“Jangan coba-coba buang ampas kelapa di belakang dapur kalau sudah sore. Dia mau datang nanti.” Begitu pesan tetua kami di Masigi, kampung kecil di Kota Parigi, Kabupaten Parigi Moutong saat masa kanak-kanak saya. Sekarang kampung itu sudah menjadi Kelurahan. Kisah ini dipakai menakuti kami saat masih anak-anak. Bila kami ribut, menangis atau tertawa berlebihan saat petang datang menjelang, maka itu cara ampuh mendiamkan kami. Siapa dia yang datang itu? Namanya Kalomba, Si Siluman Kambing.

Sekian lama kisah ini tersimpan di benak saya, sampai kemudian saya berniat menulisnya. Almarhum nenek saya, Ma'ani namanya, paling berhati-hati soal itu. Kesukaannya akan sayur bersantan dan juga nasi uduk, membuat ia saban hari harus memerah kelapa. Bila sudah sore, ia pasti menyimpan dulu ampas kelapanya untuk dibuang esok hari. Saya baru ingat menulis ini setelah membaca buku wartawan senior LR. Baskoro; Rumah di Atas Kahayan. Ia menulis soal Kambe, siluman berkepala kambing berbadan manusia. Setelah kuyang, hantu kepala manusia yang mencari mangsa malam hari, Kambe menduduki posisi kedua kisah mistik paling menakutkan.

, oleh kakek saya, Ismail Saribu dan tetua di kampung kelahiran saya itu, disebutkan berupa kambing berbulu lebat yang berjalan mundur. Ia akan datang saat malam memakan ampas kelapa yang dibuang di sembarang tempat pada sore hari. Ada pula Kalomba yang dijadikan peliharaan orang untuk memburu kewibawaan dan kesaktian. Namun, saya sendiri tak pernah menyaksikan ada atau tidaknya Kalomba, Si itu hingga dewasa.

Dulu, di belakang rumah kakek saya, di Sambote atau seberang sungai kecil Toraranga ada rumpun bambu kuning yang diyakini sebagai tempat tinggal Kalomba. Tapi saya yang kerap bermain di rumpun bambu itu tak pernah jua menemukannya. Oh iya, saya sangat menyukai bambu kuning karena rupa warnanya.

atau Pongko

Di Parigi, kisah Kalomba juga menduduki posisi kedua setelah Topeule atau Pongko. Adapun Topeule adalah hantu kepala manusia yang mencari mangsa malam hari. Ihwal kisahnya berasal dari manusia yang belajar ilmu gaib namun ia tak mampu. Maka jadilah ia sebagai Topeule. Bila mencari mangsa, badannya akan ditinggalkannya dan ia akan berterbangan hanya dengan kepala dan darah terburai. Mangsanya perempuan dan anak-anak. Kedatangannya diawali dengan bunyi Pokpok. Kata orang Parigi, bila suaranya besar, ia jauh. Bila suaranya kecil ia sudah dekat.

Dan soal Pokpok itu saya sendiri pernah mendengarkannya. Suatu waktu saat masih kanak-kanak di Masigi, dan kali lain saat menyusur gua di Bambaloka, Sulawesi Barat saat masih menjadi mahasiswa pecinta alam. Namun, karena tak pernah berjumpa secara fisik, saya juga tak yakin adanya hingga kini.

Soal orang yang belajar ilmu gaib, lalu menjadi Topeule, warga sekampung tahu adanya. Biasanya ada bisik-bisik, “itu orang yang bapongko.” Saat siang hari, ia seperti warga biasa. Tak ada tanda-tanda ia adalah hantu yang menakutkan itu. ini sangat popular.

Konon, ada cara menandai orang macam itu; Bila ada orang yang datang meminta garam pagi hari ke rumah Anda, sudah bisa dipastikan dia adalah Topeule. Supaya tidak diganggu, maka berikan saja apa yang dimintanya. Jadi jangan coba-coba meminta garam di Parigi saat pagi hari ya. Bisa-bisa Anda disangka Topeule.

Kisah-kisah mistis serupa ini, sesungguhnya tak cuma milik rakyat Indonesia, karena hal serupa bisa kita temui di jajaran Kepulauan Pasifik hingga Asia secara umum, dan khususnya Asia Tenggara. Namanya akan menyesuaikan dengan bahasa dan budaya setempat. Di Sulawesi Tengah, kita kebagian kisah Kalomba dan Topeule itu.

Menebar momok Kalomba dan Topeule sejatinya adalah cara mendiamkan anak-anak yang cengeng kala itu. Dulu, orang-orang tua kita punya beragam cara menenangkan anak-anak. Sekarang, mereka pasti bingung bagaimana menakuti anak-anak yang kecanduan main game online itu.