Bagian 5: “Hukum Ombak dan Nyala Terakhir”
Enam minggu telah berlalu sejak penangkapan IPTU Winarno di Tawau. Kasus itu mengguncang institusi. Kepolisian menggelar sidang etik tertutup untuk 14 anggota polisi yang diduga terlibat jaringan narkotika lintas laut. Empat di antaranya berasal dari Pantai Barat.
Komisaris Lintang Raras duduk di kursi pengunjung sidang, mendengarkan semua kesaksian dengan rahang mengeras. Ia tahu, sistem tak akan berubah hanya karena satu penyergapan. Tapi satu retakan di tembok bisa jadi awal runtuhnya bangunan yang korup.
Di dalam ruang sidang itu, Winarno menolak bicara. Ia hanya menyampaikan satu kalimat, dengan suara dingin dan mata menatap kosong:
“Saya tak menyesal. Di negeri ini, kejujuran cuma bikin lapar.”
Kampung Banyuputih berubah. Gudang milik Tun Latif kini disegel. Beberapa warga yang dulu diam mulai bicara, menyebutkan nama-nama lain. Aji Latif sendiri masih menunggu proses hukum di Kota. Tapi gosip tersebar cepat: uang dan koneksi keluarga besarnya bisa saja menyelamatkannya.
Lintang kembali ke kampung itu, bukan sebagai penyidik, melainkan sebagai tamu.
Ia duduk di bale-bale bambu depan rumah Randi, menyeruput kopi pahit yang entah kenapa kini terasa lebih dalam.
“Apa yang membuatmu tetap tinggal di sini?” tanya Randi.
Lintang menatap lautan. “Di kota, orang sembunyi di balik kekuasaan. Di sini, orang sembunyi di balik ombak. Tapi laut jujur. Ia memuntahkan bangkai jika sudah busuk.”
Randi tertawa. “Tapi bau amisnya tetap ada, Bang.”
Lintang tersenyum. “Bau itu yang akan kuingat.”
Namun saat semuanya seolah kembali tenang, satu surat tak bertanda tiba di meja kerja Lintang.
Tanpa nama. Tanpa cap. Tanpa alamat pengirim.
Isinya hanya dua kalimat:
“Kau terlalu percaya pada anak-anak muda. Satu di antara mereka hanya menunggu waktu untuk menusukmu dari belakang. Kau memang detektif. Tapi lupa satu hal: murid selalu lebih cepat belajar jika punya guru yang buruk.”
Di bawah surat itu, terselip foto kecil: Briptu Arsyad, duduk bersama Gunawan, mengenakan jaket yang sama. Wajahnya tersenyum. Tangannya memegang map yang mirip dengan map penyitaan awal.
Lintang terdiam. Dadanya sesak bukan karena terkejut, tapi karena kecewa.
Tiga hari kemudian, Lintang memanggil Arsyad ke ruangannya. Ia tak langsung menunjukkan surat itu. Ia hanya berkata:
“Kalau kau mau cuti, ajukan hari ini. Sebelum semuanya telanjur.”
Arsyad tampak bingung. “Kenapa begitu, Pak?”
Lintang menatapnya tajam. “Karena laut tak akan selalu menyembunyikan bangkai. Dan aku tahu kau menyembunyikan sesuatu.”
Diam. Sunyi. Suara kipas tua berderit.
Arsyad akhirnya menjawab pelan, “Saya… saya memang kenal Gunawan. Tapi saya tak tahu dia bagian dari jaringan. Dia kakak angkat saya saat masih di asrama. Saya kirimkan laporan-laporan ke dia, saya kira untuk koordinasi di atas.”
Lintang mencondongkan tubuh. “Kau tak bodoh, Arsyad. Kau tahu betul apa yang kau lakukan.”
Arsyad menunduk. “Saya ingin naik cepat. Dan dia bilang, cukup kirim satu atau dua info. Bukan yang besar. Cuma jadwal patroli. Cuma nama saksi. Saya tak ambil uang…”
Lintang menghela napas panjang. “Bukan uang yang selalu merusak. Kadang, ambisi.”
Setelah jeda, ia berkata pelan:
“Kau akan saya rekomendasikan untuk diberhentikan tidak hormat. Tapi saya juga akan minta agar kau tidak dipenjara. Karena kau… setidaknya menebus di akhir.”
Arsyad meneteskan air mata. Tak berkata apa-apa. Hanya berdiri dan menghormat, lalu pergi tanpa menoleh lagi.
Dua bulan kemudian, persidangan IPTU Winarno digelar terbuka. Ruang sidang penuh, pers dan keluarga hadir. Winarno dijatuhi hukuman 17 tahun penjara dan pemecatan dari dinas kepolisian tentunya. Tapi ia tak pernah menyebut satu nama pun dari jaringan yang lebih atas.
Sebagian percaya, ia melindungi seseorang yang lebih besar. Sebagian lagi percaya, ia hanya “tukang palang pintu”—penjaga jalur, bukan dalang.
Lintang menatapnya dari kursi belakang. Tak ada kebencian di wajahnya. Hanya keteguhan.
Beberapa bulan berlalu.
Di pesisir Pantai Timu, dermaga tua yang dulu menjadi sarang penyelundup kini telah dibongkar. Di tempatnya berdiri pos jaga baru—bukan milik polisi, tapi warga. Mereka menyebutnya Pos Ombak, tempat semua perahu diperiksa secara sukarela oleh para nelayan.
Randi kini menjadi salah satu koordinatornya. Ia tak berseragam. Tapi ia dihormati.
Suatu sore, Lintang datang membawa rokok kretek dan kopi hitam.
“Mereka bilang, laut itu buta. Tapi kau buat dia melihat lagi.”
Randi tertawa. “Aku cuma jaga ombak, Bang.”
Lintang duduk di sampingnya, menyalakan rokok.
“Kalau nanti kau jadi polisi, jangan lupa: bukan seragam yang menentukan siapa kau. Tapi siapa yang kau lindungi.”
Randi menatap langit. “Laut sudah bicara padaku. Ia cuma minta satu hal… jangan diam lagi.”
Komisaris Lintang Raras akhirnya ditarik lagi ke Jakarta. Dapat jabatan bagus.Tapi namanya tetap dikenang di kampung pesisir Pantai Timur, bukan sebagai polisi hebat, melainkan sebagai “Orang Laut yang Tak Mau Diam”.
Dan tentang surat misterius tanpa nama itu?
Lintang menyimpannya di laci paling bawah, dengan tulisan tangan kecil di sampulnya:
“Bau amis tak selalu dari ikan. Kadang dari orang yang kau percaya.” ***