Jumat yang agak teduh. Almanak menunjuk pada 30 Agustus 2019. Selepas dari Aljuneid MRT Station, saya berjalan kaki mencari Masjid Khadijah. Masjid tua ini berlokasi di Geylang Road, di wilayah bagian tengah Singapura.
Waktu sudah menunjukkan pukul 13.15 Waktu Singapura. Sebentar lagi khatib akan naik mimbar untuk berkutbah.
Saya bergegas mengejar waktu. Mengandalkan aplikasi Google Maps saya menuju Masjid ini. Bisa jadi ada jalan pintas, tapi Google Maps menunjukkan jalan utama. Saya mengikuti saja. Sebab baru kali ini saya ke sini.
Akhirnya, saya pun sampai tepat waktu. Setelah berwudhu, saya mengambil gelas plastik dan mengambil syrup dari dispenser. Minuman ini memang disediakan gratis oleh pengurus Masjid.
Singkat kata, Shalat Jumat pun usai. Ini saat yang ditunggu para jamaah Masjid Khadijah. Makanan enak nan menggugah selera pun syrup manis yang menyejukan tenggorokan sudah menunggu. Makanan dan minuman ini gratis loh. Ini dimasak sendiri dan disediakan oleh pengurus Masjid. Ada Kebuli dengan daging ayam dan sapi. Ada bubur pula disediakan.
Di Singapura, kebuli lebih mirip Briyani. Itu olahan nasi khas India. Isinya bisa daging ayam, sapi atau kambing dengan campuran rempah dan sayuran. Sungguh menggugah selera.
Saya beruntung, karena dapat makan bersama dalam satu baki dengan para tetua yang juga pengurus Masjid ini. Makanan yang dimasak oleh Abdul Wahab (67) ini menjadi bertambah nikmat rasanya. Makan secara Sunnah kata para Ustadz.
Saya makan bersama Ustadz Haji Yusuf Ben Alin, Ustadz Abdul Manan dan Ustadz Haji Mohamed Nuh. Sebelumnya, saya memperkenalkan nama; “Saya Mohammad Jafar Bua dari Indonesia.” Ustadz Nuh pun menuangkan saya segelas syrup manis.
Sungguh kian terasa nikmat makanan ini. Apalagi kemudian Sang Koki, Abdul Wahab turut bersama kami. Ia bilang; “Makanan ini disiapkan pagi hari. Buburnya juga sudah dimasak sejak pukul 08.00.”
Menurut Wahab, ia membelanjakan sekira S$ 250 buat bahan makanannya. Itu cukup untuk memberi makan 300-an orang. Tiap Jumat ia memasak dan menyediakan makanan dibantu oleh beberapa orang lainnya. Ada tenda besar dengan dua meja panjang disediakan di samping kanan masjid untuk tempat orang makan.
Sungguh, saya merasakan pengalaman yang istimewa. Makan sebaki seusai shalat seperti itu biasa saya lihat di Masjid Jamaah Tabliq di Jalan Mangga, Palu Barat, Sulawesi Tengah. Saya juga pernah makan sebaki dengan para Jamaah di Mushalah SPBU Bunde, Sampaga, Mamuju, Sulawesi Barat dalam perjalanan dari Makassar ke Palu.
Kali ini saya makan di halaman samping Masjid Khadijah yang penuh kisah kedermawanan seorang pedagang perempuan India. Namanya Khadijah Binte Mohammed. Pada 1915, ia membuat wasiat untuk membangun masjid itu. Namun, sebelum ia sempat melihatnya, Ia meninggal dunia. Kerabatnya melanjutkan niatnya itu. Bermula dari sumbangan sebesar S $54.521 dimulakanlah pembangunan masjid ini pada 1920.
Melansir situs jejaring roots.sg di bawah National Heritage Board, Singapura, elemen-elemen arsitektur dipengaruhi oleh Kuil Nagore di Ajmeere India. Di dalam masjid sejumlah lampu kristal gantung menghiasi langit-langitnya. Setengah dindingnya bergambar ornamen laiknya kuil. Jendela sampingnya dari kaca tempa berwarna-warni. Masjid ini mampu menampung 500 jamaah.
Masjid ini sekarang ditetapkan sebagai salah satu cagar konservasi oleh Urban Redevelopment Authority (URA). Lantai kedua Gedung Auditorium adalah rumah bagi Kelompok Rehabilitasi Agama – Religious Rehabilitation Group (RRG).
Natasha Ann Zachariah, jurnalis perempuan di The Straits Times, surat kabar harian berbahasa Inggris di Singapura menyebut masjid ini sebagai; “Hadiah yang Tak Biasa.” Ya, Khadijah Binte Mohamed memang “menghadiahkan” hartanya buat pembangunan Masjid ini untuk komunitas Muslim di Geylang. ***