Pada akhirnya, sebuah keputusan berani harus diambil. Gubernur Sulawesi Tengah, Dr. H. Anwar Hafid, M.Si, memilih untuk tidak terus-menerus membebani rakyat dengan ilusi kemajuan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau Perusda yang tidur panjang itu. Ia membekukan operasional PT Pembangunan Sulteng, entitas yang pernah dibalut ambisi korporatis dengan nama Sulteng Corp, namun tak pernah benar-benar menanggalkan selimut birokrasi dan inefisiensi kronis.
Ini bukan hendak mengangkat bendera putih, tapi mula dari penyembuhan luka bernanah yang tak kunjung sembuh. Bila dibiarkan, perusahaan ini hanya akan menjadi zombi fiskal: hidup segan, mati tak diurus.
Sejarah panjang BUMD di berbagai provinsi menunjukkan betapa mudahnya mimpi transformasi ekonomi lokal berubah menjadi beban struktural. PT Pembangunan Sulteng adalah contoh klasik dari BUMD yang lahir dari niat baik, tetapi tumbuh dalam ekosistem yang tak mendukung kinerja korporat.
Dibentuk untuk menjadi instrumen pembangunan, perusahaan ini justru tak kunjung menemukan core business yang jelas. Tidak ada satu pun sektor, entah properti, jasa keuangan, niaga, ataupun pertambangan, yang benar-benar menjadi pijakan kuatnya. Hasilnya adalah pemborosan sumber daya, konflik kepentingan, dan birokratisasi berlebihan, serta rerumputan yang tumbuh di bekas tapak PT. Pembangunan Sulteng setelah kantornya dirubuhkan dulum
Padahal, Sulawesi Tengah punya potensi ekonomi luar biasa: tambang nikel dan emas di Morowali dan Palu, pariwisata eksotis di Donggala, potensi perikanan dan pertanian yang belum dimaksimalkan. Tapi, seperti sering terjadi, potensi tidak otomatis berbanding lurus dengan kapasitas institusi daerah untuk mengelolanya.
Kontras mencolok muncul bila kita melihat Sulawesi Selatan. Di sana, BUMD seperti PT Sulsel Citra Indonesia sempat mengalami fase inkonsistensi bisnis, namun perlahan bangkit. Berkat penguatan tata kelola dan perombakan SDM, perusahaan itu kini menggandeng sektor swasta dalam proyek-proyek logistik, pertanian, dan bahkan energi baru terbarukan.
Kuncinya: penempatan profesional non-partisan di posisi strategis, keberanian melakukan evaluasi bisnis tanpa tekanan politik, serta keberpihakan terhadap efisiensi alih-alih status quo. Tidak mudah, memang. Bahkan di Sulsel, masih banyak cerita tentang penyertaan modal tanpa hasil, proyek mangkrak, atau laporan keuangan yang tidak transparan. Tetapi setidaknya, ada usaha untuk berubah.
Gubernur Anwar Hafid tampaknya memahami satu hal penting: dalam dunia bisnis, keburukan tidak bisa disembuhkan hanya dengan niat baik. Karena itu, langkah membekukan PT Pembangunan Sulteng bukan akhir, tapi titik nol. Titik untuk menghapus warisan inefisiensi, mengganti pengurus yang gagal, dan membuka lembaran baru dengan pendekatan korporasi modern.
Langkah ini pun dilandasi kesadaran bahwa transformasi tak mungkin berhasil bila aktor-aktornya masih orang-orang lama dengan pola pikir lama. Maka, melibatkan SDM profesional, mengevaluasi core business, dan membangun tata kelola yang akuntabel menjadi keharusan — bukan tambahan.
Ini sejalan dengan prinsip good governance: akuntabilitas, transparansi, dan efektivitas. Tanpa ini, Sulteng akan terus menjadi provinsi yang kaya sumber daya, tetapi miskin daya kelola.
Idealnya, BUMD adalah kepanjangan tangan daerah untuk mengintervensi pasar, saat swasta belum mampu menjangkau, dan sekaligus menjadi mesin pendapatan asli daerah. Namun, peran ini hanya bisa dijalankan bila perusahaan dikelola secara rasional, bukan emosional; berbasis data, bukan kedekatan.
Maka tantangan ke depan bagi PT Pembangunan Sulteng adalah mendesain ulang visinya: apakah ia akan fokus pada sektor hilirisasi tambang, penyediaan logistik untuk kawasan industri, atau menjadi holding investasi daerah? Pilihannya harus jelas, terukur, dan dikawal secara ketat.
Jangan sampai pembekuan hari ini hanya menjadi ritual simbolik yang akan dihidupkan kembali dengan wajah lama dan kebiasaan usang. Bila itu terjadi, Sulteng hanya akan mengulang sejarah.
Kita patut memberikan benefit of the doubt kepada Gubernur Anwar Hafid. Ia setidaknya mengakui ada yang salah dan memilih untuk tidak terus menambal ban yang sudah bocor total dan penuh tambalan lama. Tetapi pengakuan saja tak cukup.
Perlu roadmap penataan BUMD yang melibatkan kalangan profesional, akuntan publik, hingga akademisi. Perlu audit menyeluruh, tidak hanya keuangan, tapi juga audit manajemen dan model bisnis. Perlu keterlibatan publik untuk memastikan proses ini bukan sekadar pergantian nama dan jabatan.
Kalau tidak, maka PT Pembangunan Sulteng hanya akan jadi fosil ekonomi daerah: tak berguna, hanya jadi bahan cerita tentang kegagalan membangun institusi lokal yang sehat.
Dan kita akan menyesal, bukan karena kekurangan sumber daya, tapi karena tak pernah sungguh-sungguh membenahi diri. ***
*Tulisan ini sepenuhnya mewakili pandangan pribadi penulis, bukan pihak manapun.