Perempuan muda itu saban waktu ku lihat lebih banyak duduk dalam diam di pelataran alun-alun kota. Petang di saat matahari pulang dan riuh rendah cengkerama muda-mudi meningkahi waktu, diamnya adalah anomali. Tak ada gawai apapun di tangannya. Matanya tajam menatap lurus ke arah jejak matahari yang meninggalkan petang. Parasnya jelita. Merah ranum bibirnya. Tahi lalat bertengger di ujung kiri matanya. Itu seperti magnet yang menarik pandanganku.
Aku selalu berada cukup dekat untuk bisa melukis raut wajahnya. Tak sedikitpun ia menoleh saat aku berpura-pura berjalan pelan melewati tempatnya berdiam diri.
Itu berpuluh tahun lalu. Tak kurang 30 tahun lamanya ku hitung waktunya. Meski, saat itu, darah belia masih mengalir kencang dalam tubuhku tak berani aku menyapanya. Meski sekadar menanyakan nama. Kalaupun aku bertanya, tak yakin aku ia akan menjawabnya. Sebab salam ku pun tak berbalas. Ku yakin ia sepantaranku. Mungkin 20 tahunan. Orang-orang yang melintas tak sekalipun menyapa atau bahkan meliriknya.
Aku menamainya Jingga. Sebab itu yang terlintas di kepala saat diam-diam aku meliriknya mengantar matahari kembali. Nama yang tepat ku kira. Seperti warna bianglala saat mengucapkan selamat tinggal pada matahari. Itu berpuluh tahun lalu.
Hari ini, setelah berpuluh tahun lalu, aku kembali. Satu-satunya tempat yang aku ingin lihat adalah alun-alun kota. Tapi aku harus sabar menanti sebab Jingga tak akan datang bila matahari masih terik sinarnya. Tempat Jingga duduk masih kosong. Meski sudah bersalin rupa, tak dapat aku melupakan tempatnya berdiam diri. Beringin tua yang dulu jadi payung hidupnya kian rimbun.
Lalu dari jauh aku melihat seorang perempuan mendekati tempat Jingga dulu duduk berdiam diri. Usianya masih muda. Tapi wajahnya asing. Meski garis wajahnya mirip, tapi dia bukan Jinggaku. Aku memberanikan diri bertanya.
“Apakah kamu yang dulu suka berdiam diri di tempat ini saat petang? Mungkin sekitar 30 tahun lalu,” Tanyaku dengan yakin.
Dengan wajah keheranan dia menjawab, “tidak pernah ada yang duduk di tempat ini setahu saya. Saya besar di sini. Saban petang saya berolahraga di sini atau sekadar bercengkerama.”
“Tapi dulu benar adanya seorang perempuan muda yang wajahnya mirip denganmu duduk di tempat ini. Dia selalu berdiam diri. Tak pernah sekalipun ia membalas sapaanku atau salamku,” bantahku meyakinkan perempuan itu.
“Ada tahi lalat di ujung mata kirinya. Rambutnya panjang bergelombang,” tambahku.
“Oh. Bukannya itu seperti wajah Seruni, kakak perempuanku satu-satunya?. Tapi dia tidak pernah ke tempat ini sekalipun. Pun kalau dia mau, dia tak akan bisa ke sini. Ia lumpuh sejak kecil karena sakit yang dideritanya. Ia mati muda. Seruni meninggal di usia 17 tahunan. Jadi tidak mungkin ia ke sini,” kata perempuan yang mengenalkan diri sebagai Kemuning itu.
“Apakah hidungnya mancung dan dagunya agak terbelah?” tanya kemuning kemudian.
“Sepertinya iya,” jawabku seketika.
“Tidak salah. Itu kakakku. Tapi kok bisa Seruni duduk di sini seperti kisah kamu. Sementara dia lumpuh,” sahut Kemuning.
Aku hanya terdiam. Lalu berpikir jangan-jangan aku selama ini melihat ruh Seruni yang sudah tiada itu. Tapi mengapa bisa terjadi. Aku tergagap kemudian saat Kemuning menepuk pundakku karena dia melihatku seperti orang yang tengah trance. Aku tersadar bisa jadi aku selama ini menatap seseorang yang sebenarnya tiada ujud nyatanya.***