
“Dan satu lagi…”
Pak Salim mendekat, berbisik, “Malam itu, saya lihat mobil dengan stiker polisi di kaca belakangnya parkir di dekat gudang.”
Lintang menahan napas.
“Nomor belakangnya 45. Itu mobilnya Iptu Winarno, bukan?”
Pak Salim mengangguk. “Saya cuma penjaga, Komandan. Tapi saya lihat banyak hal. Banyak uang berganti tangan di malam hari. Tapi malam itu berbeda. Buru-buru. Panik. Seperti ada yang datang mendadak.”
Lintang segera menelepon Arsyad. Tapi yang menjawab bukan suara Arsyad, melainkan napas tergesa.
“Pak… ini Arsyad. Saya diserang… di gudang Latif…”
“Sembunyi. Di mana kamu sekarang?”
“Di dekat bukit cemara. Saya kirim lokasi.”
Lintang segera naik motor. Lima belas menit kemudian ia sudah di bukit kecil tempat Arsyad bersembunyi, wajah penuh goresan, lengan berdarah. Tapi lebih penting: di saku rompinya terselip segenggam kecil serbuk kristal putih yang belum meleleh, dan foto dua lelaki bertato dari kamera mini.
“Salah satu orang Malaysia,” kata Arsyad. “Yang satu… saya yakin orang sini. Saya lihat dia di pos jaga waktu apel minggu lalu.”
Lintang diam. Ia tahu. Lingkaran ini lebih dalam dari yang ia kira.
Malam itu, Lintang mendatangi rumah Tun Latif. Tak dengan surat penggeledahan. Tapi dengan senyum yang tenang dan nada suara datar.
“Bapak, saya cuma ingin ngobrol. Soal kapal semalam. Barang yang dibawa. Dan kenapa ada polisi parkir di dekat gudang bapak.”
Latif menatap tajam. “Saya cuma jual garam, Pak Polisi.”
“Garam dari Malaysia?”
“Ya. Sudah biasa. Bukan barang terlarang.”
“Peti es itu juga garam?”
Latif mengerutkan dahi.
Lintang meletakkan serbuk kecil di atas meja. “Ini… bukan dari laut. Ini dari laboratorium. Pabrik narkotika. Dan ditemukan di gudang Anda.”
Latif masih berusaha tenang. Tapi tangannya mengepal.
“Saya tidak tahu siapa taruh itu di sana. Gudang saya terbuka. Banyak nelayan lalu-lalang.”
Lintang berdiri. “Saya akan kembali, bapak. Dengan surat resmi. Dan dengan anjing pelacak. Malam ini saya hanya memberi kesempatan. Untuk memilih: bicara atau jadi target utama.”
Ia meninggalkan rumah itu tanpa menoleh ke belakang. Tapi ia tahu, malam ini, Tun Latif tak akan tidur.
Sementara itu, di sebuah hotel kecil di Kota Melaka, Malaysia, dua lelaki duduk di meja bundar, menatap peta perairan. Satu dari mereka berkepala botak, berbicara dalam Bahasa Mandarin bercampur Melayu. Yang satu lagi, mengenakan jaket bergaya detektif polisi.
“Barang ketiga gagal masuk,” kata si botak. “Karena polisi baru itu. Lintang.”
“Biar saya yang urus,” jawab lelaki berseragam itu. “Dia tidak tahu siapa di belakang saya. Saya punya cukup bukti untuk menjatuhkannya. Atau cukup uang untuk membungkam rekan-rekannya.”
“Jangan gagal lagi. Kami tak main-main. Kami tidak suka suara gaduh.”
Lelaki berseragam itu mengangguk. Matanya gelap.