Kamis, 24 Februari 2022. Hari masih pagi. Seorang anak muda bercelana cingkrang dan berjenggot tipis itu sudah sibuk. Di tangannya ada tray atau tatakan telur ayam dari karton. Dengan langkah pelan namun mantap ia menjejak tangga kandang ayam petelur.
“Di kandang ini ada sekitar lima ribu ayam petelur produktif. Ribuan telur saya kumpulkan setiap hari,” kata dia saat disapa.
Anak muda itu adalah Rafli alias Furqon. Usianya 34 tahun. Pada 2016 dibebaskan dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Batu, Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Ia bebas bersyarat. Sebelumnya, ia divonis oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat 8 tahun penjara. Sebab dinilai punya itikad baik merubah diri dan berkelakuan baik, ia dibebaskan sebelum masa kurungan penjaranya usai.
Sekarang, di sinilah dia. Di atas kandang ayam petelur di Desa Tabalu, Kecamatan Poso Pesiri, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Bersama dia, sejumlah mantan narapidana teroris juga sudah memulai ‘hidup baru’.
“Ya, di sinilah saya sekarang. Saya sudah berubah. Saya tidak ingin ikut-ikut lagi seperti kemarin. Saya mau menafkahi anak dan istri saya dari pekerjaan yang baik dan halal,” akunya.
Dorrr!…Suara tembakan memecah riuh lalu lintas di Jalan Emy Saelan, Palu Selatan, Rabu, 25 Mei 2011. Brigadir Polisi Dua Andi Ibrar Prawiro dan Brigadir Polisi Dua Januar Yudhistira Pranata Putra langsung terjengkang. Adapun Brigadir Polisi Dua Dedy Edward Lohonaum yang berjaga bersama mereka di Pos Pengamanan BCA Palu sempat membalas tembakan lalu berlindung.
Ketiga Polisi remaja itu adalah target amaliyah atau aksi Ariyanto Haluta, Rafli, Fauzan dan Dayat. Saat itu di Tim 1, Dayat menjadi eksekutor dan Fauzan menjadi pengendara sepeda motor Yamaha RX King warna hitam.
Sedang di Tim 2, Aryanto Haluta yang berperan sebagai eksekutor dan Rafli yang berperan sebagai pengendara sepeda motor. Mereka mengendarai sepeda motor Yamaha merek Yupiter berwarna hijau.
Dayat menggunakan senjata laras panjang berjenis M-16, sedang Ariyanto menenteng US Carabine.
Sontak kejadian di Rabu siang itu terasa menghentak. Jalur Emmy Saelan yang padat langsung ditutup. Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri pun memburu mereka. Didapat informasi, keempatnya melarikan diri ke arah Palolo, Sigi dan Poso.
Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah saat itu, Brigadir Jenderal Dewa Parsana langsung memerintahkan pengejaran mereka.
Tak lebih dari 1 x 24 jam, Ariyanto dan Rafli tertangkap di daerah Palolo, Kabupaten Sigi. Sementara Fauzan dan Dayat melarikan diri ke arah Poso. Sayang, nasib mereka tak baik. Pada Sabtu, 4 Juni 2011, mereka tewas diberondong timah panas Detasemen Khusus 88.
Keempat anak muda itu disebut Polisi sebagai bagian dari Jamaah Ansharuttauhid Wilayah Poso. Mereka punya jaringan sel aktif di Aceh, Bima dan Jawa. Di Poso mereka dimentori oleh Sutomo Bin Sudarso alias Ustad Yasin. Sedang Asyakarinya dipimpin Santoso alias Abu Wardah semasa hidupnya.
Saat ini, Aryanto Haluta alias Abu Jafar alias Anto Alias Ja’far dikurung Lapas Kelas II-A Pasir Putih, Nusa Kambangan dengan vonis 14 tahun penjara. Adapun Rafli kini tengah menghitung untung ruginya di atas kandang ayam petelur itu.
Rafli adalah bagian dari program yang dikerjakan bersama oleh institusi pemerintah terkait dalam penanganan radikalisme. Ada Badan Nasional Penangggulangan Terorisme, Kepolisian Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia yang mendukung mereka.
Saat saya bertemu Rafli pada akhir Februari lalu, terlihat benar semangatnya menyongsong hidup baru.
Di kandang ayam petelur di Tabalu, selain Rafli ada pula Andang alias Ramadan, Daeng Pasau, Arifuddin Lako, dan Supriadi alias Upik Pagar. Dari 500 ekor bibit ayam, kini mereka sudah punya lebih dari 5.000 ekor ayam petelur produktif.
Mereka mendistribusikan telur produksinya ke wilayah Poso, Morowali dan Tojo Unauna.
“Cuma kami mau minta, Pemerintah Pusat dan Daerah mendukung kami dengan mengontrol harga pakan ayam petelur, dan tata niaga telurnya. Biaya pakan tidak sebanding dengan produksi. Kami pun akan sulit bersaing, bila telur dari daerah lain masuk ke Poso atau ke wilayah kita ini tidak diatur. Apalagi mereka sengaja memberi harga murah agar cepat laku,” harap dia.
Wakil Kepala Satuan Tugas Humas Operasi Madago Raya AKBP Yudho Huntoro pun berharap permintaan Rafli itu mendapat jawaban.
“Kita harus memberi apresiasi kepada mereka yang ingin kembali ke pangkuan NKRI seperti Rafli dan kawan-kawannya. Tidak mudah mengubah ideologi radikal yang lama bercokol di kepala mereka selama ini, tapi mereka melakukan itu dengan kemauan keras. Olehnya kita harus mendukungnya,” sebut Yudho.
Kita pun, tentu saja berharap permintaan Rafli itu bisa disahuti. Sebab, bila mau serius, tak akan sulit melakukannya. Semoga