Bagian 4: “Perangkap Terakhir dan Cermin Retak”

Pagi itu, Pantai Timur terasa lebih sunyi dari biasanya. Seolah kota kecil ini menahan napas, menanti badai berikutnya.

Di ruang interogasi, Rahim Singa duduk membisu. Tangan diborgol, kaki diperban, dan tatapan mata kosong. Komisaris Lintang berdiri di seberangnya, meletakkan sebuah foto: IPTU Winarno bersama Rahim di sebuah bar di Melaka. Senyum mereka tampak santai, berbaur dengan asap rokok dan cahaya remang.

“Kau tahu ke mana Winarno pergi.”

Rahim tidak menjawab.

“Dia akan lari ke Tawau. Dia akan pilih jalur aman, bukan ke Melaka yang lebih ketat. Tapi dia bukan hanya buronan. Dia pengkhianat. Jika dia tertangkap, seluruh jaringan kalian runtuh. Dan kau akan ditinggalkan.”

Rahim mengangkat kepala. Matanya menatap Lintang, tajam, tapi tak lagi congkak.

“Dia bukan hanya lari. Dia bawa dokumen. Daftar nama. Semua jalur. Semua rekening. Jika dia lolos, kalian semua jadi tumbal.”

Lintang menyisipkan amplop ke meja. Di dalamnya, foto-foto lokasi aman milik Winarno di Tawau. “Kami tahu dia ke arah itu. Tapi kami butuh pintu masuk. Kau tahu siapa penghubungnya. Beri kami nama. Atau kau akan ditinggal tenggelam.”

Rahim tertawa kecil. “Kau pandai, Komisaris. Tapi dunia ini bukan hanya hitam dan putih. Kadang, bajingan lebih setia dari aparat.”

BACA INI JUGA:  Siapa Bocah Perempuan yang Terjebak Reruntuhan Gempabumi di Mamuju?

Lintang tersenyum tipis. “Dan kadang, bajingan juga bisa merasa takut.”

Rahim menunduk. “Namanya… Ong Teck Hwa. Pedagang elektronik. Tapi belakang toko itu… tempat cuci uang dan tempat Winarno akan menyembunyikan diri.”

Lintang langsung berkoordinasi dengan Interpol dan Konsulat Indonesia di Tawau. Ia mengajukan operasi gabungan lintas negara. Di saat bersamaan, ia memerintahkan Briptu Arsyad dan dua anggota khusus untuk menyamar sebagai pengantar barang laut, menyusup lewat jalur sempit dengan identitas palsu.

Namun sebelum operasi berjalan, sesuatu mengguncang markas.

Pak Salim, penjaga pelabuhan malam yang jadi informan, ditemukan tewas di warungnya. Leher digorok. Tidak ada saksi. Tidak ada jejak.

Berita itu menghantam Lintang keras. Ia marah, tapi bukan dengan emosi, melainkan dengan ketenangan yang sangat dingin.

“Winarno kirim pesan. Dia masih main catur dengan kita,” katanya sambil menatap papan petanya.

Sore itu, Randi datang dengan wajah cemas. Ia memegang catatan kecil, tulisan tangan Pak Salim yang ditemukan di dalam kaleng kopi tua.

“Jika aku mati, carilah buku catatan kuning di belakang rak ikan asin. Di situ semua pembeli malam dicatat. Termasuk satu yang datang pakai mobil plat merah, tapi mukanya lebih busuk dari garam basi.”

Buku itu ditemukan dengan cepat. Di dalamnya, lusinan catatan transaksi malam hari. Tapi satu nama mencolok:

BACA INI JUGA:  Divonis 10 Tahun Penjara, SYL: Terima Kasih Pak Jokowi, Surya Paloh

“Gunawan bawa koper dari Tawau. Diterima oleh ‘Pak Kapol’.”

Lintang membacanya berulang kali.

“Kapol… siapa itu?” tanya Arsyad.

Lintang menunduk.

“Bukan Kapolres. Bukan Kapolsek. Tapi kode. Di dunia gelap, ‘Kapol’ adalah singkatan dari Kapten Polisi, julukan lama untuk penyambung jaringan aparat.”

Ia membuka catatan tahun lalu: seseorang bernama Gunawan pernah bertugas di Bengkul, lalu tiba-tiba mutasi ke Pantai Timur. Tanpa sebab. Dan sejak itu, beberapa kasus narkoba selalu mentok tanpa pelaku.

“Semua pasangannya sudah ditangkap. Hanya dia yang lolos.”

Operasi penyergapan di Tawau berjalan pada malam keempat.

Arsyad, menyamar sebagai kurir laut, berhasil diterima oleh Ong Teck Hwa di toko elektronik kecilnya. Di belakang rak TV layar datar, ternyata ada pintu baja menuju ruangan bawah tanah. Di sanalah, menurut Rahim, Winarno menyimpan koper berisi uang dan dokumen jaringan.

Saat Winarno keluar dari kamar mandi kecil, ia tak menyangka akan bertemu sosok berjubah hujan gelap yang menodongkan pistol ke arahnya.

“Komisaris…” gumamnya.

Lintang berdiri dengan tubuh basah kuyup, wajah tanpa ekspresi.

BACA INI JUGA:  Puasa 2 Hari Sebelum Idul Adha, Begini Penjelasan dan Niatnya

“Akhir permainan, Pak Kapol.”

Winarno tertawa kecil. “Kupikir kau akan jadi bagian dari kami. Kau pintar. Tapi terlalu jujur. Dunia seperti ini bukan untuk orang seperti kau.”

Lintang mendekat. “Karena orang-orang sepertimu, anak-anak di desa jadi budak sabu. Karena kau, nelayan tak lagi percaya polisi. Dan karena kau, Pak Salim mati.”

Winarno mencoba bergerak. Tapi Arsyad dan dua agen Interpol sudah menodongkan senjata dari belakang.

“Kau tak akan bicara banyak di pengadilan,” kata Lintang. “Tapi cukup untuk membuka rantai paling atas.”

Winarno hanya diam. Tapi sebelum dibawa keluar, ia berbisik: “Di antara anak buahmu, ada satu yang masih bersamaku. Kau pikir sudah menang. Tapi perangmu belum selesai.”

Lintang kembali ke Pantai Barat esok harinya. Ia disambut dengan kabar baru:

Bripka Gunawan tewas dalam kecelakaan motor. Terjun ke jurang. Diduga bunuh diri.

Namun Lintang tak percaya. Ia yakin, Gunawan dibungkam. Oleh siapa? Mungkin oleh sisa jaringan. Mungkin bahkan oleh orang yang belum mereka duga.

Sore hari di pantai, Lintang duduk sendirian, memandang laut.

Randi datang membawa dua cangkir kopi.

“Kita menang, Bang?” tanyanya.

Lintang tersenyum getir.

“Kita menang satu ronde. Tapi perang… belum usai.”