Bagian 3: “Bayang-bayang di Dermaga Gelap”
Langit Pantai Timur masih murung saat pagi menjelang. Hujan gerimis turun seperti bisikan dari langit. Di kantor kecil Satuan Narkoba, Komisaris Lintang Raras berdiri memandangi papan investigasi yang mulai dipenuhi benang merah, foto wajah, jalur laut, dan petunjuk samar-samar.
“IPTU Winarno, Tun Latif, kapal dari Malaysia… semua ini terhubung, tapi belum ada simpul,” gumamnya.
Briptu Arsyad masuk dengan wajah lesu dan lengan dibalut perban. Ia belum pulih sepenuhnya dari kejadian di gudang malam itu. Namun semangatnya menyala.
“Ada satu nama lagi, Pak,” katanya sambil menyodorkan foto dari berkas lama. “Nama orang bertato yang saya lihat di gudang. Dulu dia buruh TKI ilegal di Nunukan. Namanya Rahim Singa. Terakhir diketahui bolak-balik Malaysia – Pantai Timur pakai kapal nelayan pribadi.”
Lintang mengamati foto itu. Wajah kasar, mata sipit, dan leher penuh tato naga.
“Singa…” desis Lintang. “Itu kunci laut mereka.”
Di pesisir selatan Pantai Timur, tepatnya di kampung nelayan Labuhan, Lintang menemui seorang pemuda tangguh bernama Randi. Anak muda itu yatim sejak kecil, hidup dari laut, dan pernah jadi informan rahasia dalam kasus perampokan antar-kampung. Ia juga dikenal sebagai salah satu dari sedikit nelayan yang paham betul arus laut dari perairan Indonesia menuju Malaysia melintas Selat Malaka.
“Bang Lintang, kalau mereka lewat jalur biasa, pasti ketahuan. Tapi… ada satu celah sempit di antara Pulau Pangkor dan Pulau Berha;a. Tak banyak yang tahu. Saya sering lewati kalau mau elak patroli laut Malaysia.”
Lintang menatapnya serius. “Maukah kau bantu kami, Ran?”
Randi mengangguk tanpa ragu. “Kalau ini soal narkoba… saya ikut. Laut kami sudah cukup kotor karena kapal asing. Jangan tambah lagi dengan sabu-sabu.”
Lintang tersenyum. “Kau akan jadi ‘bayangan’. Kita awasi jalur mereka.”
Sementara itu, di dermaga tua yang sudah tak dipakai sejak awal tahun, dua orang berseragam polisi duduk di dalam mobil tanpa plat dinas. Salah satu dari mereka, Bripka Gunawan, orang kepercayaan IPTU Winarno, sedang menerima koper besar dari Rahim Singa.
“Besok malam, barang masuk lewat titik B. Perahu Randi akan dijadikan umpan. Kalian tahan dia. Biar mata polisi sibuk dengan bocah itu.”
Gunawan tertawa pendek. “Umpan hidup. Cerdas juga.”
Rahim menyeringai, memperlihatkan gigi kuningnya. “Dan kalau Komisaris Lintang ikut campur, aku sendiri yang urus dia.”
Malam pun tiba. Langit begitu jernih, bintang menggantung seperti lampu tua yang nyaris padam. Di atas perahu motor kecil, Lintang duduk di samping Randi. Mereka mengarungi lautan gelap tanpa lampu, hanya dibantu cahaya bulan dan radar tua milik kapal patroli yang diam-diam mengamati dari jauh.
Lintang memeriksa senjatanya. Sebuah pistol standar Polisi, tapi dengan peluru karet dan tajam. “Kita tak tahu siapa musuh kita. Bisa dari laut, bisa dari darat. Yang pasti… mereka bukan sekadar penyelundup.”
“Kalau mereka serang kita?” tanya Randi, pelan.
“Kita lawan. Tapi jangan menembak kecuali terpaksa.”
Beberapa mil dari bibir pantai, radar menunjukkan titik bergerak mendekat.
“Itu mereka,” ujar Randi. “Kapal Rahim. Lihat lampu hijaunya… kedip tiga kali. Kode jalur gelap.”
Lintang mengaktifkan radio ke kapal patroli. “Tim Alfa, target mendekat. Siapkan penyergapan. Jangan bergerak dulu. Biarkan mereka sandar. Kita ikuti dari belakang.”
Namun sinyal radio tiba-tiba putus.
“Pak…” Randi berbisik. “Itu kapal… bukan satu. Dua kapal! Satu di depan, satu lagi di belakang kita!”
Lintang segera menoleh. Gelap. Tapi benar. Sebuah bayangan besar mendekat dari arah berlawanan. Tiba-tiba, sorot lampu menyala, dan tembakan dilepaskan ke udara.
“Diam! Kalian ditahan atas nama hukum laut!”
Lintang sadar—itu bukan tim patroli. Itu adalah penyamar.
Ia merunduk, menarik Randi ke bawah kemudi. “Kita terjebak. Mereka tahu kita di sini.”
“Tapi siapa yang bocorkan?”
Lintang menggertakkan gigi. “Seseorang di kantor. Pasti Gunawan.”
Perahu mereka dihantam dari sisi. Rahim Singa meloncat ke kapal mereka dengan parang terhunus. “Kau pikir bisa main mata, Lintang?”
Namun sebelum Rahim menyerang, suara tembakan dari kejauhan terdengar. Cahaya lampu dari kapal patroli asli menerangi laut.
“Polisi! Turunkan senjata! Kalian dikepung!”
Lintang tersenyum. “Kalian terlalu percaya pada orang dalam.”
Dalam hitungan detik, kapal Rahim dihujani tembakan peringatan. Rahim mencoba melompat ke laut, tapi Briptu Arsyad yang ikut di kapal patroli menembak kakinya dengan peluru karet. Ia tumbang di geladak.
Sementara itu, Bripka Gunawan yang menyamar sebagai polisi laut mencoba kabur dengan speedboat kecil. Namun, di cerukan Pulau Pangkor, ia sudah disambut kapal TNI Angkatan Laut yang sejak awal dilibatkan Lintang secara diam-diam.
Dua jam kemudian, dermaga kecil di Labuhan penuh sorotan lampu. Tujuh tersangka diamankan, termasuk Rahim Singa dan dua orang Malaysia. Tiga peti es berisi sabu disita. Nilai total barang: 12 miliar rupiah.
IPTU Winarno sendiri belum terlihat. Ia hilang sejak siang.
Namun di meja kerja Lintang, sebuah pesan tanpa nama dikirim melalui nomor tak dikenal:
“Waktu belum habis. Permainan belum selesai. Aku bukan pion, Lintang. Aku raja. Dan raja selalu punya pelarian.”