Ada kebiasaan sopir kendaraan penumpang umum jalur Palu – Parigi bila melintasi Uwentira, sekitar 22,4 kilometer dari Toboli, Parigi Moutong akan membunyikan klakson.

Konon, Uwentira adalah kota gaib para jin yang harus dihormati. Jadi bisa-bisa kualat kalau tak memberi kode. Mereka kuatir akan menabrak para jin yang bisa saja sedang berjalan melintas pula. Mitos itu bertahan hingga kini.

Para pencinta kisah-kisah mistis dan mitos macam ini bertahan dengan keyakinannya bahwa ada Kerajaan Jin di Uwentira. Lokasi yang sering disebut-sebut sebagai pintu masuk kerajaan jin ini terletak di jalur Trans Sulawesi, antara Palu dan Kabupaten Parigi Moutong.

Konon, Uwentira dihuni oleh makhluk halus yang membentuk peradaban sendiri. Mereka hidup berkelompok, memiliki sistem pemerintahan, bahkan pakaian kebesaran dan teknologi yang jauh lebih maju dari manusia. Ada saja orang yang mengaku pernah melihat kota bercahaya keemasan, jalan-jalan lebar yang bersih, dan bangunan menjulang yang tak dikenal di dunia manusia.

Tapi kesaksian-kesaksian itu datang dengan catatan aneh: pengunjung yang masuk ke “kota jin” itu tidak pernah bisa kembali secara normal. Ada yang hilang berhari-hari, lalu kembali dalam kondisi linglung. Ada pula yang tidak pernah kembali sama sekali, seolah ditelan oleh dunia yang tak kasat mata. Tentu, tak semua orang percaya.

Sebagian menyebut cerita ini hanya upaya membentuk folklore untuk menjaga wilayah yang mereka sakralkan. Lainnya menyebutnya sebagai dongeng pengantar tidur yang sukses bertahan lama dalam kebatinan masyarakat Kaili.

Serupa Tapi Tak Sama: Kisah Saranjana di Kalimantan

Uniknya, kisah macam ini tak hanya milik Sulawesi Tengah. Di Kalimantan Selatan, terutama di kalangan masyarakat Banjar, dikenal legenda serupa tentang Kota Gaib Saranjana. Kota ini konon terletak di wilayah Pegunungan Meratus, dan sama seperti Uwentira, dikisahkan sebagai negeri yang makmur, indah, dan tak bisa dimasuki oleh sembarang orang.

Warga Banjar percaya bahwa Seranjana dihuni oleh bangsa jin atau makhluk halus yang hidup damai tanpa campur tangan manusia. Kota ini punya sistem tata kota yang sempurna, transportasi canggih, bahkan pasar yang menjual barang-barang mewah yang tak pernah dilihat manusia biasa.

Menariknya, dalam beberapa kisah rakyat, orang yang “terlambat pulang” dari hutan Meratus kadang dikaitkan dengan “tersesat” ke Saranjana. Ketika kembali, mereka bicara dalam bahasa yang tak dikenal atau membawa benda asing yang tak dapat dijelaskan asal-usulnya.

Baik Uwentira maupun Saranjana bisa dibaca sebagai manifestasi dari kekayaan budaya lokal, yang memuat simbol-simbol alam bawah sadar masyarakatnya: kerinduan akan dunia yang lebih tertata, lebih adil, dan lebih indah dari kenyataan yang kita hadapi setiap hari.

Dalam sudut pandang antropologi, kerajaan-kerajaan jin ini juga bisa mencerminkan upaya manusia dalam menata yang tak terjelaskan—alam liar, kehilangan, atau kematian—ke dalam bentuk yang bisa “dikisahkan”.

Namun, bagi masyarakat lokal, kisah-kisah ini lebih dari sekadar alegori. Mereka adalah bagian dari identitas dan warisan budaya yang membentuk cara mereka memandang dunia.

Antara Fakta dan Khayal

Jadi, benarkah Kerajaan Jin Uwentira dan Saranjana itu ada atau hanya khayalan pecinta kisah-kisah mistis.

Tak ada jawaban pasti. Tapi dalam masyarakat yang masih menyatu dengan alam, garis antara dunia nyata dan dunia gaib tak pernah benar-benar jelas. Mungkin Uwentira bukan tentang tempat, tapi tentang keyakinan. Tentang batas yang tak selalu bisa dijelaskan oleh logika, tapi diyakini oleh hati.

Dan mungkin, selama cerita ini terus dituturkan, Uwentira dan Saranjana akan tetap hidup—di hutan-hutan sunyi, di jalan-jalan lengang, dan dalam benak mereka yang masih percaya bahwa dunia ini menyimpan lebih banyak misteri daripada yang bisa dilihat mata. ***